Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Kamis, 09 April 2015

KOMUNIKASI

Monggo di copy paste




Kata komunikasi berupa kata serapan dari bahasa yunani communio yang kemudian pada bahasa inggris berubah menjadi communion yang berarti persatuan. Setelah itu dibuat kata kerja communication yang ahirnya menjadi komunikasi dalam bahasa indonesia.
Komunikasi adalah kegiatan seseorang dalam menyampaikan makna melalui media tertentu kepada orang lain  dalam sebuah gagasan atau informasi.
A. 7 Unsur komunikasi
1.           Pihak yang mengawali (sender/source)
2.           Pesan yang dikomunikasikan (informasi)
3.           Saluran komiunikasi (media)
4.           Ganguan komiunikasi
5.           Situasi komunikasi
6.           Pihak penerima (patner/receiver)
7.           Umpan balik dan dampak
B. Macam-macam komiunikasi bisa melalui 3 pendekatan:
1.           Cara : lisan, tulisan dan elektronik
2.           Kemasan: verbal dan nonverbal
3.           Keresmian kondisi : formal dan non formal
4.   Pasangan komiunikasi : intrapersonal dan interpesonal.
C. Fungsi komiunikasi
     1. Pribadi:
     2. Hidup dengan orang lain.
     3. Ditempat kerja
     4.Dalam bermasyarakat.



 

Rabu, 25 Maret 2015

METODE BELAJAR EFEKTIF DAN MENAMBAH DAYA INGAT


onggo di copy paste




"اقرأ و تخطيط", mungkin ungkapan ini tepat untuk selogan perkuliahan hari ini. Pada mata kuliah ilmu komunikasi oleh bapak Ngainun Naim.
Ada metode husus yang disuguhkan oleh beliau, dalam proses belajar atau membaca yang efektif. Yakni mencari pesan utama di tiap paragraf sekaligus memberi tanda. Tahapan –tahapan metode ini adalah:
1. Siapkan buku yang ingin kalian pelajari.
2. Siapkan stabilo warna, atau alat tulis lain guna untuk menandai.
3. Bacalah satu paragraf utuh.
4. Tandailah induk kaliamat dalam paragraf yang telah kalian baca.
5. Simpulkanlah satu paragraf tadi menjadi satu kalimah utama.
6. Hati-hati dalam mencari pesan utama dalam paragraf.
7. Bila sebuah paragaraf mengulas ulang dari penjelasan awal maka tak perlu ditandai.
8. Cobalah jelaskan ulang dengan ingatan penuh hasil bacaan anda.
Perlu diingat, metode ini memerlukan konsentrasi penuh. Jadi, bila kita dalam keadaan kurang fres dalan belajar, tentu sebaiknya carilah solusi untuk mengembalikan konsentrasi.
Teori ini digunakan untuk mempermudah pembaca nantinya bila suatu saat ingin mengulang lagi dalam membaca buku tersebut. Kita tinggal membaca kalimat-kalimat bertanda tersebut tanpa membaca satu persatu paragraf penuh.
Bagi saya, bila dicermati, teori ini mempunyai 3 kelemahan. Pertama, pembaca haruslah punya buku sendiri. sebab tidak mungkin bila buku pinjaman boleh kita tandai dengan coretan apapun. jadi, bagi kalian yang kurang hobi membeli buku, atau uang jajan yang nipis tentu jangan sekali-kali menggunakan metode ini (bahaya berow). Kedua, tak setiap orang bisa membaca sebuah buku utuh  mulai halaman awal hingga ahir. Bisa jadi, setelah kita melihat daftar isi dan mengetahui poin penbahasan yang dicari, tentu kita tak mau capek2 baca dari awal lagi. mungkin karena sudah faham, mungkin tak penting bagi kita mengulas ulang atau bahkan dengan pertimbangan lebih baik tenaga dan waktunya digunakan untuk mencari bahan atau bacaan lain. Ketiga, bagi kita yang daya ingatnya lemah tentu akan sangat kesulitan mencari ulang dimana TKP itu. misalnya kita pernah membaca ujaran seorang tokoh di sebuah buku tersebut namun lupa akan halamannya, maka mau tidak mau harus membaca dari awal lagi.
Meskipun ini hanya sebuah metode dalam membaca atau belajar, tentu tiap orang akan berbeda dalam merasakan metode tersebut bila dipraktekkan. Acap kali metode yang telah mapan dan efektif dipakai si A belum tentu efektif  bagi si B.

Dalam hal ini, saya juga mempunyai pengalaman cara belajar n membaca yang efektif (bagi saya) . Cekidot...
Begini, pondasi belajar apapun tentu harus dibarengi dengan yang namanya konsentrasi. begitu juga dalam metode belajar saya. lagsung saja kami paparkan tahapannya.
1. Siapakan objek bacaan. Dalam hal ini, saya tak mengharuskan buku milik kalian sendiri. jadi kalian bisa menggunakan buku pinjaman, file PDF, maktabah elektronik atau media apapun yang penting dapat dibaca.
2. Siapkan selembar kertas kosong guna membuat catatan dan gunakan sebagai pembatas halaman yang telah kalian baca.
3. Pensil atao bulpoin. Dia nanti yang bertugas untuk menandai baris bacaan di sebelahnya paragrap yang kalian anggap penting.
4. Bacalah paragraf perparagaraf dan dapatkan pesan utamanya menjadi 1 kalimat.
5. Tulislah kesimpulan itu dalam lembar kosong yang telah anda persiapkan tadi.
6. Berilah nomor halaman dari bacaan tadi.
misalanya: setelah anda mendapat hal penting di Halaman 25 , maka catatlah:
25) Nikah mut'ah boleh dan konsepnya sama dengan nikah mu'aqot dalam 4 madzahab.
Jadi, bila suatu saat membutuhkan tema itu lagi kita tinggal melihat catatan itu dan langsung bisa menuju TKP.
7. Siapkan buku husus catatan bacaan. Ini berfungsi untuk bacaan buku pinjaman, PDF atao maktabah syamilah.
So, bila tahapan demi tahapan telah kita lalui, kita akan mudah dalam beberapa hal. diantaranya:
1. Bila kita mau mempelajari buku itu lagi, tinggal melihat catatan tadi yang telah mewakili keseluruhan isi buku.
2. kita tak perlu pusing bila tak punya uang untuk beli buku. namun, dalam hal ini saya tetap menganjurkan untuk beli buku sendiri dari pada buat beliin jajan mantan.
3. kita juga akan mudah dalam mencari-cari letak TKP materi yang kita butuhkan. misalanya tetang nikah mut'ah tadi.
4. buku kita masih nyaman dibaca teman atau, anak cucu kita kelak. he he he..
5. efektif dalam waktu, tenaga dan uang. sebab, terkadang kita hanya membaca sebuah buku hanya beberapa halaman penting saja.
6. Saya yakin, ingatan seseorang lebih tahan lama metode membaca sambil menulis dari pada membaca sambil menandai saja.
Wal hasil, tiap metode pasti punya unsur positif dan negatif, tergantung siapa yang memakai.   
pesan saya, cabalah dulu ke dua metode diatas dan jangan lupa komentarnya yang kriyuk kriyuk ya….

 

Minggu, 08 Maret 2015

UANG KERTAS DALAM KACA MATA SYARIAH

Monggo di copy paste

NAQD DAN UANG KERTAS

I.                DEFINISI NAQD
Secara etimologi lafadz naqd berasal dari fi’il madli  نقد. Sebagaimana ungkapan orang Arab  نقدت الدراهم نقدا. Diambil dari bab فعل. Sedangkan bentuk jamaknya adalah نقاد[1] Versi Al Mahaly mengartikannya dengan إعطاء حالا yang berarti pembayaran kontan. Selanjutnya lafadz نقد diperuntukkan terhadap komoditi yang dibayar secara kontan. Sedangkan yang dikehendaki dalam bab zakat adalah perbandingan terhadap komoditi dan hutang.[2] Dalam terminologi kata نقد hanya diorientasikan khusus pada dinar atau dirham.[3]
Agaknya kesimpulan di atas ditepis oleh pendapat yang disampaikan oleh Imam Al Musyaraf meskipun ayat Al Qur’an hanya menyebutkan dinar dan dirham sebagai standart kurensi dalam transaksi hal itu bukan berarti hanya keduanya yang layak menyandang nama naqd. Sebab pemakaian nama naqd dalam emas dan perak hanyalah sebatas istilah saja dan tidak menutup kemungkinan mata uang kertas juga dapat dikategorikan dalam term naqd.[4]
Hasan Abdullah Amin mengutip sebuah keterangan dari Imam Ahmad yang tertulis dalam kitab تطور النقود فى ضوء الشريعة الإسلامية mengatakan bahwa أوراق النقدية didefinisikan sebagai mata uang yang diedarkan secara luas serta digunakan sebagai pemenuhan berbagai kebutuhan baik sebagai alat untuk membeli barang honorarium dan pelunasan hutang.[5]
Versi kitab Misbahul Munir (hal.237) mengkategorikan naqd sebagai alat serah terima yang mempunyai fungsi primer dalam pelunasan dan sebagai salah satu alat kalkulasi atau standarisasi harga (standart of value) yang diedarkan demi memenuhi standart perhitungan hutang piutang harga komoditi serta honoranium.[6]

II.             HISTORY MUNCULNYA NAQD DAN UANG KERTAS
Amatlah logis bila kita mempunyai asumsi bahwa manusia primitifprasejarah tidak mengenal nuqud sama sekali. Mereka dalam berbagai transaksi hanya menggunakan system barter dan hanya itulah cara yang mereka kenal waktu itu. Seiring  bergulirnya zaman yang semakin maju dan tentunya diiringi dengan tehnologi mutakhir serta munculnya kecenderungan insan untuk menggunakan sistem yang semakin praktis serta dapat memanjakan hidup akhirnya mereka secara perlahan meninggalkan sistem barter dan beralih pada sistem yang agak modern yaitu penggunaan nuqud sebagai kurensi transaksi.
Sejarah Islam mencatat bahwa pelaku transaksi yang memakai alat tukar berupa emas dan perak pada awalnya adalah Nabi Tsist bin Adam a.s.[7] Namun versi lain menyebutkan bahwa pertama kali pengguna nuqud adalah masyarakat pada masa Ashab al-Kahfi tapi pendapat yang kedua ini perlu ditelaah kembali sebab Al-Qur’an telah mencatat keberadaan dirham beredar sejak masa kecil Yusuf a.s. Padahal era Nabi Yusuf jauh lebih dulu dari masa Ashab al-Kahfi.[8][9]


Awal Pengenalan Uang Kertas
China yang masyhur dengan dunia bisnisnya adalah negara pertama yang memperkenalkan alat tukar berupa uang kertas. Ibnu Batuthah mengutip pendapat di atas berkenaan dengan kultur mereka yang tak pernah melakukan transaksi dengan dinar dan dirham. Akan tetapi mereka lebih cenderung memakai exlempar sebesar telapak tangan yang dikeluarkan secara sentral oleh pihak negara dengan nama Balasyti sebagai alat tukar resmi. Hal itulah yang menjadikan masyarakat China enggan untuk menggunakan dinar dan dirham sebagai kurensi. Menurut Ibnu Batuthah jika ditinjau dari kronolognya uang kertas dipakai setelah uang dinar. Adapun negara Arab Irak Iran mengenal uang kertas baru pada sekitar tahun 693 H.[10]
Histori legalisasi valas dimulai semenjak Daulah Ustmaniyyah (1862 M.) hanya saja pelegalan yang diprakarsai oleh Usmaniyah belum mendapat respon secara luas dari masyarakat karena minimnya kepercayaan mayoritas penduduk terhadap keberadaan valas pada waktu itu. Dan masyarakat setempat memandang penggunaannya bertentangan dengan tradisi mereka dalam bertransaksi.
Di sela-sela perang Dunia I (1333 H.1914 M.-1337 H.1918 M.) jatuhlah Daulah Ustmaniyah. Seiring dengan itu uang kertas ditarik kembali dari peredaran selanjutnya emas serta perak kembali mendominasi di pasaran sebagai kurensi. Meskipun demikian sebagian negara Islam masih menjalankan otoritasnya memakai alat tukar uang kertas dan hal itu berlangsung hingga sekarang.[11]

III.          NOMINALISASI UANG KERTAS
Kurensi uang kertas yang dianggap sebagai sarana praktis dalam bertransaksi terus bergulir mengikuti arus globalisasi pasar perdagangan. Ulama dalam hal ini merespon dengan menjustifikasikan keberadaannya.
Sebuah komentar yang tertuang dalam kitab Al-Syarwany menyebutkan bahwa jual beli memakai uang kertas tidak dapat dibenarkan. Menurut beliau kriteria yang patut dijadikan acuan penetapan alat tukar yang sah dalam yurisprudens (syariat) adalah barang-barang yang bermanfaat  sekiranya dapat dijadikan perbandingan dan secara karakteristik benda tersebut mempunyai nilai. Sedangkan hal ini sama sekali tidak ditemukan dalam uang kertas. Teori ini akan terbukti akurat disaat uang kertas telah dicabut masa berlakunya hingga ia tidak lagi berfungsi sebagai benda yang mempunyai nilai. Berbeda dengan keberadaan nuqud yang terbuat dari emas dan perak secara karateristik ia akan terus mengandung nilai sampai kapanpun dengan berbagai varian yang ia tampilkan. Pendapat ini juga senada dengan komentar Dr. Muni’ dalam kitab “Taghayyur al-Qimah” yang mengatakan secara absolut uang kertas sama sekali tidak mempunyai nilai nominal setelah pada mulanya hanya berupa lembaran kecil yang tidak mempunyai fungsi apapun.[12]
Rupanya pendapat ini ditentang keras oleh Imam Mahfudz al-Tarmasyi dengan klaim bahwa Al-Syarwany melakukan kesalahan besar dalam ijtihadnya. Menurutnya uang kertas mempunyai nominal dan bermanfaat oleh karenanya uang kertas yang beredar saat ini merupakan bentuk lain dari nuqud sehingga keberadaanya bisa dijadikan sebagai kurensi pada semua transaksi.[13] Pendapat ini juga didukung oleh Dr.Musthofa Khin dalam al-Fiqh al-Manhaji hanya saja beliau menampilkan argumentasi tentang keberadaan kandungan emas pada uang kertas.[14]
Kedua versi ini tampaknya berawal dari dimensi yang berbeda sehingga tidak ada potensi untuk disinkronkan.

IV.          ZAKAT UANG KERTAS

Filosofi Zakat.
Allah adalah pemilik seluruh alam raya serta isinya termasuk pemilik kekayaan sejati. Manusia pada hakikatnya hanyalah menerima titipan dariNya sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak dan aturan yang dibuat oleh pemilik sejati.
Zakat sodaqoh infak merupakan beberapa ketetapan Allah berkenaan dengan harta benda dan dijadikannya sebagai sarana untuk kehidupan manusia seluruhnya oleh karenanya ia harus diarahkan guna kepentingan bersama.
Solidaritas sosial
Manusia adalah makhluk sosial kebersamaan antar individu dalam satu wilayah akan menumbuhkan sikap toleran disebabkan perbedaan karakter yang mereka tampilkan. Manusia tidak dapat hidup tanpa komunitasnya sekian banyak pengetahuan yang diperoleh merupakan buah interaksinya bersama alam dan masyarakat. Demikian juga dalam bidang material betapapun manusia mempunyai kepandaian setinggi langit namun hasil yang telah ia capai adalah berkat bantuan dari berbagai elemen masyarakat baik secara langsung disadari ataupun tidak. Dari sisi lain harus disadari produksi apapun bentuknya pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi yang telah disediakan oleh Allah dalam memproduksi manusia hanyalah mengadakan perubahan penyesuaian perakitan satu bahan dengan yang lainnya dan wajar bila Allah memerintahkan mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkan kepada seseorang demi kepentingan orang lain.
Oleh karenanya zakat ditetapkan oleh Allah sebagai konsekwensi dari seluruh paparan yang telah disebutkan di atas. Dalam konteks ini mayoritas fuqaha’ mewajibkan zakat bagi pemilik cek karena keberadaanya telah mampu menduduki posisi emas dan perak. Di sisi lain ia juga berpotensi untuk dibelanjakan logam mulia seperti halnya perak. Hingga akhirnya konklusi rasio tidak mungkin menerima apabila hartawan tidak tersentuh hukum kewajiban zakat padahal dengan aset yang dimiliki ia mampu membeli beraneka ragam logam mulia. Ketiga point inilah yang mengilhami munculnya ijma’ (konsensus) al-Aimmah al-Tsalastah atas kewajiban zakat pada cek dan pada uang kertas tentu lebih rasional untuk dianalogikan dengan cek.
Hanabilah dalam hal ini secara tegas tidak mewajiban zakat pada alat tukar selain emas dan perak kecuali telah dibelanjakan berupa emas atau perak.[15]
Imam Al ‘Alamah Abd. Hamid Assyarwani dalam awal bab bai’ secara tegas menjelaskan tidak adanya kewajiban membayar zakat pada uang kertas bagi pemiliknya[16] namun pendapat ini ternyata ditolak oleh Syeh Muhammad Mahfudz Al-Tarmasi dalam karyanya dengan sebuah sindiran hal tersebut tidak rasional karena menurut beliau alat tukar yang jelas bermanfaat dan punya nominal dengan kenyataan barang tersebut merupakan representasi dari nuqud maka tidaklah logis jika alat tukar itu tidak terkena beban zakat.
Kontradiksi pendapat juga terjadi dalam menyikapi status zakat uang kertas. Menurut qaul pertama dari Syeh Salim bin Samir dan Habib Abdulloh bin Samid berstatus zakat barang (zakat al-‘ain). Versi kedua yang di komentarkan Syeh Muhammad Al-Anbaby dan Habib Abdulloh bin Abi Bakar mewajibkan zakat tijaroh tatkala ada tujuan tijaroh saat mengalokasikannya. Adapun uang kertas yang tidak dimaksudkan untuk berdagang semua ulama sepakat tentang tidak adanya kewajiban zakat.[17]

Bentuk harta yang dikeluarkan dari uang kertas
Kecenderungan ulama dalam hal ini nampaknya lebih tertuju pada al-fidzoh karena mayoritas cetakan angka dalam mata uang seperti real dan robab adalah terkandung nominal dirham. Akan tetapi juga terdapat kemungkinan yang dikeluarkan tergantung terhadap apa yang pernah diserahkan pada pihak negara hakim sebagai kompensasi dari uang kertas baik itu emas ataupun perak berbeda halnya bagi pemilik uang kertas yang sama sekali tidak menyerahkan kompensasi pada negara semisal seseorang yang mempunyai uang secara gratis atau dengan melalui penemuan (luqothoh) maka ia diperbolehkan memilih antara mengeluarkan emas atau perak. [18]

V.             POTENSI RIBA PADA UANG KERTAS
Sebuah hukum yang nampaknya mulai diacuhkan oleh masyarakat modern adalah riba dan gejala ini sudah terlihat di berbagai sektor transaksi model masa kini padahal keharamannya telah disepakati oleh semua ulama bahkan dalam komentar Al-Syarwani lebih lanjut pelaku riba termasuk salah satu gelagat seseorang akan jatuh kedalam “su’ul khotimah” na’udzu billah min dzalik.
Setelah melewati beberapa dekade tidak bisa dipungkiri uang kertas lambat tapi pasti menjelma bagai dewa baru bagi pemujanya. Melalui berbagai konsideran ulama mutaakhirrin secara tegas menyatakan bahwa uang kertas bisa berposisi sama dengan dirham dan dinar. Kesimpulan ini memberikan abstraksi apa yang berlaku pada naqd terjadi pula terhadap uang kertas.[19]
 Konsekuensi yang muncul adalah uang kertas termasuk harta ribawy menurut sebagian versi sehingga dalam memperjualbelikannya haruslah sama jumlahnya ketika masih dalam satu jenis. Namun bila mata uang yang dimaksud beda macamnya serta nilai jual (valuation) yang ada didalamnya maka tetap disyaratkan mumatsalah. Praktek lapangan membuktikan sistem nilai (value system) mayoritas negara di dunia menggunakan dolar sebagai penaksir (valuer). Sehingga ketika terjadi transaksi dengan memakai dua mata uang dari dua negara yang berbeda semisal rupiah dan dolar maka tidak dituntut harus sama (mumatsalah) akan tetapi yang diwajibkan hanya perbandingan persamaan nilai yang terkandung (1 dolar = 8 Ribu rupiah).  Sebaliknya ketika transaksi tersebut dalam satu macam mata uang ketentuan mumatsalah harus selalu ada menurut satu versi. Karena menurut satu versi semua mata uang adalah satu jenis sedangkan perbedaan negara merupakan representasi perbedaan macam mata uang.[20]

VI.          APLIKASI MITSLI PADA UANG KERTAS

Fuqoha’ memang telah memberikan ekplikasi bahwa: barang mistli dalam hal kompensasi haruslah dengan mistli sedang barang mutaqowwam (valuable) kompensinya adalah nilai barang (harga).  Namun demikian dalam mendefinisikan mistli mereka tidak sependapat:

Versi pertama   ;  menyatakan bahwa mistli adalah barang yang memakai standarisasi takaran atau timbangan dan ini adalah pendapat Syafi’i.
Versi kedua      mengatakan mitsli merupakan barang yang standartnya adalah takaran atau timbangan dan bisa untuk dipesan.
Versi ketiga      ;  mitsli adalah barang yang standartnya takaran atau timbangan dan boleh untuk diperjualbelikan dengan sesamanya namun pendapat ini tidak sealur dengan statement mayoritas al-Ashab yang melarang memperjual belikannya dengan barang yang sama
Versi keempat  mendefinisikan mitsli sebagai barang yang dibagi diantara kongsi dengan tanpa di-taqwim. Pendapat ini dinilai lemah ketika dibenturkan dengan kasus tanah datar yang dibagi dengan metode diatas padahal ia bukanlah kategori barang mitsli.
Versi kelima     (komentar ulama Irak) mitsli ialah barang yang tidak mempunyai selisih harga dalam berbagai varian dan terkadang didefinisikan dengan barang yang tidak mengalami perselisihan harga dan bentuknya.

Dari beberapa pendapat diatas yang dipandang sebagai qaul al-Ashoh adalah versi kedua yakni barang barang yang standartnya memakai takaran dan timbangan. Berpijak dari pendapat inilah akhirnya sebagian ulama berani menganalogikan antara barang yang ditakar dan ditimbang dengan barang barang yang standartnya hitungan seperti uang kertas. [21]
Setelah sama-sama kita tahu bahwa uang kertas termasuk barang mitsli patutlah diajukan pertanyaan tentang; barang apakah yang dijadikan sebagai pengembalian hutang uang kertas ketika sudah dicabut peredarannya? ternyata menurut madzhab Syafi’iyyah Hanabillah Abi Hanifah dan qoul masyhurnya Malikiyah tetap mewajibkan mengembalikan mitsli. Pendapat diatas juga senada dengan komentar Imam Romli yang secara eksplisit mengatakan: mitsli harus dikembalikan dengan mitsli karena lebih mendekati haknya “madin” walaupun didalam uang naqd yang sudah dicabut peredarannya.[22] Namun sebagian kalangan Syafi’iyyah mengomentari perlu ada pemilahan dimana  meskipun sudah dicabut namun masih menyisakan nilai meskipun kecil harus tetap dikembalikan dengan mitsliy. Sebaliknya jika tidak ada nilai yang tersisa baru muncul alternatif qimah sebagai langkah pengembalian.[23]
 
VII.       UANG KERTAS SEBAGAI INVESTASI QIRADL (SLEEPING PARTNERSHIP)
Manusia terlahir ke dunia dibekali oleh Allah dengan aneka ragam keahlian dan ketangkasan. Satu keahlian bawaan manusia belum tentu dimiliki oleh orang lain. Seorang yang berlimpah harta misalnya belum tentu ia dapat mengelola secara profesional terhadap anugerah harta pemberian Tuhan pada dirinya sehingga  jika  ia memaksakan  menjalankan roda bisnisnya kemungkinan besar ia akan terjerumus kedalam kebangkrutan. Di sisi lain ada manusia yang dikaruniai management yang memadai namun sayang ketangkasan memanage yang ia miliki tidak disertai dengan adanya modal yang akan ia jadikan obyeknya hingga sia-sialah berbagai potensi yang melekat pada masing-masing individu.
Sebuah bentuk usaha yang dibenarkan syariat akhirnya dapat dijadikan manusia sebagai solusi terhadap polemik di atas. Adalah tanam modal seseorang terhadap pekerja (qiradl) dimana mereka bersepakat menjadi mitra bisnis dengan cara pemberian modal kepada partnernya untuk dijalankan agar lebih berkembang dan bisa mendapat profit yang signifikan yang akhirnya  menguntungkan. Walaupun terdapat potensi terjadinya kerugian di salah satu pihak atau keduanya disebabkan tidak adanya kepastian laba yang ia raih. Untuk mengantisipasi potensi merugi itulah para ulama memperketat  syarat-syarat di dalamnya. Salah satu bentuk syarat yang muncul dari aqad qiradl adalah modal investor haruslah berupa nuqud sebab dalam dua barang di atas terdapat kestabilan harga. Berawal dari acuan ini dapatkah uang kertas dijadikan modal Qiradl walaupun telah ditarik dari peredaran ?. Dengan melalui beberapa pertimbangan sebagai berikut:
·         Mal bila ditinjau dari alokasinya terbagi menjadi dua. Pertama mal yang tidak mempunyai konsentrasi fungsi kecuali untuk membeli barang atau sebagai honorarium maka ia dinamakan naqd. Kedua mal yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan maka ia dinamakan ‘urudh.[24]
·         Uang kertas termasuk kategori naqd secara istilahi. [25]
·         Uang kertas termasuk mitsliy yang akhirnya sesuai dengan qaul ketiga dalam Zawaid al-Raudloh yang memperbolehkan qiradl dalam setiap barang mitsly.[26]
·         Qiradl haruslah dengan modal berupa alat tukar yang terlaku di pasaran dan mudah diperdagangkan yaitu tsaman. Padahal menurut Syeh Musthofa Khin uang kertas termasuk tsaman.
Maka dapat diambil sebuah konklusi bahwa uang kertas dapat dijadikan modal qiradl walaupun sudah ditarik dari peredaran. Akan tetapi pendapat ini perlu kita kaji ulang dalam tataran aplikasi di negara kita.[27]

VIII.    UANG KERTAS SEBAGAI MODAL UTAMA DALAM PERKONGSIAN
Merupakan kecenderungan baru manusia masa kini menggandrungi bisnis berbasis perseroan (kerja sama). Memang tidak semua hasrat yang muncul pada seseorang dapat dipenuhi secara mandiri. Sebuah usaha besar tentunya menjadi impian semua orang namun kemampuan untuk mewujudkan ambisi itu bukanlah semudah membalikkan telapak tangan butuh berbagai sarana untuk menunjang tercapainya ambisi tersebut. Di antara  sarana yang paling krusial adalah tersedianya dana yang memadai tanpa dukungan dana mustahil impian beribu ambisi terpenuhi. Dilema model itu sebenarnya telah diantisipasi oleh Allah sejak zaman azali yang pada kelanjutannya dipaparkan oleh pemikir-pemikir hukum Islam (ulama) yang dituangkan dalam praktek syirkah (usaha bersama). Syirkah merupakan bentuk usaha bersama yang dijalankan oleh dua orang atau lebih. Tujuan utama model usaha semacam ini adalah supaya mendapatkan untung yang besar. Landasan dasar legalisasi dari syara’ dalam usaha bersama tercatat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Hakim r.a:
قال رسول الله e قال الله تعالى أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فإذا المطلوب خرجت من بينهما
Satu hal yang paling penting dalam model usaha semacam ini adalah tersedianya kekayaan utama (ra’su al-mal) dari kumpulan orang-orang yang telah menyepakati usaha ini. Maka tidaklah sah aqad syirkah bila salah satu mitra usaha menjadikan komoditi (dagangan) sebagai modal utama dan yang lainnya memakai uang disebabkan tidak bisanya tercampur atau bisa tercampur akan tetapi masih bisa untuk dibedakan keduanya. Sehingga dikhawatirkan terjadi kerusakan pada salah satu barang milik keduanya dan dengan mudah dapat terdeteksi barang yang rusak itu hak siapa. Kalau ini yang terjadi bubarlah aqad syirkah. Namun demikian ada beberapa bentuk sebagaimana di atas yang diperbolehkan untuk dijadikan modal dari usaha bersama.
Dalam tinjauan Islam modal utama dalam syirkah disyaratkan berupa mitsliyyat supaya barang yang tercampur sekian banyak tidak dapat dibedakan satu-persatunya. Menilik dari tujuan diatas maka alat tukar berupa uang kertas yang beredar disaat ini agaknya sudah memenuhi standar yang diajukan syariat untuk dijadikan modal utama syirkah sebab bila terdapat banyak serpihan uang kertas rasanya sulit bagi kita untuk dapat membedakan uang mana yang milik kita dan mana yang bukan.[28]

IX.          KOMENTAR KEMAKRUHAN MENERBITKAN NAQD ILEGAL
Peraturan dibuat untuk mengatur kelangsungan hidup supaya lebih teratur saling menghargai tertib tidak saling mendominasi memonopoli dan menciptakan keadilan diberbagai sektor ia tidak dibuat sebagai alat intimidasi terkekang membebani atau memenjara diri. Ibarat lalu-lintas setiap persimpangan dipasang traffic light untuk kelancaran transportasi semua pihak tidak bisa dibayangkan bila disana tidak terpasang lampu pengatur atau dipasang akan tetapi tidak ditaati sebagaimana mestinya maka benturan dan tabrakan tidak bisa dihindari. Namun manusia tetaplah manusia ia terlahir telah dipenuhi oleh hasrat dan ambisi yang bersumber dari nafsu. Bisakah kita menjaga nafsu dengan mentaati segala peraturan agama yang ada?  Untuk mencegah  kerusakan lebih  parah  yang ditimbulkan oleh komunitas masyarakat sudah sewajarnya setiap negara mengeluarkan berbagai undang-undang yang berfungsi sebagai pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hukum Mencetak Uang
Imam Syafi’i berkomentar dalam al-Majmu’ bahwa mencetak dirham dan merubah dirham yang telah resmi divonis makruh bagi penguasa maupun rakyatnya berdasar sebuah hadits riwayat Imam Bukhori  dan Muslim :
مـن غشـنا فليـس مـنا
Dan berdasarkan alasan hal tersebut akan menimbulkan kerusakan pada karateristik nuqud itu sendiri dan di samping itu terdapat pula ekses lain yang timbul diantaranya menurut teori ekonomi semakin banyak uang yang beredar harus diimbangi dengan bertambahnya barang yang tersedia. Karena merebaknya praktek pemalsuan uang sedangkan stok barang terbatas maka terjadilah lonjakan harga yang tak terkendali dan pada dampak yang lebih serius krisis moneter menghantui hingga berlanjut pada krisis ekonomi yang menimbulkan keresahan pada semua lapisan masyarakat. [29]
Menyikapi perilaku masyarakat Indonesia khususnya dimana akhir-akhir ini sering terjadi kasus pemalsuan uang maka sudah tidak diragukan bahwa semua konsep di atas nampaknya sulit kita aplikasikan dalam wacana hukum di Indonesia karena konsekuensinya akan sangat fatal. Sebab di samping efek negatif yang telah kami sebutkan di atas juga dikarenakan otoritas penerbit uang sudah diundang-undangkan oleh pemerintah. Sehingga jika ditemukan oknum yang mencoba mengedarkan uang ilegal syariat tidak segan-segan memberikan cap “pendosa”.[30] Hal itu akan lebih parah jika dikaitkan dengan undang-undang “Barang siapa meniru memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara sebab pemalsuan atau penggandaan uang adalah sebuah bentuk perlawanan pengganda uang terhadap pemerintah padahal perintah penguasa adalah wajib hukumnya untuk dihormati dan ditaati.[31]

X.             NAQD PINJAMAN SEBAGAI JAMINAN GADAI
Kriteria yang dikemukakan oleh para ulama khususnya pada materi yang boleh dipinjamkan atau al-Mu’ar (borrowed comodite) adalah setiap materi yang mempunyai manfaat mubahat (legal) seketika dan mempunyai konsentrasi manfaat yang kuat.
Eksplikasi inilah yang mendasari munculnya pengecualian terhadap peminjaman naqd. Wacana syariat banyak berbicara mengenai batasan lingkup pemanfaatan naqd pinjaman yang hanya diperkenankan sebagai hiasan dan untuk keperluan duplikasi. Hal ini dihukumi sah karena masih dinilai sebagai salah satu fungsi dari sekian banyak fungsi naqd meskipun dalam skala lemah.[32]  Pendapat di atas jelas tidak senada dengan analisa qaul al-Aujah yang menampilkan manfaat lain dari al-Mu’ar berupa fungsi untuk dijadikan barang jaminan (borg) dalam gadai. Sehingga konskuensinya jika pemberi jaminan tidak mampu melunasi hutang setelah jatuh tempo maka naqd tersebut harus dijadikan alat pelunasan dengan cara ditukar atau dibayarkan langsung melalui bahasa naql al-milk (perpindahan kepemilikan). Formasi hukum ini sangat tepat apabila kita terapkan dalam uang kertas karena ia sangat mungkin dijadikan jaminan hutang barang sekaligus berpotensi sebagai alat pelunasan.[33]
Sebagai konklusi akhir eksistensi uang kertas dalam statusnya sebagai alat tukar secara garis besar mampu menggantikan peran naqd yang selama ini kita kenal.

Sedangkan penukaran uang kertas dengan cek idem [dengan bab riba]

 DAFTAR REFERENSI MAKALAH

v   Naqd Secara Linguistik Dan Dalam Term Syariat
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 29
تعريبف النقد: لغة: نقد: نقدت الدراهم نقدا من باب فعل والفاعل ناقد والجمع نقاد مثل كافر وكفار والنقد (بتسكين القاف) خلاف النسيئة وتمييز الدراهم وغيرها كالتنقاد والانتقاد والتنقد واعطاء النقد
القليوبي الجزء الثانى ص : 28
باب زكاة النقد هو مصدر معناه لغة الإعطاء حالا ثم أطلق على المنقود والمراد به هنا ما قابل العرض والدين وقد يطلق على المضروب وحده
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 30
واصطلاحا: هو الدينار أو الدرهم فقط ويقال النقدان اى العملتان الذهبية والفضة أما المتعارف عليه فى عصرنا فيسمى بالأوراق النقدية وهو المال الذى وضع بين الناس وضعا عاما ليكون العرض الأول منه التوصل إلى حاجة الحياة سواء أكانت سلعا أم خدمات أو للإبراء من الدين
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 32
يقول أستادنا المشرف: الذهب والفضة من المعادن النفيسة وهناك من المعادن ما هو أقيم منها كبعض الجواهر البالغة النفاسة وقد اصطلح الناس وتواطؤوا على اعتبارهما أثمانا وسميا نقدا لذلك وقد ورد ذكرهما في القرآن والسنة على اعتبار ما توطأ عليه الناس بشأنهما فليسا نقدا بالطبعية وإنما هو نقد اصطلاحي مثل غيرهما وإن كانت لهما قيمة ذاتية عن غيرهما من أنواع النقودن والدليل على ذلك تجاوز الناس لهما الآن والاكتفاء بالنقد الورقي والمعدني
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 29
النقود في الفقه الإسلامي تغير النقود من أولى الوسائل التي اتخذت بين الافراد لتسوية مغاملاتهم في أمور البيع والشراء والحصول على ما يحتاجونه من سلع وخدمات وقد مرت النقود بأطوار تدريجيه حتى وصلت إلى ما نسميه اليوم بالنقود الورقية (والأوراق النقدية Banknote هي الفئة الورقية التي يصدرها البنك وهو ما يطلق عليه بالعملية الورقية) والنقود بالنسبة إلى ما تؤديه من وظائف تعتبر ذات أهمية بالغة فهي خير ما تصلح أن تكون وحدة للحساب ومقياسا للقيم ووسيطا للمبادلة وأداة لاختزان القوة الشرائية
رسالة في جواز وقف النقود ص : 7
لا شك أن الإنسان البدائي لم يعرف النقود وإنما كان الناس يتعملون في السلع بعضها بعضا تبادلا ولكن لما كانت في هذه الحالة مشقة وعنة في حمل السلع واستبدالها بسلع آخر هدى الله البشرية إلى طريقة سهلة وهي استعمال النقود والذهب والفضة بديلا للساع ووسيطا للتعامل ومعيارا اصطلاحيا يحتكم إليه في تقويم الأشياء والمنافع والجهود وتيسير التبادل والتعامل بين الناس
v   Narasi Historis Dari Naqd
بدائع الزهور ص : 50-51
قال وهب بن منبه أن حواء زوجة آدم توفيت في زمن ابنها شيت ولم تقم بعد آدم غير سنة وكان موتها في يوم الجمعة في الساعة التي خلقت فيها ويقال دفنت إلى جانب قبر آدم عليهما السلام ثم أنزل الله شيث خمسين صحيفة وهو أول من نطق بالحكمة وأول من أخرج المعاملة بالذهب والفضة وأول من أظهر البيع والشراء واتخذ الموازين والكيل وهو أول من استخرج المعادن من الأرض
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 31
ليس من اليسير تحديد زمن ظهور النقود بدقة أوحصرها بعصر دون آخر والمتتبع للآيات القرآنية يلاحظ التعريف بها وباستخداماتها فضلا عن وجوبها كأداة للتعامل بين الناس ففي سورة يوسف يقول الله تعالى (وشروه بثمن بخس دراهم معدودة وكانوا فيه من الزاهدين) (يوسف :20) فهنا إشارة إلى وسيلة التبادل الشرائي بالدراهم ووصفها بالعدد كل عدد له قيمته فيما يماثله نت نقابل لذا قال: (وكاتوا فيه من الزاهدين) فلو زيد في العدد ما ذكرت الزهادة في الثمن
حاشية العلامة الصاوبي الجزء الثالث ص:6
(أن إصحاب الكهف): الغار في الجبل (والرقيم): اللوح المكتوب فيه أسماؤهم وأنسابهم وقد سئل e عن قصتهم (كانوا):في قصتهم (من) جملة (آياتنا عجبا): خبر كان وما قبله حال أي كانوا عجبا دون الآيات أو أعجبها ليس الأمر كذلك قوله (في قصتهم) أي وكانت بعد عيسى عليه الصلاة والسلام
أحكام تغير قيمة العملات النقدية واشرها في تشديد القرض ص : 39
إن أول من عرف التعامل بالنقود الورقية هم أهل الصين فقد نقل إبن بطوطة ذلكبأنهم كانوا لا يتبايعون بدينار ولا درهم وجميع ما يتحصل لبلادهم لا يسبكونه قطعا وإنما بيعهم وشراؤهم بقطع كاغد كل قطعة منها بقدر الكف مطبوعة بطاابع السلطان تسمى الخمس والعشرون قطعة (بالشت) وهو غقب الدينار عندنا وإذا تمزقت تلك الكواغد في يدى إنسان حملها إلى دار فيأخذ عوضا عنها جددا وقد وكل بتلك الدار أمير من كبار الأمرآء وإذا مضى إنسان الى السوق بدرهم فضة أو دينار يريد شراء شيئ لم يؤخذ منه ولا يلتفت اليه حتى يصرفه بالبالشت ثم يشتريه ما أراد اهـ
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 39-41
وفي القرون الخامس عشر الميلادي حدثت تقليبات في وموازيين إصدار الأوراق النقدية وتوزيعها ففي أوائل القرن الخامس عشر وفي البلاد الإسلامية بسطت الدولة العثمانية نفوذها على معظم البلاد والدول الإسلامية وأصبح النظام النقدي العثماني هو الغالب في هذه الدول وكان النظام قائما على قاعدة المعدنين الذهب والفضة وفي منتصف القرن ذاته تواقفت الصين عن إصدار البالشت ولم تعد إلى استعماله إلا بعد مضي أربعة قرون وفي القرن التاسع عشر الميلادي عادت الصين مرة أخرى للنقود الورقية وبالمقابل خرجت الدولة العثمانية عن قاعدة المعدنين واتبعت قاعدة الذهب في نظامها النقدي وكانت الدولة العثمانية قد أصدرت نقود ورقية نائبة (أي قابلة للتحويل إلي الذهب) في سنة 1862م إلا أنها لم تلق قبولا عاما لعدم ثقة الناس بها وعدم تعودهم علي التعامل بها وخلال الحرب العالمية الأولى عام 1914م خرجت معظم دولة العالم عن قاعدة الذهب ومن بينها الدولة العثمانية التي أعلنت التداول الأجباري للنقد الورقي في أنحاء إمبراطوزيتها وبعد الحرب العالمية الأولى (1333هـ -1914م 1337هـ -1918م) سقطت الدولة العثمانية واحتل الخلفاء معظم الدول الأسلامية وقاموا بإبطال التعامل بالنقود الورقية العثمانية وأصبحت معظم العملات الوطنية للدول الأسلامية مرتبطة بعملات الدول المستمرة أو بعملات دول تابعة للدول المستمرة سياسيا وقد استمرت أغلب النظم النقدية في الدول الإسلامية تابعة لأنظمة النقد في الدول المستمرة حتى بداية الخمسينات من القرن العشرين عندها أخذت بعض الدول الإسلامية تعمل على تحقيق استقلال لأنظمتها فأصبحت لكل دولة من هذه الدول عملتها الورقية ونظامها النقدي الخاص بها اهـ
v   MALIYAH UANG KERTAS.
الشرواني الجزء الخامس ص  : 411
(قوله: وغير ذلك من كل ما لا يقابل عرفا بمال إلخ) يؤخذ منه جواب سؤال وقع عما أحدثه سلاطين هذا الزمان من الورقة المنقوشة بصور مخصوصة الجارية في المعاملات كالنقود الثمنية هل يصح البيع والشراء بها ويصير المملوك منها أو بها عرض تجارة يجب زكاته عند تمام الحول والنصاب ؟ وحاصل الجواب أن الورقة المذكورة لا تصح المعاملة بها ولا يصير المملوك منها أو بها عرض تجارة فلا زكاة فيه فإن من شروط المعقود عليه ثمنا أو مثمنا أن يكون فيه في حد ذاته منفعة مقصودة يعتد بها شرعا بحيث يقابل بمتمول عرفا في حال الاختيار والورقة المذكورة ليست كذلك فإن الانتفاع بها في المعاملات إنما هو بمجرد حكم السلاطين بتنزيلها منزلة النقود ولذا لو رفع السلاطين ذلك الحكم أو مسح منها رقم لم يعامل بها ولا تقابل بمال نعم يجوز أخذ المال في مقابلة رفع اليد عنها أخذا مما قدمته عن ع ش في باب الحج في قطع نبات الحرم ويفهمه ما مر عن سم وشيخنا من أنه يجوز نقل اليد عن الاختصاص بالدراهم كما في النزول عن الوظائف
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 45
يقول الدكتور منيع: (إن الورقة النقدية لا قيمة لها مطلقا بعد أن صارت مجرد قصاصات صغيرة فاقدة عموم وجوه الإنتفاع)
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 124
ولقد ذكرنا سابقا أن العملة الورقية ليس لها قيمة ذاتية فى اصلها وإنما جاءت قيمتها على مراحل ابتداء من تغطيتها بالذهب أول الأمر إلى انفصالها عنه بعد الحرب العالمية الثانية ثم اصبحت قيمتها فى هيمنة الجهة المصدرة لها وسياستها النقدية وقوة نفوذها على الساحة السوقية بمعنى أن النقود قيمتها وماليتها فى قوتها الشرائية لا فى ذاتها والدليل على ذلك لو قامت دولة بابطالها تماما واحلال أخرى مكانها ثم عثر أحد الأشخاص على عملة ورقية مرمية لم يلتقطها إلا إذا كان من هواة جمع العملات
الترمسى الجزء الرابع ص : 29-30     المطبعة العامرة الشرفية بمصر المحمية
(وشروطها) أي التجارة حتى تجب الزكاة في مالها (ستة الأول العروض) أي التي لا تجب الزكاة في عينها لولا التجارة (دون النقد) لأن الزكاة تجب في عينه كما مر (قوله دون النقد) اى الذهب والفضة (قوله لأن الزكاة تجب فى عينه كما مر) اى فلا تجب زكاة التجارة فيه وان بادل بجنسه لأن التجارة فيه ضعيفة نادرة بالنسبة لغيره واختلف المتأخرون فى الورقة المعروفة بالنوط فعند الشيخ سالم بن سمير والحبيب عبد الله بن سميط أنها من قبيل الديون نظرا إلى ما تضمنته الورقة المذكورة من النقود المتعامل بها وعند الشيخ محمد الأنبابى والحبيب عبد الله بن أبى بكر أنها كالفلوس المضروبة والتعامل بها صحيح عند الكل وتجب زكاة ما تضمنته الأوراق من النقود عند الأولين زكاة عين وتجب زكاة التجارة عند الآخرين فى أعيانها إذا قصد بها التجارة وأما أعيان الأوراق التى لم تقصد بها التجارة فلا زكاة فيها باتفاق وجمع شيخنا رحمه الله بين كلامهم فقال بعد نقل افتاآتهم ما ملخصه أن الأوراق المذكور لها جهتان الاولى جهة ما تضمنته من النقدين الثانية جهة أعيان فإذا قصدت المعاملة بما تضمنته ففيها تفصيل حاصله أنه إذا اشتربت عين به وهو الغالب فى المعاملة بها كان من قبيل شراء عرض بنقد فى الذمة وهو جائز وإعطاء ورقة النوط للبائع إنما هو لتسلم ما تضمنته من الحاكم الواضع لذلك النوط أو نوابه وإذا قصد بذلك الشراء التجارة صح وصارت تلك العين عرض التجارة قال فان دفع الاوراق لصراف ليأخذ منه قدر ما تضمنته كان من قبيل تسلم ما لصاحب الورقة عند الحاكم من نوابه لأنه دين عنده يدفعه بنفسه او بمأذونه من كل من يتعاطى المعاملة بها لمن أراد حقه ممن كانت الاوراق فى يده فان بيعت الاوراق بمثلها متماثلا او متفاوتا كان من قبيل الدين وهو باطل واذا قصدت المعاملة بأعيانها كانت كالفلوس المضروبة فيصح البيع بها وبيع بعضها ببعض لأنها منتفع بها وذات قيبمة كالنحاس المضروب وتصير عرض تجارة بنيتها وتجب زكاة التجارة فيها وحاصل هذا الجمع أنا نعتبر قصد المتعاملين فإما أن يقصد ما تضمنته الأوراق وإما أن يقصد أعيانها ويترتب على كل أحكام غير أحكام الآخر قال وترجيح جهة الاولى هو الأولى لأنه يعلم بالضرورة أن المقصود عند المتعاقدين إنما هو القدر المعلوم مما تضمنته الأوراق لا ذواتها لا يقال أن المتعاقدين لا يصرحون بألسنتهم أن المقصود منها هو النقد المقدر لأنا نقول لما شاع اصطلاح واضعها على ذلك وكثر التعامل بها على الوجه المصطلح عليه نزل ذلك منزلة التصريح ويترتب على ذلك أنه اشتراها وبقيت عنده حولا كاملا وكانت نصابا وجبت عليه زكاتها لأنها من قبيل الدين وهو تجب فيه الزكاة قال واذا علمت ذلك تعلم أن ما كتبه العلامة عبد الحميد الشروانى محشى التحفة فى أوائل كتاب البيع من جزمه بعدم صحة التعامل بها مطلقا وجزمه بعدم وجوب الزكاة معللا عدم الصحة بأن الأوراق المذكورة لا منفعة فيها وأنها كحبتى بر غير صحيح لأنها ذات قيمة ومنفعة منتفع بها غاية الانتفاع على أنك قد حملت أن القصد ما دلت عليه من النقود المقدرة فلا يتم تعليله فتنبه لهذه المسألة فأن التجار ذاو الأموال يتثبتون  بما صدر من المحشى المذكور رحمه الله ويمتنعون من اخراج الزكاة وهذا جهل منهم وغرور والمحشى قال فيها بحسب ما بدا له من غير نص فلا يؤخذ بقوله والاحتياط فى أمثال هذه المسألة مما هو متعين لأنه ينشأ منه فساد كبير وغرر عظيم للجهال ومن تمكن حب الدنيا فى قلبه انتهى ماأردت نقله من كلام شيخنا رحمه الله ولم يبين ما أخرجه فى الزكاة عنها هل هو ذهب أو فضةوالظاهر أن يخرجها فضة لأن المشهور أن صورة المكتوب فيها قيمة الدراهم من الربابى والريالات لا الدنانير ويحتمل أنه أن يخرجها بحسب ما بذل للحاكم أولا عوضا عنها سواء كان ذهبا أم فضة وهذا هو المتبادر من كلام الشيخ رحمه الله ولكن بقى على هذا فيمن حصلها من غير إعطاء العوض فيها كأن أعطاه شخص اياها او تملك لقطة منها بشرطه ولو قيل بالتخيير حينئذ لم يبعد والله أعلم إهـ
الفقه المنهجى الجزء السابع ص : 94-95
والمراد بالأثمان والنقد الدراهم والدنانير أو ما كان من جنسهما وهو الذهب والفضة مطلقا سواء كانت مضروبة أم مصوغة أم غير ذلك ويدخل في هذه العملات المتعارفة في هذه الأيام لأن لها رصيدا ذهبيا محفوظاوكل قطعة منها عبارة عن وثيقة بيع أوشراءما يقابلها من هذه الرصيد المحفوظ ومن الواضح أن التعامل بها في هذه الأيام يقوم مقام التعامل بالدراهم والدنانير في الأيام السالفة فوجب أن تنزل منزلها في الحكم الشرعي الشروط الخاصة لصحة عقد الصرف 1- المماثلة عند اتحاد الجنس فإذا بيع الذهب بالذهب أو الفضة بالفضة فلا بد من تساوى العوضين في الوزن سواء أكانا مضروبين أم مصوغين أم غير ذلك -الى أن قال- وكل ذلك مر معك بأدلته في باب الربا فارجع اليه. وكل ما يقال في الدراهم والدنانير يقال في العملات الرائجة الآن والتساوى بينها حسب نوعها المتعامل به اهـ
v   Uang Kertas Dalam Perspektif Zakat
الفقه على المذاهب الأربعة الجزء الأول ص : 514-515
زكاة الأوراق المالية (البنكنوت) جمهور الفقهاء يرون وجوب الزكاة في الأوراق المالية لأنها حلت محل الذهب والفضة في التعامل ويمكن صرفها بالفضة بدون عسر فليس من المعقول أن يكون لدى الناس ثروة من الأوراق المالية ويمكنهم صرف نصاب الزكاة منها بالفضة ولا يخرجون منها زكاة؛ ولذا أجمع فقهاء ثلاثة من الأئمة على وجوب الزكاة فيها وخالف الحنابلة فقط فانظر تفصيل آراء المذاهب تحت الخط الشافعية- قالوا: الورق النقدي؛ وهو المسمى -بالبنكنوت- التعامل به من قبيل الحوالة على النبك بقيمته فيملك قيمته ديناً على البنك والبنك مدين ملىء مقر مستعد للدفع حاضر ومتى كان المدين بهذه الأوصاف وجبت زكاة الدين في الحال وعدم الإيجاب والقبول اللفظيين في الحوالة لا يبطلها حيث جرى العرف بذلك على أن بعض أئمة الشافعية قال: المراد بالإيجاب والقبول كل ما يشعر بالرضا من قول أو فعل والرضا هنا متحقق  الحنفية- قالوا: الأوراق المالية -البنكنوت- من قبيل الدين القوى إلا أنها يمكن صرفها فضة فوراً فتجب فيها الزكاة فوراً المالكية- قالوا: أوراق البنكنوت وإن كانت سندات دين إلا أنها يمكن صرفها فضة فوراً وتقوم مقام الذهب في التعامل فتجب فيها الزكاة بشروطها الحنابلة- قالوا: لا تجب زكاة الورق النقدي إلا إذا صرف ذهباً أو فضة ووجدت فيه شروط الزكاة السابقة اهـ
الشرواني الجزء الخامس ص  : 411
(قوله: وغير ذلك من كل ما لا يقابل عرفا بمال إلخ) يؤخذ منه جواب سؤال وقع عما أحدثه سلاطين هذا الزمان من الورقة المنقوشة بصور مخصوصة الجارية في المعاملات كالنقود الثمنية هل يصح البيع والشراء بها ويصير المملوك منها أو بها عرض تجارة يجب زكاته عند تمام الحول والنصاب ؟ وحاصل الجواب أن الورقة المذكورة لا تصح المعاملة بها ولا يصير المملوك منها أو بها عرض تجارة فلا زكاة فيه فإن من شروط المعقود عليه ثمنا أو مثمنا أن يكون فيه في حد ذاته منفعة مقصودة يعتد بها شرعا بحيث يقابل بمتمول عرفا في حال الاختيار والورقة المذكورة ليست كذلك فإن الانتفاع بها في المعاملات إنما هو بمجرد حكم السلاطين بتنزيلها منزلة النقود ولذا لو رفع السلاطين ذلك الحكم أو مسح منها رقم لم يعامل بها ولا تقابل بمال نعم يجوز أخذ المال في مقابلة رفع اليد عنها أخذا مما قدمته عن ع ش في باب الحج في قطع نبات الحرم ويفهمه ما مر عن سم وشيخنا من أنه يجوز نقل اليد عن الاختصاص بالدراهم كما في النزول عن الوظائف
الترمسي الجزء الرابع ص : 29-30
-كما مر
v   Aplikasi Hukum Riba Pada Uang Kertas
القول المنقح ص : 5
فإن بيعت الأوراق بمثلها متماثلا أو متفاوتا كان من قبيل النقد بنقد في الذمة فتجري فيه شروط الربوي فإن كان اتفقا في الجنس كفضة بفضة أشترط في صحة العقود الحلول والتقابض والتماثل وإن اختلفا في الجنس واتحدا في علة الربا كذهب وفضة أشترط ألأولان وإن فقد شرط من هذه الشروط لم يصح العقد اهـ
الفقه المنهجى الجزء السابع ص : 94-95
والمراد بالأثمان والنقد الدراهم والدنانير أو ما كان من جنسهما وهو الذهب والفضة مطلقا سواء كانت مضروبة أم مصوغة أم غير ذلك ويدخل في هذه العملات المتعارفة في هذه الأيام لأن لها رصيدا ذهبيا محفوظاوكل قطعة منها عبارة عن وثيقة بيع أوشراءما يقابلها من هذه الرصيد المحفوظ ومن الواضح أن التعامل بها في هذه الأيام يقوم مقام التعامل بالدراهم والدنانير في الأيام السالفة فوجب أن تنزل منزلها في الحكم الشرعي الشروط الخاصة لصحة عقد الصرف 1- المماثلة عند اتحاد الجنس فإذا بيع الذهب بالذهب أو الفضة بالفضة فلا بد من تساوى العوضين في الوزن سواء أكانا مضروبين أم مصوغين أم غير ذلك -الى أن قال- وكل ذلك مر معك بأدلته في باب الربا فارجع اليه وكل ما يقال في الدراهم والدنانير يقال في العملات الرائجة الآن والتساوى بينها حسب نوعها المتعامل به. اهـ
المهذب ج: الجزء الأول ص: 273
فصل في بيان حكم بيع الربا بعضه ببعض وبيان مسألة مد عجوة وما حرم فيه الربا لا يجوز بيع بعضه ببعض ومع أحد العوضين جنس آخر يخالفه في القيمة  كبيع ثوب ودرهم بدرهمين ومد عجوة ودرهم بدرهمين ولا يباع نوعان من جنس بنوع كدينار قاساني ودينار سابوري بقاسانيين أو سابوريين أو دينار صحيح ودينار قراضة بدينارين صحيحين أو دينارين قراضة والدليل عليه ما روى فضالة بن عبيد قال أتى رجل إلى رسول الله e بقلادة فيها خرز مغلفة بذهب فابتاعها رجل بسبعة دنانير أو تسعة دنانير فقال عليه الصلاة السلام لا حتى تميز بينه وبينه قال إنما أردت الحجارة فقال لا حتى تميز بينهما ولان الصفقة إذا جمعت شيئين مختلفي القيمة انقسم الثمن عليهما والدليل عليه أنه إذا باع سيفا وشقصا بألف قوم السيف والشقص وقسم الألف عليهما على قدر قيمتهما وأخذ الشفيع الشقص بحصته من الثمن على قدر قيمته وأمسك المشتري السيف بحصته من الثمن على قدر قيمته وإذا قسم الثمن على قدر القيمة أدى إلى الربا لانه إذا باع دينارا صحيحا قيمته عشرون درهما ودينارا قراضة قيمته عشرة دراهم بدينارين وقسم الثمن عليهما على قدر قيمتهما صارت القراضة مبيعة بثلث الدينارين والصحيح بالثلثين وذلك ربا
v   Aplikasi Mitsli Dalam Uang Kertas
روضة الطالبين ج: 5 ص: 18
وفي ضبط المثلي أوجه أحدها كل مقدر بكيل أو وزن فهو مثلي وينسب هذا الى نص الشافعي t لقوله في المختصر وما له كيل أو وزن فعليه مثل كيله أو وزنه والثاني يزاد مع هذا جواز السلم فيه والثالث زاد القفال وآخرون اشتراك جواز بيع بعضه ببعض والرابع ما يقسم بين الشريكين تقويم والخامس قاله العراقيون المثلي ما لا تختلف أجزاء النوع منه في القيمة وربما قيل في الجرم والقيمة ويقرب منه قول من قال المثلي المتشاكل في القيمة ومعظم المنافع وما اختاره الإمام هو تساوي الأجزاء في المنفعة والقيمة فزاد المنفعة واختاره الغزالي وزاد من حيث الذات لا من حيث الصنعة والوجه الأول منقوض بالمعجونات والثالث بعيد عن اختيار أكثر الأصحاب لأنهم اعرضوا عن هذا الشرط وقالوا امتناع بيع بعضه ببعض لرعاية الكمال في حال التماثل بمعزل عما نحن فيه والرابع لا حاصل له فأنه منقض وضوء المتساوية فأنها تنقسم كذلك وليست مثلية والخامس ضعيف أيضا منتقض بأشياء فالأصح الوجه الثاني لكن الأحسن أن يقال المثلي ما يحصره كيل أو وزن ويجوز السلم فيه ولا يقال مكيل أو موزون لأن المفهوم منه ما يعتاد كيله ووزنه فيخرج منه الماء وهو مثلي وكذا التراب وهو مثلي على الأصح ويحصل من الخلاف اختلاف من الصفر والنحاس والحديد لأن أجزاءها مختلفة الجواهر وكذا في التبر والسبيكة والمسك والعنبر والكافور والثلج والجمد والقطن لمثل ذلك وفي العنب والرطب وسائر الفواكه الرطبة لامتناع بيع بعضها ببعض وكذا الدقيق والأصح أنها كلها مثلية وفي السكر والفانيذ والعسل المصفى بالنار واللحم الطري للخلاف في جواز بيع كل منها بجنسه وفي الخبز لامتناع بيع بعضه ببعض وأيضا الخلاف في جواز السلم فيه
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص  : . 12
وعلى ضوء ذلك (الخلاف في الروضة) فالمعيار هو ما يحصره الكيل والوزن وهذا مذهب جمهور الفقهاء لكن بعضهم ألحقوا بالمكيل والموزون المعدودات التي لا تتفاوت بين أحادها تفاوتا يعتاد به مثل البيض والجوز والنقود الورقية
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 125
فالعملة الورقية في يومها وتاريخها عند إقراضها لاشك أنها مثلية ومن المعدودات وعلى ذلك فهل يلزم وفاء القروض بعينها أو مثلها عند بطلانها أو كسادها أو لغيرها ام يصار إلى القيمة ؟ اختلف الفقهاء في ذلك إلى ثلاثة أقوال: أولا: فريق يرى أن يكون الرد بالمثل ولا تعتبر الأحوال مهما تغيرت وهو مذهب الشافعية والحنابلة وقول لأبي حنيفة وللمالكية في المشهور قال الرملي: ((ويرد حتما المثل في لبمثلي لأنه أقرب إلى حقه ولو في نقد بطلت المعاملة به وقال التسولي من استهلك طعاما في الغلاء وطولب به في الرخاء فإنه يلزمه مثله على المشهور وقال الرافعي وأما اذا اختلف المزمان فله المطالبة بالمثل وإن زادت القيمة وليس له الا ذلك وان نقصت القيمة. وفي الإتجاه نفسه يذهب الرافعي والشافعي بالقول إلى أن المعول فيه عند تغير السعر بحسب المكان والزمان هو المثل ما لم يتغير قيمته وماليته يقول (وهذا كله إذا لم يخرج المثل باختلاف المكان والزمان على أن يكون له قيمة ومالية. أما إذا أخرج كما تلف عليه الماء بمفازة ثم اجتمعا على شط تهر أو بحر أو أتلف عليه الجمد في الصيف واجتمعنا في الشتاء فليس للمتلف بذل المثل بل عليه قيمة المثل في تلك المفازة وفي الصيف) ثانيا: وفيق يرى أن الرد بالقيمة وهو قول لأب يوسف وبادئا يقول إبن عابدين (ولقد علمت أن القيمة تختلف باختلاف الأزمان ولا شك في اختلاف أزمنة الواقفين وينبغى إعتبار زمن الواقف والله تعالى الموافق) الحقيقه ففي زمان أبي حنيفة كانت القيم مسعرة وفي زمانهما تغيرت القيمة فيه فجعل لكل زمان قيمة خاصة به ثالثا: وفيق يرى التفصيل: فقد ذهب المالكية في قول إلى أنه يفرق بين ما إذا كان تغير الفلوس يسيرا أو فاحشا فإن كان يسيرا رد المقترض المثل وإن كان فاحشا رد القيمة لتضرر المقرض بالتغير الفاحش دون اليسير اهـ
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 45
فالنقود المعدنية نقود ائتمانية بأصلها لكنها تعتبر سلعية أيضا باعتبارها استبدلية وأن لها قيمة في ذاتها من وزن وحجم وان استحقرت على خلاف الورق النقدي الذي ليس له قيمة ذاتية مطلقة إلا ما يقدمه البنك من غطاه ذهبي أو غيره يقول الدكتور منيع: (إن الورقة النقدية لا قيمة لها مطلقا بعد أن صارت مجرد قصاصات صغيرة فاقدة عموم وجوه الإنتفاع) كذلك الحال بالنسبة إلى النقود انائبة ولو أنها أقرب ما تكون إلى النقد الإئتماني منه غلى السلعي باعتبارها إيصالا وداعيا يوجب لحامله الصرف والتبادل لذا فهي ائتمانية وما يجعلها سلعية امكانية التعامل بها بنفس القيمة المراد بدلها كما يمكن ادخارها والإحتفاظ بها كخزين شخصي مستقبلي فالأوراق النقدية لها نظام خاص بها اذ إنها قد انفصلت عن مثيلاتها من النقود إثر تغير الأنظمة خاصة ان عملية إصدار الاوراق النقدية إول مرة كانت تتم بغطاء كامل بمعنى انه كان يلزم الإحتفاظ بوزن معين من الذهب مقابل كل ورقة نقدية تحمل قيمة اسمية مساوية لهذا الوزن مما يعنى أن المجتمعات لن تستطيع التوسع في خزائن البنك المركزي وهذا أمر غير عملي في المجتمعات الحديثة ناهيك عن استحالة وجود كميات كبيرة من الذهب ثم جاءت المرحلة الثانية فأصبح الغطاء جزئيا حيث كانت الهيئة المصدرة للنقود تحتفظ فقط بنسبة من قيمة العرض الكلي للنقود بشكل ذهب وبعد هذه المرحلة ألغى نظام الذهب وأصبح إصدار النقود الورقية تبعا لتقدير حاجات النشاط الإقتصادي في كل بلد من البلدان وبذلك انتهت العلاقة الرسمية بين الذهب وكمية النقود المصدرة
حاشية البجيرمي ج: 2 ص: 354
قوله ويرد المقترض ولو نقدا أبطل السلطان المعاملة به ومثل النقد الفلوس الجدد وقد عمت بهذه البلوى في الديار المصرية في غالب الأزمنة فحيث كان لذلك قيمة تافهة رد مثله وإلا رد قيمته باعتبار أقرب وقت إلى وقت المطالبة له فيه قيمة ح ل وم ر
v   Uang Kertas Dalam Investasi Qiradl
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 34
وبهذا التقسيم يوضع حد مميز بين النقد وغيره من الأموال باعتبار الغرض فإذا كان المال لا ينتفع به انتفاعا مقصودا إلا فى تحصيل سلعة او خدمة سمى نقدا وإن أمكن الإنتفاع به تبعا لإشباع حاجة من الحاجات وإذا كان المقصود منه اشباع الحاجات سمى عروضا ومتاعا (سلعة أو خدمة)
أحكام تغير قيمة العملة النقدية وأشرها فى تسديد القرض ص : 32
يقول أستادنا المشرف: الذهب والفضة من المعادن النفيسة وهناك من المعادن ما هو أقيم منها كبعض الجواهر البالغة النفاسة وقد اصطلح الناس وتواطؤوا على اعتبارهما أثمانا وسميا نقدا لذلك وقد ورد ذكرهما في القرآن والسنة على اعتبار ما توطأ عليه الناس بشأنهما فليسا نقدا بالطبعية وإنما هو نقد اصطلاحي مثل غيرهما وإن كانت لهما قيمة ذاتية عن غيرهما من أنواع النقودن والدليل على ذلك تجاوز الناس لهما الآن والاكتفاء بالنقد الورقي والمعدني
فتح المعين ج: 3 ص: 99-100
ويصح قراض وهو أن يعقد على مال يدفعه لغيره ليتجر فيه على أن يكون الربح مشتركا بينهما في نقد خالص مضروب لأنه عقد غرر لعدم انضباط العمل والوثوق بالربح وإنما لصاحب للحاجة فاختص بما يروج غالبا وهو النقد المضروب ويجوز عليه وإن أبطله السلطان وخرج بالنقد العرض ولو فلوسا وبالخالص المغشوش وإن علم قدر غشه أو استهلك وجاز التعامل به وبالمضروب التبر وهو ذهب أو فضة لم يضرب والحلي فلا يصح في شيء منها وقيل يجوز على المغشوش إن استهلك غشه وجزم به الجرجاني وقيل إن راج  واختاره السبكي وغيره وفي وجه ثالث في زوائد الروضة أنه يجوز على كل مثلي
مغني المحتاج ج: 2 ص: 310
تنبيه قال السبكي قد يشاحج المصنف في قوله أن يدفع ويقال القراض العقد المقتضي للدفع لا نفس الدفع اهـ وأركانه خمسة مال وعمل وربح وصبغة وعاقدان ثم شرع في شرط الركن الأول فقال ويشترط لصحته كون المال فيه دراهم أو دنانير خالصة بالإجماع كما نقله الجويني وقال في الروضة بإجماع الصحابة فلا يجوز على تبر وهو الذهب والفضة قبل ضربهما وقال الجوهري لا يقال تبر إلا للذهب ولا على حلي مغشوش من الدراهم والدنانير وإن راجت وعلم قدرغشتها وجوزنا التعامل بها لأن الغش الذي فيها عرض  عدا في ذلك السبكي فقال يقوى عندي أن أفتي بالجواز وأن أحكم به إن شاء الله تعالى ولا على عروض مثلية كانت أو متقومة ولو فلوسا لأن القراض عقد غرر إذ العمل مضبوط موثوق به وإنما لصاحب للحاجة فاختص بما يروج غالبا ويسهل التجارة به وهو الأثمان ويجوز أني كون دراهم ودنانير معا وعبارة المحرر ويكون نقدا وهو الدراهم والدنانير قال ابن الرفعة والأشبه صحة القراض على نقد  أبطله السلطان  قال الأذرعي وفيه نظر إذ عز وجوده أو خيف عزته ثم المفاصلة اهـ وهذا هو الظاهر
v   Uang Kertas Sebagai Modal Perkongsian
الفقه المنهجي الجوء السابع ص:64
وأن يكون مال الشركة مثليا بحيث إذا خلطت الأموال لا يتميز بعضها عن بعض كالعمالات المتعارف اليوم -إلى أن قال- فإن كان رأس مال الشركة أو مال أحد الشركاء عروضا أي أعيانا متميزة غير مثلية لم تصح الشركة لأنها لا يمكن خلطها بحيث لا تتميز وقا يتلف مال أحدهم أو ينقص فلا يمكن أن يعوض عنه من مال الآخرين وطريق تصحيح الشركة في حال كون رأس مالها عروضا: أن يبيع كل منهم جزءا من عروضه للآخر بجزء من عروضه قيصيرا شركاء في العروض كاها فيأذن كل منهم للآخر بالتصرف فإذا باعاها كان الثمن بينهما وكذلك إذا كان مال أحدهما نقدا وما لالآخر عروضا باع صاحب العروض جزءا منها بجزء مننقد الآخر واشتركا في الجميع اهـ

v   Penerbitan Uang Palsu

المجموع ج: 6 ص: 9
فرع قال الشافعي والأصحاب رحمهم الله يكره للإمام ضرب الدراهم المغشوشة للحديث الصحيح أن رسول الله e قال غشنا فليس منا رواه البخاري ومسلم من رواية أبي هريرة ولأن فيه إفساداً للنقود وإضراراً بذوي الحقوق وغلاء الأسعار وانقطاع الأجلاب وغير ذلك من المفاسد قال أصحابنا ويكره لغير الإمام ضرب المغشوش لما ذكرنا في الإمام ولأن فيه افتئاتاً على الإمام ولأنه يخفى فيغتر به الناس بخلاف ضرب الإمام قال القاضي أبو الطيب في «المجرد» وغيره من الأصحاب قال أصحابنا ويكره أيضاً لغير الإمام ضرب الدراهم والدنانير وإن كانت خالصة لأنه من شأن الإمام ولأنه لا يؤمن فيه الغش والإفساد قال القاضي أبو الطيب قال أصحابنا ومن ملك دراهم مغشوشة كره له إمساكها بل يسبكها ويصفيها قال القاضي إلاّ إذا كانت دراهم البلد مغشوشة فلا يكره إمساكها وقد نص الشافعي t على كراهة إمساك المغشوشة واتفق الأصحاب عليه لأنه يغر به ورثته إذا مات وغيرهم في الحياة كذا علله الشافعي وغيره والله تعالى أعلم وأما المعاملة بالدراهم المغشوشة فإن كان الغش فيها مستهلكاً بحيث لو صفيت لم يكن له صورة كالدراهم المطلية بزرنيخ ونحوه صحت المعاملة عليها بالاتفاق لأن وجود هذا الغش كالعدم وإن لم يكن مستهلكاً كالغشوش بنحاس ورصاص ونحوهما فإن كانت الفضة فيها معلومة لا تختلف صحت المعاملة على عينها الحاضرة وفي الذمة أيضاً وهذا متفق عليه صرح به الماوردي وغيره من العراقيين وإمام الحرمين وغيره من الخراسانيين
موعظة المؤمنين   (ترويج الزائف) ص :121
الثانى ترويج الزيف من الدراهيم فى أثناء العقد فهو ظلم إذ يستضر به المعامل إن لم يعرف وإن عرف فسيروجه على غيره فيتردد فى الأيدى ويعم الضرر ويتسع الفساد ويكون وزر الكل ووباله راجعا إليه لأنه هو الذى فتح هذا الباب قال بعضهم إنفاق درهم زيف أشد من سرقة مائة درهم لأن السرقة معصية واحدة وقد تمت وانقطعت ومعصية انفاق الزيف قد يكون عليه وزرها بعد موته إلى مائة سنة أو مائتى سنة إلى ان يفنى ذلك الدرهم
بغية المسترشدين ص : 91   دار الفكر
(مسألة ك) يجب امتثال أمر الإمام فى كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه فى مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله م ر وتردد فيه فى التحفة ثم مال إلى الوجوب فى كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة فى المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطنا أنه يأثم اهـ قلت وقال ش ق والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوى الهيآت وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادى بعدم شرب الناس له فى الأسواق والقهاوى فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشىء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ
v   Pinjaman Uang Kertas Sebagai Borg Dalam Gadai
شرح زبد ابن رسلان ج: 1 ص: 215
ولا بد في المعار أن تكون منفعته قوية فلا تصح إعارة النقد إلا أن يعيره للتزين به أو الضرب على طبعه فتصح لاتخاذه المنفعة مقصدا وإن ضعفت
إعانة الطالبين ج: 3 ص: 56
ويصح إعارة النقد لذلك على الأوجه وإن منعنا إعارته لغير ذلك فيصح رهن معار بإذن مالك بشرط معرفته المرتهن وجنس الدين وقدره ويصح إعارة النقد  لذلك أي للرهن قال ع ش ثم بعد حلول الدين إن وفى المالك فظاهر وإن لم يوف بيعت الدراهم بجنس حق المرتهن إن لم تكن من جنسه فإن كانت من جنسه جعلها له عوضا عن دينه بصيغة تدل على نقل الملك (قوله وإن منعنا إعارته) أي النقد (وقوله لغير ذلك) أي الرهن كإعارته للنفقة أو ليصرفه في مشترى عين (قوله فيصح رهن معار إلخ) تفريع على أو همام وقوله بإذن مالك أي في الرهن فلو لم يأذن المالك فيه لا يصح رهنه (قوله بشرط معرفته) أي المالك (وقوله المرتهن ومعرفته) تكون بعينه أو اسمه ونسبه لا بوصفه فقط كما هو ظاهر (وقوله وجنس الدين) أي وبشرط معرفته جنس الدين كذهب وفضة (وقوله وقدره) أي كعشرة ومائة ولا بد من معرفته صفته أيضا كحلول وتأجيل وصحة وتكسير وذلك لاختلاف الأغراض بذلك قوله نعم في الجواهر تقييد لاشتراط معرفته جنس الدين وقدره فكأنه قال محل اشتراط ما ذكر ما لم يفوض الأمر إلى خيرة المدين وإلا لم يشترط ذلك (وقوله صح أن يرهنه بأكثر من قيمته) قال في التحفة ويؤيده ما يأتي في العارية من صحة انتفع به بما شئت لكن قال سم سيأتي في العارية أن المعتمد في انتفع به بما شئت إنه يتقيد بالمعتاد في مثله فقياسه أنه يتقيد هنا بما يعتاد رهن مثله عليه وفرق ع ش بأن الانتفاع في المعار بغير المعتاد يعود منه ضرر
حاشية البجيرمي ج: 2 ص: 371
 ويتصور اجتماع القراض والعارية في إعارة النقد للتزين أو لرهنه أو للضرب على طبعه وإذا تصرف فيه برىء منه ح ل وم ر
الهداية شرح البداية ج: 4 ص: 137
 قال ويجوز رهن الدراهم  والدنانير والمكيل والموزون لأنه يتحقق الاستيفاء منه فكان محلا للرهن فإن رهنت بجنسها فهلكت هلكت بمثلها من الدين وإن اختلفا في الجودة لأنه لا معتبر بالجودة ثم المقابلة بجنسها وهذا ثم أبي حنيفة رحمه الله لأن عنده يصير مستوفيا باعتبارالوزن دون القيمة وعندهما يضمن القيمة من خلاف جنسه ويكون رهنا مكانه

v   Telaah Asbab Al-Khilaf Dari Syafi’iyyah Hambaliyah Dan Hanafiah Dalam Permasalahan Riba Dan Zakat

الفروق للقرافي الجزء الرابع المجلد الثاني ص : 251

(المسألة الثالثة) إذا جرى غير النقدين من العروض مجراهما في المعاملة كالفلوس أو غيرهما كالنوط قال سند من أجرى الفلوس مجرى النقدين في تحريم الربا جعلها كالنقدين ومنع البدل في الصرف إذا وجد بعضها رديئا وقول مالك في المدونة إذا اشتريت فلوسا بدراهم فوجدت بعد التفرق بعض الفلوس رديئا استحق البدل للخلاف فيها مبني على مذهبه أن الفلوس يكره الربا فيها من غير تحريم وفيها ثلاثة أقوال التحريم والإباحة والكراهة اهـ كلام الأصل بتصرف وهذه الأقوال الثلاثة مبنية على أن كل عرض جرى مجرى النقدين في المعاملة كالفلوس النحاس وورق النوط يتحقق فيه وجهان وجه كونه كالعرض فقط في كونه غير ربوي قال الدسوقي على الدردير على مختصر خليل وهو المعتمد وعليه يقال في بيع الفلوس السحاتيت المتعامل بها بالفلوس الديوانية إن تماثلا عددا فأجز وإن جهل عدد كل فإن زاد أحدهما زيادة تنفي المزابنة فأجز وإلا فلا اهـ المحتاج منه بتصرف وهو أيضا مذهب الشافعية والقول المقابل للصحيح عند الحنابلة إلا أن الشافعية ومن يقول بهذا القول من الحنابلة  يقولون بوجوب زكاة قيمته على التاجر مطلقا ولو محتكرا . وأما عندنا فقال الشيخ عليش في فتاويه إن ورق النوط والفلوس النحاس المختومة بختم السلطان المتعامل بها لا زكاة في عينها لخروجها عما وجبت في عينه من النعم والأصناف المخصوصة من الحبوب والثمار والذهب والفضة ومنهما قيمة عرض المدير وثمن عرض المحتكر قال في المدونة ومن حال الحول على فلوس عنده قيمته مائتا درهم فلا زكاة عليه فيها إلا أن يكون مديرا فيقومها كالعروض اهـ وفي الطراز بعد أن ذكر عن أبي حنيفة والشافعي وجوب الزكاة في عينها واتفاقهما على تعلقها بقيمتها وعن الشافعي قولين في إخراج عينها أي في جواز إخراج عين الفلوس الجدد في زكاة النقد وقيمة عروض التجارة التي منها الفلوس وهو ما أفتى به البلقيني أو عدم جواز خراج عينها وهو أصل مذهب الشافعي قال والمذهب أنها لا تجب في عينها إذ لا خلاف أنها لا يعتبر وزنها ولا عددها وإنما المعتبر قيمتها فلو وجبت في عينها لاعتبر النصاب من عينها ومبلغها لا من قيمتها كما في عين الورق والذهب والحبوب والثمار فلما انقطع تعلقها بعينها جرت على حكم جنسها من النحاس والحديد وشبهه اهـ (والقول) بالتحريم مبني على اعتبار جهة كونه كالنقد قوة في كونه ربويا قال الدسوقي وعلى أن الفلوس ربوية لا يجوز بيع الفلوس السحاتيت المتعامل بها بالفلوس الديوانية إلا إذا تماثلا وزنا أو عددا اهـ وقال أبو الحسن وفي السلم الأول من المدونة والصغر والنحاس عرض ما لم يضرب فلوسا فإذا ضرب فلوسا جرى مجرى الذهب والورق مجراهما فيما يحل ويحرم وفي الصرف منها ومن لك عليه درهم ثم قال وكذلك الفلوس اهـ نقله الرهوني في حاشيته على عبق ونقل قبله قول عياض في التنبيهات اختلف لفظه أي مالك في الفلوس في مسائله بحسب اختلاف رأيه في أصليا هي كالعرض أو كالعين فله هنا التشديد وأنه لا يصح فيها النظرة ولا تجوز وشبهها بالعين وظاهره المنع جملة كالفضة والذهب اهـ وقال قبل وجزم ابن عرفة بأن بيع أحد النقدين بالفلوس صرف حيث قال الصرف ببيع الذهب بالفضة أو أحدهما بفلوس لقولها أي المدونة متى صرف دراهم بفلوس والأصل الحقيقة اهـ يقيد حرمة التأخير في ذلك جزما مع أنه قد قال بعد ذلك ما نصه وفي كون الفلوس ربوية كالعين ثالث الروايات يكره فيها اهـ وقال أيضا ما نصه روى محمد في الفلوس والتمائم من الرصاص تباع بعين لأجل لم يبلغه تحريمه عن أحد وليس بحرام وتركه أحب إلي اتهب بفسخ إن نزل إلا أن تفوت الفلوس بحوالة سوق أو تبطل اهـ كلام الرهوني ومفهوم قول الطراز المتقدم والمذهب أنها أي الزكاة لا تجب في عينها إلخ أنها تجب في عينها على مقابل المذهب المبني على اعتبار جهة أن نحو الفلوس كالعين فقط كما لا يخفى (والقول) بالكراهة مبني على اعتبار أن له مرتبة وسطى بين الجهتين المتحققتين فيه فتراعى فيه جهة كونه كالعين في نحو الصرف والربا ويراع فيه جهة كونه كالعرض في غير ذلك عندنا ففي حاشية الرهوني قال ابن عرفة ما نصه روى محمد في الفلوس والتمائم من الرصاص تباع بعين لأجل لم يبلغه تحريمه عن أحد وليس بحرام وتركه أحب إلي كما تقدم وفي الإرشاد المنصوص كراهة التفاضل والنساء في الفلوس اهـ ونحوه في التلقين والتفريع والمدونة في موضعين وساق نصوص الجميع فانظره وقال قال عياض في التنبيهات بعد ما تقدم عنه ليست الفلوس كالدنانير والدراهم في جميع الأشياء وليست كالدراهم العين وأجاز بدلها إذا أصابها رديئة وقال في ثاني السلم إن باع بها وكيل ضمن لأنها كالعرض إلا في سلعة يسيرة الثمن وفي الزكاة لا تزكى إلا في الإدارة كالعرض وفي السلم الثالث منع بيعها جزافا كالعين وفي الأول يسلم فيها الطعام والعرض لا غير وفي القرض من رواية عبد الرحيم جواز بيعها بالعين نظرة وفي العارية إن أعارها فهو قرض كالعين وفي الاستحقاق إن استحقت وكانت رأس مال سلم أتى بمثلها كالعين وفي الرهون إن رهنت طبع عليها كالعين اهـ المحتاج إليه من الرهوني وخلاصته أن هذه الرواية تراعي وجه كونه كالعرض في الزكاة فقط فتوجب زكاة قيمته على المدير وزكاة ثمنه على المحتكر وتراعي وجه كونه كالعين والنقد في الربا بنوعيه والصرف فتكره فيه تنزيها الربا بنوعيه وتستحب فيه شروط الصرف لكونه بمنزلة الربوي لا ربويا صرفا والصحيح عند الحنابلة وإن كانا فيهما مراعاة الجهتين أيضا إلا أن الأحناف راعوا في الزكاة جهة كونه كالعين فأوجبوا في قيمته الزكاة في الربا بنوعيه والصرف جهة كونه كالعرض فلم يشترطوا في بيعه بالدراهم أو الدنانير شروط الصرف وأجازوا فيه الربا بنوعيه والصحيح عند الحنابلة راعى جهة كونه كالعرض في الزكاة وربا الفضل فأوجب زكاته على التاجر مطلقا وأجاز فيه ربا الفضل وراعى جهة كونه كالعين والنقد في الصرف وربا النساء فشرط في صرفه بالدراهم أو الدنانير شروط الصرف ومنع فيه ربا النساء انظر رسالتي شمس الإشراق في حكم التعامل بالأوراق هذا  وقال الإمام ابن الشاط الذي يقوي عندي مذهب الشافعي أي بأن النقود تتعين بالشخص على قاعدة المشخصات وأقوى حججه قياس النقدين على ذوات الأمثال وما أجيب به من أن ذوات الأمثال مقاصد والنقدين وسائل ليس بفرق يقدح مثله في مثل ذلك القياس قال وما قاله الشهاب في فرع الغاصب ضعيف والصحيح في النظر لزوم رد الدينار المغصوب بعينه ما دام قائما أما إذا فات فله رد غيره وكل ما قاله في الفروع بعده فهو عندي غير صحيح والقول بأن الدينار الذي في يد الإنسان بميراثه من أبيه أو بأخذه عوضا عن سلعة معينة كانت ملكه ليس ملكا له من أشنع قول يسمع وأفحش مذهب ببطلانه يقطع ولما كانت المسألة الثانية مبنية على عدم تعين النقدين بالتعيين أشكل الفرق بين مسألتي الصرف والكراء والصحيح أن ذلك الأصل غير صحيح فلا إشكال والله أعلم اهـ



[1]     Hasan Abdullah Amin “Ahkam Taghayyur Qimah al-‘Umalah al-Naqdiyah wa Asyriha Fi Tasdid al-Qardzi” dar al-Nafais cet. I . hal. 29
[2]     Syihabuddin al-Qulyuby al-Qulyuby” Dar Kotob el-Ilmiyah juz. II, hal. 28
[3]     Hasan Abdullah Amin, Of. Cit, hal. 30
[4]     Ibid hal. 32
[5]     Ibid hal. 29
[6]     Abi Su’ud bin Muhammad al-Afandi“Al-Ahkam Fi Jawazi Waqf al-Nuqud” hal. 7
[7]     Syeh Muhammad al-Hanafy“Badai’ al-Zuhur” hal. 50-51
[8]     Hasan Abdullah Amin, Of. Cit, hal. 31
[9]     Al-‘Alamah al-Showy Hasyiyah al-‘Alamah a’-Showi” Cet. al-Hidayah juz.III, hal. 6
[10]    Hasan Abdullah Amin, Of. Cit, hal. 39
[11]    Ibid, hal.39-41
[12]    Hasan Abdullah Amin, Of. Cit, hal. 45 dan Syeh al-Syarwani Al-Syarwany”  cet. I ., juz. V, hal. 411
[13]    Syeh Mahfudz al-TarmasiAl-Tarmasi” juz.IV,  hal.29
[14]    Musthofa al-KhinFiqh al-Manhaji” juz.VII, hal. 94-95
[15]    Abdurrahman al-Zujairi Al-Madzahib al-Arba’ah” cet. I . hal. 514-515
[16]    Al-Syarwani Of. Cit, juz. V, hal. 411 cet. I
[17]    Syeh Mahfudz al-Tarmasi “Al-Tarmasi” juz.IV, hal.29
[18]    Ibid, hal.29-30
[19]    Musthofa al-Khin “Fiqh al-Manhaji” juz.VII,hal. 94-95
[20]    Abu Ishaq Al-Syairozy Al-Muhadzab” juz I,hal. 273 cet. I
[21]    Al-Nawawi Al-Raudloh” juz. V, hal. 18 cet. I Dar el Fikr dan Hasan Abdullah Amin Of. Cit hal. 120
[22]    Ibid, hal.125
[23]    Syeh Sulaiman al-Bujairomy Al-Bujairimy” juz.II, hal.29
[24]    Hasan Abdullah Amin Of. Cit hal. 34 cet. I
[25]    Ibid, hal.32
[26]    Sayyid al-Bakri al-Dimyati al-Mishry I’anah al-Tholibin” juz.III, hal.99-100
[27]    Khotib al-SarbiniMughni al-Muhtaj” juz.II,hal. 310
[28]    Musthofa al-Khin, Of. Cit  juz.VII, hal. 64
[29]    Muhyiddin Al-NawawiAl-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” cet. I Maktabah Salafiyah,  juz.III, hal. 56
[30]    Muhammad Jalaluddin Al-Qasim al-Dimisqy Mauidloh al- Mu’minin” juz. I,  hal.121
[31]    Abdurrahman bin Muhammad Bughyah al-Mustarsyidinhal. 91
[32]    Muhammad bin Ahmad al-Romli al-Anshori Syarh Zubad Ibn Ruslan” hal. 215
[33]   Sayyid al-Bakri al-Dimyati al-Mishry, Of. Cit, hal. 56 dan Bujairomy” juz. II, hal. 371 dan Hidayah Syarh al-Bidayah juz. IV, hal. 137