RELEVANSI KITAB
KUNING (TURAST)
A.
Refleksi
Kebangkitan untuk Taqlid Turast Di Tengah Realitas Modern
Dewasa
ini, tatkala perjalanan keilmuan islam yang identik dengan nuansa fiqihnya
mulai mendapatkan porsi yang strategis dalam dunia pendidikan, terutama di
perguruan tinggi seperti STAIN Tulungagung. Beragam diskusi dalam forum-forum
ilmiah seperti fokus, studi islam kontemporer, dll. bermunculan dengan
mengusung isu-isu kontemporer. Tak jarang juga, sesekali muncul wawasan
berpikir yang bernuansa analisa, wacana yang terkadang agak terkesan kelewat
bersemangat sehingga cenderung mengarah pada "Anarkhis Pemikiran",
fenomena lain yang lebih menarik adalah keenggana para pemikir untuk bertaqlit
kepada karya pemikir-pemikir terdahulu (turast). Bahkan, bagi mereka yang
kurang faham akan pola fikir ulama’ salaf, memahami turast dianggap sebagai
letupan-letupan atas taqlit buta. Padahal, jika kita tahu saja (belum sampai
faham), proses penentuan masalah oleh ulama’ salaf di dalam turast, sudah
barang tentu kita akan bilang “wuao,, gitu%?” artinya, banyak sekali rumusan
yang menakjubkan dibalik kitab-kitab klasik tersebut yang jauh dari rabaan kita.
PPHM Ngunut |
Contoh
sederhana pada penelitian ulama dahulu dalam kasus membaca keras bacaan sholat
tasbih. Disana ada istilah tawasut (bacaan antara jahr dan sirri) beliau-beliau
merumuskan metode tawasut dengan sangat detail menyangkut telinga sendiri dan
telinga tetangga serta cara pengaplikasiannya.
Dalam
kasus peng-ilhakan nasab seseorang, identifikasi kasus pembunuhan atau yang
lain. Di dalam turast ada salah satu media pemecahan kasus tersebut dengan cara
penjenisan darah (Fawasilu Al-Dam) atau sekarang lebih dikenal dengan
tes DNA (Test Deoxyrebose Nuckic Acid). Bagimana hingga sampai kesimpulan
tersebut? Pernahkah kita terfikirkan sejauh itu? Jelas jarang sekali atau
bahkan sama sekali tidak pernah, buktinya kita lebih senang membahas siapakah
letak kesalahan kasus pemerkosaan dari sudut pandang gender. Mungkin semua ini,
dipengaruhi dengan corak epistemology filsafat yunani.
B.
Metode
Epistemology Para Mahasiswa
Pemikir
islam muda saat ini, kususnya dikalangan mahasiswa, mulai enggan menoleh pada
konsep ijtihat terdahulu, kemudian bertaqlit buta pada epistemology filsafat
yunani. Baik yang menggunakan pola fikirnya pendiri madzhab idealisme yakni
plato, atau memakai teori madzhab aristotels yakni realisme.
Dari
dua teori diatas, kita tau ada empat madzhab besar dari yunanai.
1.
Madzhab rasionalisme,
madzhab epistemology yang konsis menyatakan bahwa sumber pengetahuan yang
pertama dan utama adalah akal dan bukan yang lain (Al-Haq Al-Aqliyah).
Bukan al-Qur’an, As-Sunnah, apalagi Qoul Ulama’. Aliran ini dirilis oleh sang
pemuja akal Descartes.
2.
Madzhab yang
dipandegani oleh Jonh Locke, empirisme, madzhab
epistemology yang menegaskan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman panca
indra saja (Tajribat Al-Hissi), seluruh indra kitalah yang menjadi
sumber pengetahuan, baik indra pencium, perasa, pendengar dan penglihat.
3.
Madzhab intuisionalisme.
Yakni aliran yang memilih sumber pengetahuan berasal dari intuisi yang bersifat
ruhani belaka. Sehingga manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan cara
perasaan (Al-Dzauq) ketika bermeditasi. Madzhab ini didirikan oleh
seorang yahudi yang bernama Henri Bergson. Baginya akal dan indra adalah sangat
terbatas dan hanya bisa menilai segala realita yang selalu berubah (At-Tagoyur
Bihtilafil Azminah Wa Amkinah).
4.
Madzhab yang
menggabungkan antara rasionalisme dengan pengalan empirik (Jam’u Al-Bayan
Al-Ma’qul Wa Tajribat Al-Hissi). Teori ini memakai jalan tengah serta
menggabungkan teori pengalaman indra dan akal. Pendiri madzhab ini adalah Immanuel
Kant.
Dari
sini bisa ditarik sedikit kesimpulan bahwa, tatkala mahasiswa enggan
mempelajari turast kemudian memakai empat madzhab diatas, akan kesulitan bahkan
tidak ada yang mampu mengaplikasikanya pada penghukuman finis dalam sebuah
kasus, yang sehingga pemahaman yang seharusnya urgen untuk dicermati seperti
usul fiqh larut, bahkan pincang ditelan zaman.
Dinamika
pemikiran islam sudah mulai menampakkan pergolakannya ditengah para intelektual
muda yang saling beragumentasi dan berebut hujjah dengan landasan mainstream
pemikirannya masing-masing, seolah menandai akan kebangkitan khazanah islam
yang pernah mencapai masa keemasannya ratusan tahun silam. Setidaknya peta
kebangkitan itu dapat diidentifiikasi dari dua kutub pemikiran yang semakin
mewarnai pola berfikir para kaum intelektual islam saat ini yang cenderung
saling berhadap-hadapan (konfrontatif). Dua pola fikir itu adalah:
Pertama:
Pola fikir yang memusatkan perhatiannya hanya dalam masalah qo’idah paten dan
furu'iyah-furuiyahnya (cabangan) yang cukup mengedepankan produk-produk hukum
lama. Akibatnya landasan sistem berfikir yang digunakan cenderung tekstual,
bersifat statis dan berhenti hanya seputar teks-teks yang terbaca saja, pola
berfikir semacam ini, untuk proses penyerapan berpikir bagus dalam fase
permulaan, namun untuk meningkat pada fase selanjutnya, pola ini akan mengalami
hambatan ketika harus menjawab dinamika kehidupan yang terus berkembang
dan melahirkan masalah-masalah baru yang
belum pernah disinggung oleh fiqh klasik secara tekstual, pada akhirnya dunia
pemikiran islam hanya akan didominasi generasi taqlid saja. Pada realitanya
corak berpikir seperti ini sering dialamatkan pada kaum intelektual dari
kalangan pesantren.
Kedua
: Pola berfikir yang memfokuskan wawasan berfikirnya hanya pada
teori umum dan prinsip-prinsip universal syar'i. Akibatnya cakrawala pemikiran
yang dipakai cenderung bebas, liar, platform pemikirannya beraliran esensialis,
substansialis, rasionalis, bahkan kelewat berani memunculkan terobosan yang
kontroversial semacam pendapat yang menerjang konsensus kesepakatan paten (Ijma').
Pola berfikir semacam ini terlalu tergesa-gesa dalam mengarahkan energi
berfikirnya, sementara landasan awalnya tidak dikuasai, pada akhirnya lahirlah
generasi yang beraliran liberal, non taqlidi, non Madzhabi. Pada realitinya
pola berfifikir ini banyak didominasi kaum intelektual dari luar pesantren
terutama mahasiswa.
C.
Kesimpulan
penulis
Mahasiswa enggan mempelajari turast klasik, ada dua factor besar
yang melatar belakanginya. yakni:
Pertama,
ke-egoisan, ini adalah hal pertama yang harus digaris bawahi. karena mereka
enggan melihat metode turast. Dengan alasan tidak mau ikut-ikutan (At-Taqlit
Al-‘A’ma). Mereka ingin penemuan yang baru, yang muncul dari diri pribadi
utamanya akal.
Kedua,
kecerobahan. Di zaman sekarang banyak sekali orang terlalu tergesa gesa untuk
melihat bahwa metode turast sangat lemah dan kuno. Karena sebenarnya dia belum
mumpuni dalam masalah-masalah turast, ia malah mempelajari ilmu-ilmu umum yang
prioritasnya hanya untuk mencari kerja, titel (gelar) atau yang lainnya,
pokoknya masih berbau keduniaan. Atau bahkan mungkin mereka berpijak pada
hadist Nabi yang berbunyi :
من أراد الدنيا فعليه بالعلم
Namun didalam literatur taurast, sebenarnya tidak ada
istilah ilmu umum, yang ada adalah ilmu syariat dan selain syariat. Sedangkan,
hukum pencarian ilmu dalam rumusan turas ada dua crit yakni:
Pertama, Wajib
‘ain, jika ilmu tersebut tergolong ilmu hâl yang berkaitan dengan tegaknya
agama, keikhlasan amal, interaksi-dialektika sosial dan lain sebagainya. Contoh
yang paling menjamur didalam kaum hawa adalah mempelajari Risalah Al-Mahidl.
Seperti permasalahan, kapankah seorang wanita wajib mandi besar tatkala keluar
darah setelah bangun tidur tanggal 1 pagi kemudian berhenti tanggal 3 tepat
pukul lima sore. Dan sholat apa sajakah yang harus dia kerjakan.
Tak jarang wanita-wanita yang mengalami hal tersebut
beranggapan bahwa dia harus mandi setelah yakin benar-benar berhenti, artinya dia
tidak langsung segera mandi melainkan menunggu darah tersebut, sampai benar-benar
ada keyakinan bahwa darah itu sudah berhenti (atus, red jawa). Dan bahkan ada
diantara mereka beranggapan bahwa mereka belum terkena kewajiban sholat dan
lain lain, ketika menunggu akan datangnya keyakinan berhentinya darah dan
selang waktu sebelum dia mandi.
Padahal jika kita melihat konsep mawani’
as-sholat turast dalam kasus diatas, dia
wajib mandi ketika darah itu berhenti dan melakukan kewajiban seperti biasa serta
dia harus segera sholat ‘asar sekaligus mengqodlo’I sholat yang bisa dijama’
dengan sholat asar, yakni mengqodlo’ sholat dluhur. Yang harus kita tanyakan
kepada diri kita masing masing, sudahkah kita tahu segala ilmu haliyah yang
wajib dan yang setiap hari kita pakai?.
Kedua, Wajib
kifayah apabila ilmu tersebut menjadi sebuah keharusan demi keberlangsungan dan
kemapanan urusan kaum muslimin. Seperti ilmu kedokteran, qudloh, dll.
Sedangkan target pencapaiannya, apabila untuk ilmu yang
fardlu ain maka sampai tercukupinya kebutuhan dirinya saat itu atau pada zaman
yang akan datang. Dan apabila untuk ilmu yang fardlu kifayah maka hingga
tercukupinya kebutuhan fatwa dan qadla’, medis serta kebutuhan-kebutuhan
masyarakat lainnya. Sehingga meninggalkan mempelajari ilmu-ilmu fardlu atau
mencampur dengan ilmu yang tidak fardlu hukumnya jelas tidak dilegalkan selama
menyebabkan terbengkelainya pencapaian ilmu fardlu. Lantas yang menjadi pertanyaan
sekarang, memahami injil, ilmu trinitas, antropomorisem (Tajassut) dalam
diskusi antar agama masuk item yang manakah? Fihi Nadlorun, fal tata’ammal.
Semua itu adalah pengantar kita untuk kembali
bertaqlit kepada turas. Sedangkan metode turast yang sebenarnya akan kami
sampaikan di edisi berikutnya.
Mahasiswa Bersarung dalam Celana Jin’s, STAIN TA TH 1.
bagus banget mas tulisanya,,, sukron katsir ats ilmunya,,,
BalasHapusMOHON DIKOREKSI.
BalasHapus