Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Sabtu, 05 Oktober 2013

Nasih wa al-Mansuh dan konsep Tarjih hadist



BAB  I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad adalah syari' atau pembuat hukum dalam agama islam setelah Alloh SWT. Kemudian apapun yang datang dari Nabi Muhammad tentu sebuah ajaran dengan harga mati yang tidak biasa ditawar lagi. Lantas jika segalanya menjadi ajaran, bagaiman untuk mensikapi sebuah hadist yang bertentangan dengan hadist lain. Padahal keduanya datang dari Nabi Muhammad dan keduanya sebagai sumber ajaran yang harus dipakai.
Sangking banyaknya hadist Nabi Muhammad yang bertentangan antar satu dengan yang lain sedangkan tidaklah mungkin dua perintah yang bertentang ditujukan kepada satu objek yakni umatnya. Maka dari itu dibutuhkan jalan keluar untuk menanggapi permasalahn tersebut. Yakni dengan cara pertama, mencari titik temu dari mafhum kedua hadist tersebut. Kedua, jika tidak ditemukan maka dicari mana hadist yang llebih dahulu dan mana yang datangnya ahir kemudian masuklah konsep Nasih Mansuh al-hadist. Ketiga, jika keduanya tidak menjawab, maka konsep Tarjih al-hadistlah yang berbicara, guna menyelesaikan pertentangan dua hadist tersebut.
Dari sini, sangat terlihat sekali betapa pentingnya konsep Nasih Mansuh dan konsep Tarjih. Oleh karena itu, akan kami paparkan kedua konsep tersebut dalam makalah ini, sebagai pengejawantahan mahasiswa tafsit hadist yang kamil.  
B.            Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah konsep Nasih wa al-Mansuh hadist itu?
2.        Bagaimanakah konsep Tarjih hadist itu?
C.            Tujuan Pembahasan
1.        Untuk mengetahui konsep Nasih wa al-Mansuh hadist.
2.        Untuk mengetahui konsep Tarjih hadist.



BAB  II
PEMBAHASAN

A.           Nasih dan Mansuh al-Hadist  
1.             Pengertian Nasah al-Hadist
Pengertian Nasah secara bahasa sendiri mempunyai dua makna yakni : naqlu (النقل) yang berarti pindah. Kedua bermakna ibtol atau izalah (الإزالة و ابطال) yang berarti membatalkan dan menghilangi. Karena nasah sering digunakan sebagai kalimat matahari menghilangkan kegelapan menjadikan terang.[1]
Nasah secara istilah adalah:
عبارة عن رفع الشارع حكما من أحكامه سابقا بحكم من أحكامه لاحق
Adanya penghapusan hukum olah syari' (pembuat hukum) kepada hukum yang datangnya dahulu dengan hukum yang pantas serta datang setelahnya.
Devinisi ini adalah rumusan devinisi Nasih Mansuh yang tidak bisa terbantahkan dengan devinisi manapun. Jadi, dikecualikan dari penghapusan hukum adalah penjelasan hukum mujmal (بيان المجمل) karena hal itu bukanlah termasuk dalam kategori penghapusan hukum. Dikecualikan juga dengan istilah syari' adalah para sahabat atau pengikut syahabat, karena yang dimaksud dengan istilah syari' adalah Alloh dan Nabi Muhammad SAW. Kemudian dikecualikan lagi dengan yang namanya hukum awal adalah penghususan hukum dalam satu redaksi seperti tahsis dengan huruf illa. Dan dikecualikan dari hukum syari' adalah hukum taklifi, artinya hitob hukum yang bermuara pada orang yang mukallaf seperti gila atau mati. ada lagi pengecualian dari istilah hukum yang pantas adalah hukum-hukum syari' yang habis masanya, seperti hadist nabi menyuruh puasa setelah usai perang yang mana nabi sebelumnya memperbolehkan berbuka (ifthor). Jadi, devinisi diatas ini bisa membatasi pada contoh-contoh penghapusan hukum namun tidak masuk kategori Nasih wa Mansuh, walaupun dari devinisi ini masih banyak ulama' yang memberikan kelonggaran dalam mengartikan nasah Mansuh. Devinisi inilah yang dipakai oleh mayoritas ulama' seperti yang diriwayatkan oleh qodli abu bakar al-baqilani, ibnu hajib, imam amudi dan masih banyak yang lainnya.[2]
2.             Syarat-Syarat Nasah Hukum
Sebenarnya di dalam devinisi diatas sudah bisa ditebak apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penghapusan hukum. Al-hazimi merumuskan syarat-syarat nasah di dalam kitabnya yang berjudul Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar. Diantara lima syarat yang harus terpenuhi bila ada penasahan adalah:[3]
a.    Dalil Nasih haruslah datang secara terpisah dan lebih ahir dari dalil Mansuhnya. Dalam konteks ahir disini ada kalanya yang terpisah dan adakalanya yang sambung menjadi satu.
b.    Nasah harus berupa hitob hukum, maka hilangnya hukum taklifi seperti mati, gila dan lain sebagainya tidak termasuk nasah sebab mati berarti menghilangkan hukum perintah.
c.    Antara nasah dan Mansuh harus berupa hukum syar'I, bukan hukum aqli atau adati. Sebab hukum yang berkaitan ibadah pastilah hukum syar'i.
d.   Adanya hukum yang lama tidak dibatasi dengan waktu tertentu seperti hadist:
قَوْلِهِ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - : لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ .
Dengan hadist nabi tetang sholat yang tidak punya sebab dengan waktu, seperti sholat tahiyat masjid, sholat jenazah dan lain sebagainya. Maka hal ini bukanlah masuk pada kategori nasah sebab penghususan waktu bukanlah termasuk nasah.[4] Dan hukum awal yang dibatasi oleh waktu akan hilang secara otomatis dengan habisnya waktu tersebut.
e.    Adanya Dalil Nasih haruslah lebih kuat dari pada dalil Mansuhnya menurut sebagian ulama'. Jadi tidaklah mungkin hadist menghapus hukum dalil al-Qur'an.[5]
3.             Petunjuk nasah hukum syari'
Banyak ulama' yang berkomentar perihal sulitnya konsep Nasih wal Mansuh. Diantaranya az-zuhri, menurut beliau banyak sekali ahli fiqih yang kesulitan bahkan lemah sekali dalam memahami konsep Nasih Mansuh hadist. Akan tetapi, dari kesulitan tersebut para ulama' seperti ibnu sholah sukses besar dalam merumuskan ilmu Nasih wal Mansuh. Rumusan tersebut adalah bahwa kesulitan hadist yang mengalami nasah ini bisa dideteksi akan keberadaannya dengan 4 hal. Yakni penjelasan nabi, penjelasan shohabat, keterangan sejarah dan adanya kesepakatan ulama' (ijma').[6]
a.      Penjelasan Nabi
Nasah bisa diketahui dengan adanya penjelasan dari nabi langsung atau lafadz Nasih yang langsung disabdakan oleh nabi. Seperti hadistnya buraidah yang ditahrij oleh imam muslim dalam kitab shohih muslim:
وَحَدَّثَنِى حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ، فَزُورُوهَا »
Dari anaknya buraidah dari buraidah bahwa rosulloh bersabda," saya telah melarang kamu semua untuk berziarah qubur. Maka (sekarang) berziarahlah kamu sekalian ke makam.[7]
 Pada hadist diatas, disana sangat jelas adanya pernyataan rosulloh yang semula melarang dan dikemudian hari rosulloh memerintahkan ziarah kubur. Berarti disana rosulloh menghapus hokum pertama, yakni larangan kemudian perintah. Lantas akan menjadi sebuah pertanyaan, apakah perintah nabi atas berzizrah kubur ini bermuatan hokum wajib. Disini ulama' usul fiqh berpendapat bahwa, "pada dasarnya,segala perintah syari' itu hukumnya wajib selama tidak ada penjelasan yang merubahnya. Lantas hadist buraidah disini jelas perintah yang tidak bermuara hokum wajib meskipun sudah jelas adanya perintah dari rosulloh berupa perintah فَزُورُوهَا. Hal ini disebabkan perintah itu datanya setelah ada larangan. Berarti, makna dari hadis buraidah ini rosulooh memperbolehkan kita untuk berziarah kubur dengan alasan bisa mengingatkan kita kepada kehidupan ahirat. Serta hokum ini akan terus berlanjut selama nabi tidak melarang lagi akan berziarah. Sebab konsep nasah haruslah keluar dari syari'. Artinya, hokum boleh berziarah ini tidak akan menjadi hokum haram hanya dengan melihat realita oaring berziarah saat ini banyak yang meminta berkah kepada penghuni makam. Karena penyebab (ilat al-hukmi) tidak bisa merusak hokum universal melainkan hokum pribadi masing-masing.[8]
b.      Penjelasan Shahabat
Nasah bisa diketahui dengan adanya penjelasan dari syahabat. Seperti hadistnya shahabat jabir bin abdulloh yang ditahrij oleh Imam An-Nasa'i dalam kitab Sunan An-Nasa'i. dan hadis ini dianggap hadist shohih oleh al-banani.
أخبرنا عمرو بن منصور قال حدثنا علي بن عياش قال حدثنا شعيب عن محمد بن المنكدر قال سمعت جابر بن عبد الله قال : " كَانَ آخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Shahabat jabir bin abdulloh berkata : yang terahir dari dua perintah nabi adalah meninggalkan wudlu dari sesuatau yang terkena api.
Pada hadist ini, syahabat jabir menjaelaskan kesimpulan terahir dari hadist nabi tentang keharusan wudlu setelah makan hal-hal yang bersentuhan dengan api.
قَال صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Nabi Bersabda, "Berwudlulah kamu semua dari segala sesuatau (makanan) yang bersentuhan dengan api".[9]
Para ulama' baik salaf maupun kholaf sepakat bahwa wudlu seseorang tidaklah batal dengan ia memakan segala makanan yang dikenai api. Diantara ulama yang berpendapat seperti diatas ini adalah Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin Hottob, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib, Abdulloh Bin Masud, Abu Dardak, Ibnu Abbas, Abdulloh Bin Umar, Anas Bin Malik, Jabir Bin Sumaroh, Zaid Bin Sabit, Abu Musa, Abu Huroiroh, Amir Bin Robiah, Abu Umamah RodliyAllohu Anhum Ajmai-ien, Amiin. Ada sebagian pendapat seperti Hasan Al-Basyri, Az-Zuhri, Abi Qilabah Dan Umar Bin Abdul Aziz yang berpendapat bahwa yang dimaksud dalam hadist diatas adalah wudlu syar'I atau wudlu mau sholat. Adalagi pendapat yang menyatakan wudlu disana bukanlah wudlu syar'I melainkan hanya membasuh mulud dan tangan karena telah dipakai untuk makan makanan tersebut.[10]
Berangkat dari konsep Nasih Mansuh, para ulama' sepakat bahwa hadist perihal perintah wudlu sehabis makan makanan yang terkena api ini dinasah dengan hadisnya jabir yang menyimpulkan ending terahir dari perintah nabi adalah meninggalkan wudlu. Artinya, penjelasan jabir ini lah yang menasah perintah nabi.[11]
Jadi, perbedaan konsep nasah dari penjelasan nabi dengan penjelasan syahabat adalah nabi tidak mengucapkan secara langsung akan penghapusannya melainkan kesimpulan dari syahabat atas nabi telah menghapus hokum yang pertama. Meskipun keduanya sama-sama dari hadist nabi.[12]
c.       Keterangan Sejarah
Peran sejarah sangatlah vital dalam menentukan hadist Nasih Mansuh. Sebab hadist Mansuh haruslah lebih awal dan hadist Nasih haruslah datang ahir, maka sudah barang tentu untuk melihat mana yang menjadi Nasih dan mana yang menjadi ansuh tak lain dengan melihat sejarahnya.
Seperti hadistnya Musyadad bin Ausy yang ditahrij oleh Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ ح وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا شَيْبَانُ - جَمِيعًا - عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ أَبِى أَسْمَاءَ - يَعْنِى الرَّحَبِىَّ - عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Nabi bersabda, " batalah puasa orang berbekam dan orang yang dibekam".
Menurut imam syafi'I hadist ini dinasah oleh hadistnya Ibnu Abbas yang ditahrij oleh imam muslim dalam kitab shohih muslim.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ.
Sesungguhnya nabi berbekam padahal nabi dalam keadaan ihrom dan berpuasa.[13]
Hadist ini diriwayatkan oleh ibnu abbas pada saat nabi melakukan haji wada' tahun ke-10 Hijriyah. Sedangkan hadistnya musyadad disabdakan nabi pada saat pembebasan kota makkah atau tahun ke-8 Hijriyyah.[14]
d.      Penjelasan Ijma'
Nasah bisa diketahui dengan adanya penjelasan dari ijma' syahabat. Seperti hadistnya shahabat Qobishoh bin Dzuaib yang ditahrij oleh abu dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud.
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (4 / 282)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِىُّ أَخْبَرَنَا عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِى الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ ».
Nabi bersabda,"Barang siapa yang meminum minuman keras, maka deralah. Jika mengulangi (kedua) maka deralah. Jika mengulangi lagi (ketiga) maka deralah dan jika masih mengulangi lagi yang keempat maka bunuhlah".
Hadist ini sangat jelas bahwa nabi memerintahkan untuk membunuh pemabuk yang mengulangisampai empat kali, namun ijma' ulama' baik dari ulama' salaf sampai kholaf sepakat untuk tidak menggunakan hukuman mati. Dari sisni Nampak jelas bahwa ada indikasi kalau hadist ini sudah dinasah. Karena adanya kesepakatan tersebut. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hadis tersebut telah dinasah setelah beberapa saat di awal masa islam.[15]
Perlu diketahui, ijma'disini bukanlah Nasih, karena ijma' tidak mengenal dihapus atau menghapus hokum. Akan tetapi, keberadaan kesepakatan tersebut pasti ada hadist nabi yang menghapusnya. Artinya kesepakatan orang banyak dan semuanya adalah para ahli yang terpercaya ini tentu ada pedoman mengapa semuanya sepakat untuk tidak menggunakan hukuman mati bagi pemabuk yang mengulangi sampai empat kali.[16] Bahkan untuk ulama' kuffah berpendapat perihal ijmak model seperti ini adalah termasuk pada tema berperangka baik kepada para syahabat.[17]  
الاعتبار في الناسخ والمنسوخ من الآثار - (1 / 6)
وَيُعْرَفُ ذَلِكَ بِأَمَارَاتِ عِدَّةٌ :
وَمِنْهَا : أَنْ تَجْتَمِعَ الْأُمَّةُ فِي حُكْمِهِ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوخٌ ، فَهَذِهِ مُعْظَمُ أَمَارَاتِ النَّسْخِ ، وَعِنْدَ الْكُوفِيِّينَ زِيَادَاتٌ أُخَرُ نَحْوُ حُسْنِ الظَّنِّ بِالرَّاوِي ، وَهُوَ كَمَا ذَكَرَ الطَّحَاوِيُّ فِي كِتَابِهِ ؛ فَإِنَّهُ رَوَى الْأَحَادِيثَ الصَّحِيحَةَ فِي غَسْلِ الْإِنَاءِ سَبْعَ مَرَّاتٍ مِنْ وُلُوغِ الْكَلْبِ ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى حَدِيثِ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ ، عَنْ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ قَالَ : إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَأَهْرِقْهُ ، ثُمَّ اغْسِلْهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ . فَاعْتَمَدَ عَلَى هَذَا الْأَثَرِ ، وَتَرَكَ الْأَحَادِيثَ الثَّابِتَةَ فِي الْوُلُوغِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى نَسْخِ السَّبْعِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِأَبِي هُرَيْرَةَ ؛
الاعتبار في الناسخ والمنسوخ من الآثار - (1 / 9)
لِأَنَّهُ لَا يُخَالِفُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِيمَا يَرْوِيهِ عَنْهُ ، إِلَّا فِيمَا يَثْبُتُ عِنْدَهُ نَسْخُهُ ، إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ نَظَائِرِهِ الَّتِي لَا يُكْتَرَثُ بِهَا .
B.            Tarjih al-Hadis
Pada dasarnya konsep Tarjih ini, adalah jalan keluar dari hadist muskil atau Muhtalaf hadist yang tidak terdeteksi mana yang lebih awal dan mana yang lebih ahir. Dari pertentangan hadist yang tidak diketahui sejarahnya, para ulama' ahli hadist tidak menemukan titik temu dari keduanya, maka jawaban dari sana adalah Tarjih hadist. Namun bila ditemukan sejarahnya maka akan masuk dalm konsep Nasih dan Mansuh. Jadi, Metode tarjih ini adalah salah satu metode untuk menyelesaikan hadits mukhtalif, setelah melalui metode kompromi dan nasikh mansukh tidak menemukan jalan keluarnya, maka metode tarjih ini berlaku. Menurut Said Bin Abdulloh, cara menTarjih sebuah hadist yang bertentang mencapai seratus cara.[18]
قرائن الترجيح - (1 / 1)
قرائن التَّرجيح والموازنة بين الرِّوايات المختلِفة .1. العدد قال يحيى القطَّان : « كنَّا نظنُّ أنَّ الثَّوريَّ وهم فيه لكثرة من خالفه » (1) .وقال الشافعي : « والعدد أولى بالحفظ من الواحد » (2) .وقال ابن معين في حديث : « الناس يحدثون به مرسلاً » (3) .2684- وسألتُ أبي عن حديثٍ رواه أبو كُدَيْنَة (4) وعمران بن عُيَيْنَة وشعيب بن صَفْوَان، عن عطاء بن السائب، عن القاسم بن عبدالرحمن بن عبدالله بن مسعود ، عن أبيه ، عن جده ؛ قال : جَاءَ حَبْرٌ إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - ، فقال : أخبرني عن شيء لا يعلمه إلا نبي ؛ أخبرني عن ماءِ الرَّجُل ، وماء المرأة ... ، وذكر الحديث ؟قال أبي : رواه حَمَّاد بن سلمة ، عن عطاء بن السائب ، عن القاسم؛ قال : جاء حبر إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - .قلت لأبي : أيُّهما أصح ؛ من حديث عطاء بن السائب ؟ قال : اتفق ثلاثة أنفس على التوصيل .1508 (5) -?وسئل أبو زرعة عن حديثٍ رواه ابن فُضَيْل (6) ، عن الأَعْمَش ، عن أبي صالح وأبي سفيان (7) ، عن جابر؛ قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْديِلِ حَتَّى يَلْعَقَهَا ، أَوْ يُلْعِقَهَا، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيِّ [طَعَامِهِ] (8) الْبَرَكَةَ )) ؟ قال أبو زرعة : الناس يقولون (1) : عن أبي سفيان ، عن جابر ، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - فقط (2) ، بلا أبي صالح .803 (3) -?وسألت أبي عن حديثٍ رواه أبو بكر بن عَيَّاش ، عن هشام ابن عروة ، عن أبيه ، عن عائشة ، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال لضُبَاعَةَ : ((اشْتَرِطِي(8) (4) ) .قال أبو محمد (5) : ورواه (6) الثوري ، عن هشام بن عروة ، عن أبيه، عن ضباعة ، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - ؟فقال أبي : إن عَامَّة الناس يقولون : هشام ، عن أبيه : أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال لضُبَاعَةَ .قال أبي : أَشْبَهُ عندي مرسل ؛ هشام ، عن أبيه : أن النبي - صلى الله عليه وسلم - .وقال الدَّارقطني في حديث : « واجتماع هؤلاء الأربعة على خلاف ما رواه ابن أبي كثير يدلُّ على ضبطهم للحديث » (7) .وسئل الدَّارقطني عن الحديث إذا اختلف فيه الثِّقات ، فقال : « ينظر ما اجتمع عليه ثقتان فيحكم بصحته ، أو ما جاء بلفظة زائدة ، فتقبل تلك الزِّيادة من متقن ، ويحكم لأكثرهم حفظاً وثبتاً على من دونه » (8) .وقال البيهقي : « وكما رجَّح الشَّافعي إحدى الرِّوايتين على الأُخْرَى بزيادة الحفظ ، رجَّح أيضاً بزيادة العدد » (9) .وقال أيضاً : « والجماعة أولى بالحفظ من الواحد » (10) .وقال الخطيب : « ويرجَّح بكثرة الرُّواة لأحد الخبرين ، لأن الغلط عنهم والسَّهو أبعد ، وهو إلى الأقلِّ أَقرب » (11) .
1.                Pengertian Metode Tarjih
Secara bahasa, tarjih ترجح berarti mengeluarkan. Konsep ini muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
Secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ahli ushul, yaitu yang pertama adalah menurut Ulama’ Hanafiyah, yaitu :
إظهار زيادة لأحد المتمائلين على الأخر بما لايستقل
“Membuktikan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri”
Menurut mereka, dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang sama, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Kemudian, dalil tambahan pendukung salah satu dalil yang bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Artinya, disini dalil pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena apabila ada dalil lain yang berdiri sendiri, berarti dalil itu dapat dipakai untuk menetapkan hukum, bukan dalil yang bertentangan tersebut.
Kedua, Jumhur Ulama mendefinisikan:
تقوية إحدى الأمارتين (أى الدليلين الظنتين) على الأخرى ليعمل بها
“Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[4]
Jumhur ulama’ membatasi tarjih dalam dalil yang bersifat zhanni saja, karena masalah ini tidak termasuk dalam persoalan-persoalan yang qath’i (pasti) dan tidak juga antara zhanni dengan yang qath’i. Jumhur Ulama ushul sepakat bahwasanya apabila sudah terjadi pentarjihan dalil, maka dalil yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan. Alasannya karena, kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus.
Contohnya, dalam kasus perbuatan yang mawajibkan mandi. Para sahabat menguatkan hadits dari Aisyah tentangIltiqa’ al-khitanain (bertemunya alat vital laki-laki dengan perempuan H.R Muslim dan Tirmidzi)[6] dari hadits riwayat Abu Hurairah RA yang mengatakan   المأ من المأ إنما (air itu berasal dari air). Maksudnya, apabila keluar air mani, baru wajib mandi. Oleh karena itu, para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh. Cara pentarjihan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu:
1.                                      النصوص بين الترجح 
النصوص بين الترجح yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadits) yang saling bertentangan.
2.                                      الأقيسة بين الترجح  
الأقيسة بين الترجح yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling bertentangan.
Al-Qasimi dengan mengutip pendapat Imam Syafi`i dalam Risalahnya mengatakan bahwa dalam hadis-hadis yang dianggap kontradiksi, maka kami tidak mengambil pendapat salah satunya kecuali ada sebab yang menunjukkan kepada yang lebih kuat dari hadis yang akan ditinggalkan.
Ketelitian Imam al-Syafi`i dalam menyeleksi hadis-hadis yang dianggap kontradikasi antara keduanya, memberikan dua rumusan
1.                  Jika keadaan salah satu dari dua hadis menyerupaikitabullah (dari segi makna), maka yang dijadikanhujjah adalah hadis yang menyerupai kitabullah,
2.                  Jika dalam hadis tidak ada yang menyerupai (dari segi makna) dengan teks kitabullah, maka kami menetapkan salah satunya dengan cara diantaranya,
a.       Keadaan rawi lebih dikenal dari segi sanad dan lebih masyhur keilmuan, hafalan dan imla`,
b.      Keadaan rawi hadis yang kami pilih adalah yang sanad periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kami meninggalkan yang satu jalur periwayatan,
c.       Hadis yang kami pilih adalah hadis yang menyerupai makna kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang lain, dan yang diunggulkan adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu hadis dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.
Sementara al-Suyuthi membagi tiga bagian dalam merumuskan hadis-hadis yang mukhtalaf yaitu;
a)        Keduanya dikompromikan (al-jam`u), jika bisa dikompromikan, dan dengan cara ini tidak akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan antara keduanya,
b)       Jika tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu mendahulukan yang nasikh,
c)        Jika tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih (mengunggulkan) salah satunya.
2.                Macam-Macam Metode Tarjih
Ranah pentarjihan ini juga terbagi atas 3 cara yakni :
1.                  Dari Segi Sanad
a)        Banyaknya Perowi Hadist
Banyaknya perowi hadist adalah pertimbangan paling utama dalam menTarjih sebuah hadist. Seperti hadist mutawatir akan lebih diutamakan dengan hadist ahad atau sama sama hadist mutawatir namun perawinya yang satu lebih banyak. Hal ini disebabkan, banyaknya perawi berarti lebih mendekati kevalidan sebuah hadist. Seperti hadist tentang wajibnya berwudlu setelah menyentuh alat kelamin.[19] Contoh :
حدثنا حفص بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي عليه السلام أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين
”Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalibradliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi SAW shalat (sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at”. (HR. Abu Dawud no. 1272).

Syu’bah dalam sanad hadits ini telah menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y), dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah sebelum ‘Asar Nabi SAW; dimana mereka semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara lain : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).
Jika kita mengambil metode tarjih dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih kuat dibandingkan dua raka’at.
b)        Kesepakatan Para Ahli dalam Mensifati Perowi
Adannya kesepakatan para ahli dalam mensifati perowi adalah cara menTarjih sebuah hadist. Keadilan seorang perowi adakalnya sudah menjadi kesepakatan para ahli hadist dan ada juga yang sifat adilnya perowi masih dipertentangkan. Maka, untuk hadist yang diriwayatkan oleh perowi yang sifat adilnya sudah disepakati para ahli akan diunggulkan daripada hadist yang diriwayatkan oleh perowi yang sifat keadilanya masih dipertentangkan oleh para ahli hadist. Seperti hadistnya busroh binti syofwan dalam kasus menyentuh alat kelamin. Hadist busroh ini diriwayatkan oleh perowi-perowi yang sifat keadilanya sudah disepakati akan kevalidannya, seperti imam malik. Hadist ini bertentangan dengan hadistnya tholiq yang mana kevalidan rowinya masih menjadi pertentangan dikalangan para ahli.[20]
c)         Kevalidan Perowi dari Ingatannya
Kevalitan perowi sangatlah berpengaruh dalam menentukan kesohihan hadist. Kevalitan ini bisa dari sisi perowinya lebih banyak hafalanya atau lebih bisa dipercaya. Seperti jika ada pertentangan hadist yang ditahrij oleh Imam Malik Bin Anas dengan Syu'aib Bin Abi Hamzah, maka yang lebih kuat adalah hadis versi Imam Malik Bin Anas. Hal ini disebabkan Imam Malik Bin Anas lebih dapat dipertanggungjawabkan kapasitanya dari pada Syu'aib Bin Abi Hamzah. Intinya, Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.
d)        Perowi adalah subjek
Jika dalam sebuah hadist ternyata perowinya adalah pelaku dari sebuah cerita tersebut, maka sudah barang tentu dia lebih faham dengan keaadaan sebenarnya, dari pada orang lain. Konsep Tarjih seperti ini telah diterapkan ketika ada pertentangan hadis perihal air mani antara hadisnya seorang sahabat, yang mana dia adalah subjek dari hadist tersebut, dengan hadistnya Aisyah RA. [21] dan
عن ميمونة قالت : تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان
Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah SAWmenikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” (HR. Abu Dawud no. 1843; shahih).
Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallammenikahi Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410).
Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunah ra. dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas ra.ma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata :
وهم بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Abu Dawud no. 1845; shahih).
e)         Kedewasaan Perowi
Kedewasaan perowi dalam menerima hadist juga sangat berpengaruh dalam menTarjih sebuah hadist. Ada beberapa alasan kenapa perowi dewasalebih diprioritaskan dari pada perowi yang masih kecil. Diantaranya, pertama perowi yang sudah balig lebih faham akan makna-makna hadist. Kedua, perowi yang sudah balig lebih pintar dalam menyempurnakan lafad hadist. Ketiga, perowi yang sudah balig lebih jauh dari kesalahan dan percampur adukan sebuah hadist. Keempat, kedlobitan perowi yang sudah balig lebih sempurna. Kelima, perowi yang sudah balig lebih pintar menjaga dasar-dasar sebuah hadist. Keenam, perowi yang sudah balig lebih cepat menangkap hadist ketika mendengarkan hadist.
Seperti pertentangan hadistnya imam malik dengan sufyan bin utaibah. Dengan alasan, ketika imam malik menerima hadistnya sudah dalam keaadaan dewasa. Sedangkan  sufyan bin utaibah masih kecil ketika menerima hadist.[22]
f)         Percakapan Perowi
Perowi yang ikut percakapan dalam sebuah hadist ini lebih diutamakan dari pada perowi yang mendapatkan hadist dari orang lain meski dengan jalan musyafat. Seperti pertentangan hadisnya 'ubaidAlloh bin umar dengan ibnu abi dzi'bin. Namun, kosep ini masih menjadi polemik dikalangan para ahli hadist. Ulama' yang memakai konsep ini adalah ulama' hadist irak, basroh, syam, dan mayoritas ulama' hadist. Sedangkan ulama' yang tidak memakai konsep ini adalah imam malik dan ahlu hijaz, menurut mereka keduanya sama.[23] dan :
عن أبي رافع قال :   تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال وبنى بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما
Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah SAWmenikahi Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” (HR. At-Tirmidzi no. 841).
Jika hadits ini sah maka riwayat Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah SAW dan Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau SAW
g)        Musyafahat Perowi
Adanya pertentangan dua hadist yang pertama diperoleh dengan musyafahat (mendengar langsung hadisnya) dan yang kedua dari sebuah tulisan atau yang semisal. Dari sini akan lebih didahulukan hadist pertama yang diperoleh dengan musyafahat. Dengan alasan, hadist yang kedua lebih rawan akan terjadinya kesalahan seperti terputusnya perowi. Konsep Tarjih seperti ini telah diterapkan ketika ada pertentangan hadis perihal manfaat kulit bangkai antara Ibnu Abbas dengan jalan musyafahat, dengan hadistnya Abdulloh Bin Ukaimdengan riwayat kitabah.[24]
h)        Keikut sertaan perowi
Keikut sertaan perowi dalam hadist itu berarti perowi akan lebih faham dengan keaadaan yang sedang berlangsung dari pada orang yang mendapatkan hadist hanya dari sebuah cerita. Konsep Tarjih seperti ini telah diterapkan ketika ada pertentangan hadis perihal kebolehan nikah antara hadisnya Maimunah oleh Abu Rofi', yang mana beliau berada ditempat ketika nabi bersabda, dengan hadistnya Ibnu Abbas dengan jalan diberitahu seseorang.[25]
i)          Perawi istri Rasulullah SAW
Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri Rasulullah SAW. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri. Contoh :
عن عائشة وأم سلمة – رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari Aisyah dan Ummu Salamah ra.ma bahwasannya Rasulullah SAW pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya.  Kemudian beliau mandi dan berpuasa”  (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109).
أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم
Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu subuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” (HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih).
Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi SAW dibanding dengan Abu Hurairah ra.
2.                  Dari Segi Matan
Yang dimaksud matan disini adalah isi atau kandungan dari hadits, Al Qur’an atau Ijma’, baik yang berupa amr (perintah), larangan, ‘am dan khosh serta yang lainnya. Larangan lebih didahulukan daripada perintah, karena menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah : “Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada menarik mashlahah.” Jika dalil satunya memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati.
Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan yang lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan) maka didahulukan dalil yang mengandung lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak memerlukanqorinah (indikasi) nash yang lain. Bila ada dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain mengandung pembolehan, maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya bisa lebih berhati-hati. Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan. “Ucapan lebih didahulukan atas aktivitas.”
Contohnya adalah tentang buang hajat dengan posisi menghadap atau membelakangi kiblat (ka`bah), hadis tersebut adalah:
عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال اذا جلس احدكم على حاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرها (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Abu Hirairah ra dari Rasulullah SAW bersabda; apabila seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan menghadap dan membelakangi arah qiblat. (HR. Muslim).[14]
عن ابن عمر رضى الله عنه قال رقيت على بيت اختى حفصة فرايت رسول الله صلى الله عليه وسلم قاعدا لحجته مستقبل الشام مستدبر القبلة (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata; Aku datang ke rumah saudari perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW dalam keadaan duduk untuk buang hajat menghadap kearah Syam dan membelakangi qiblat. (HR. Muslim).
Kalau diteliti kedua hadis ini tampak adanya perbedaan antara qaul (ucapan) Nabi SAW dengan af`alnya (perbuatannya). Dalam hal ini al-Syaukani mengutip pendapat Ibnu Rusyd; “bahwa hukum dalam perbuatan Rasulullah SAW seperti hukum dalam qaul-qaulnya”.
Dan menurut pendapatnya jika terjadi kontradiksi antara qaul Nabi SAW dan af`alnya maka diambil beberapa sikap sebagai berikut; pertama, mendahulukan qaul daripada af`al, kedua, mendahulukan af`al daripada qaul, ketiga, mendahulukan yang diketahui sejarahnya.
Imam al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani berpendapat bahwa perbuatan Nabi SAW menunjukkan pada wajib (ketetapan) dan jika diketahui faktor sejarah maka yang datang terakhir dinasakh dan jika yang datang terakhir juga diketahui sejarahnya maka keduanya ditarjih dan tetap diantara keduanya tidak terjadi kontradiksi, boleh jadi menunjukkan pada nadab atau ibadah diantara perbedaan qaul dan af`al. 
3.      Dari Segi Kandungan Teks
Dan dari segi hukum atau kandungan teks menurut al-Syaukani adalah:
a)      Mengandung bahaya
Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan kebolehan saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya itulah yang harus di dahulukan.
b)     Istbat al-hukmi
Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain bersifat meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Menurut Syafi’iyah teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan dari teks yang bersifat menetapkan.Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya menetapkan lebih di dahulukan.
c)      Ilgo'u al-hukmi
Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan (HR al-Baihaqi)
d)     Mengandung Hukuman Yang Lebih Ringan
Teks yang mengandung hukuman yang lebih ringan didahulukan dari pada teks yang mengandung hukuman yang berat. Seperti yang tertulis dalam QS al-Baqarah: 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) [البقرة : 185]
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Wal hasil, dari seratus cara yang dirumuskan para ahli hadist untuk menTarjih hadist muhtalaf tersebut ada tiga cara, yaitu:
1.      Hadist yang muhtalif dari segi sanad.
2.      Hadist yang muhtalif dari segi Matan.
3.      Hadist yang muhtalif dari segi kandungan matan.[26]


BAB  III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Pada dasarnya konsep Nasih Mansuh dan Tarjih ini, adalah jalan keluar dari hadist muskil atau istilah lain Muhtalaf hadist. Dari pertentangan hadist yang tidak diketahui titik temunya tersebut maka pertma dicari adakah sejarahnya kedua hadist tersebut. Jika Muhtalaf hadist tersebut ditemukan sejarahnya maka akan masuk dalam konsep Nasih dan Mansuh. Kemudian bila dari sejarahnya tidak terdeteksi mana yang lebih awal dan mana yang lebih ahir maka jalan keluarnya adalah konsep Tarjih Al-Hadist.
1.      Nasih dan Mansuh Al-Hadist
Pokok dari konsep Nasih dan Mansuh adalah pada kurun waktu munculnya hadist. Jadi, untuk hadist yang pertama menjadi Nasih dan yang datangnya ahir maka menjadi Mansuh.
2.      Tarjih Al-Hadist
Sebenarnya dari seratus cara untuk menTarjih sebuah hadist itu muaranya pada kehati-hatian para ahlidalam menyikapi dua hadist yang bertentangan. Oleh sebab itu, dari seratus cara tersebut kunci utamanya adalah satu,yakni mana hadist yang lebih kuat. Baik dari sifat perowi, matanya atau penguat lain.
B.            Saran Kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat sederhana dan terlalu global. Karena masih banyak konsep Nasih Mansuh dan Tarjih yang belum kami paparkan. dan kami yakin, bila untuk melengkapi hal itu sudah barang tentu menjadi sebuah buku dan bukan lagi makalah seperti ini.



DAFTAR  PUSTAKA

As-Syafi'i, Burhanuddin Abu Ishaq Al-Qohiri.  1998. As-Syadza Al-Fuyaah Min Ulumi Ibni As-Sholah Juz 2. Libanon. Maktabah Rosyad.
As-Saiji, Muhammad Ahmad Thohan dan Abdurrozaq Holifah. Tt. Mu'jam Al-Mustholahat Al-Hadisiyah juz 2. Maktabah Tsamilah. Versi 20.000.
Al-Hazimi, Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman. Tt. Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.
As-Syahruzuri, Abu Umar Ustman Bin Abdurohman. 2004. Ulumul Hadist Libni Sholah. Libanon. Dar Al-Fikr Al-Mu'asarah.
An-Naisaburi, Abu Husain Muslim Bin Al Hajaj Bin Muslim. 1998. Shohih Muslim . Libanon. Dar Al-Kutub Almiyah.
Al-Blitari, Marzuqi Mustamar. 1428. Al-Muqtalafat Li Ahli Bidayah Nahdlotul Ulama'. Malang. Ma'had Sabilurosyad.
An-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya Bin Syarof. 1392. Syarhu An-Nawawi Juz 2. Bairut. Dar Al-Ihya' Turast Al-Arobi.
Al-'Ula, Muhammad Abdurrohman Bin Abdurrohim. Tt. Tuhfatu Al-Ahwadzi Bisyarhil Jami' Sunan At-Tirmidzi. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.
Al-Qohiri, Ibrohim Bin Musa Bin Ayub Burhanuddin Abu Ishaq. Tt.  Lasyadza Al-Fuyaah Min Ulumi Ibni Sholah. Kairo. Maktabah Al-Rosyad.
Al-Hazimi, Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman. Tt. Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.
 Abdulloh, Said Bin. Tt. Fatawi Hadisiyah. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.




[1] Muhammad Ahmad Thohan dan Abdurrozaq Holifah As-Saiji, Mu'jam Al-Mustholahat Al-Hadisiyah juz 2, (Maktabah Tsamilah: Versi 20.000, tt), hlm: 48. Lihat:  والنسخ له معنيان: الإزالة والنقل 
[2] Burhanuddin Abu Ishaq Al-Qohiri As-Syafi'i, As-Syadza Al-Fuyaah Min Ulumi Ibni As-Sholah Juz 2, (Libanon: Maktabah Rosyad, 1998), hlm: 461. Lihat: وبالسابق عن: التخصيص المتصل بالتكليف كالاستثناء ونحوه
[3] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 34. Lihat: وَأَمَّا شَرَائِطُهُ فَمَدَارِكُ مَعْرِفَتِهَا أَنْ يَكُونَ النَّسْخُ بِخِطَابٍ
[4] Idem.,,,hal: 67. Lihat: لِأَنَّ التَّأْقِيتَ يَمْنَعُ النَّسْخَ
[5] Idem.,,,
[6] Abu Umar Ustman Bin Abdurohman As-Syahruzuri, Ulumul Hadist Libni Sholah, (Libanon: Dar Al-Fikr Al-Mu'asarah,2004), hlm: 5. Lihat:  إِنَّ نَاسِخَ الْحَدِيثِ وَمَنْسُوخَهُ يَنْقَسِمُ أَقْسَامًا :فَمِنْهَا : مَا يُعْرَفُ بِتَصْرِيحِ رَسُولِ اللَّهِ
[7] Abu Husain Muslim Bin Al Hajaj Bin Muslim An-Naisaburi, Shohih Muslim 5229 Juz 6, (Libanon: Dar Al-Kutub Almiyah, 1998), hlm: 86.
[8] Marzuqi Mustamar Al-Blitari, Al-Muqtalafat Li Ahli Bidayah Nahdlotul Ulama', (Malang: Ma'had Sabilurosyad, 1428), hlm: 13:  يعني: الآن الأصوليون يقولون: إن الأمر يقتضي الوجوب ما لم يرد صارف
[9] Abu Zakariyya Yahya Bin Syarof An-Nawawi, Syarhu An-Nawawi Juz 2, (Bairut: Dar Al-Ihya' Turast Al-Arobi, 1392), hlm: 66.
[10] Idem.,,, hlm: 67. Lihat: وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّار
[11] Idem.,,, hlm: 67. Lihat: أَنَّهُ مَنْسُوخ بِحَدِيثِ جَابِر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : كَانَ آخِر الْأَمْرَيْنِ
[12] Idem.,,, hlm: 67.
[13] Abu Husain Muslim Bin Al Hajaj Bin Muslim An-Naisaburi, Shohih Muslim 5229 Juz 6, (Libanon: Dar Al-Kutub Almiyah, 1998), hlm: 22.
[14] Abu Umar Ustman Bin Abdurohman As-Syahruzuri, Ulumul .,,,hlm: 5. Lihat: . بَيَّنَ الشَّافِعِيُّ أَنَّ الثَّانِيَ نَاسِخٌ لِلْأَوَّلِ فَبَانَ بِذَلِكَ : أَنَّ الْأَوَّلَ كَانَ زَمَنَ الْفَتْحِ فِي سَنَةِ ثَمَانٍ ، وَالثَّانِيَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فِي سَنَةِ عَشْرٍ .
[15] Muhammad Abdurrohman Bin Abdurrohim Abu Al-'Ula, Tuhfatu Al-Ahwadzi Bisyarhil Jami' Sunan At-Tirmidzi, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 34. Lihat: فَإِنَّهُ لَمْ يَذْهَبْ أَحَدٌ قَدِيمًا أَوْ حَدِيثًا إِلَى أَنَّ شَارِبَ الْخَمْرِ يُقْتَلُ
[16] Ibrohim Bin Musa Bin Ayub Burhanuddin Abu Ishaq Al-Qohiri, Lasyadza Al-Fuyaah Min Ulumi Ibni Sholah, (Kairo: Maktabah Al-Rosyad, tt), hlm: 461. Lihat: والإجماع لا ينسخ ولا ينسخ ولكن يدل على وجود ناسخ غيره
[17] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 34. Lihat: وَعِنْدَ الْكُوفِيِّينَ زِيَادَاتٌ أُخَرُ نَحْوُ حُسْنِ الظَّنِّ بِالرَّاوِي
[18] Said Bin Abdulloh, Fatawi Hadisiyah, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 11. Lihat:
  ووجوه الترجيح بلغت مائة وجه ، لكن نذكر منها
[19] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ الْأَوَّلُ : فَمِمَّا يُرَجَّحُ بِهِ أَحَدُ الْحَدِيثَيْنِ عَلَى الْآخَرِ كَثْرَةُ الْعَدَدِ فِي أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ
[20] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ الثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ مُتَّفَقًا فِي عَدَالَتِهِ وَالْآخَرُ مُخْتَلَفًا فِيهِ
[21] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ الثَّامِنُ : أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ صَاحِبَ الْقِصَّةِ فَيُرَجَّحُ حَدِيثُهُ ؛ لِأَنَّ صَاحِبَ الْقِصَّةِ أَعْرَفُ بِحَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ
[22] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat: لِأَنَّ مَالِكًا أَخَذَ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَهُوَ كَبِيرٌ ، وَابْنُ عُيَيْنَةَ إِنَّمَا صَحِبَ الزُّهْرِيَّ وَهُوَ صَغِيرٌ دُونَ الِاحْتِلَامِ
[23]Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat:  الْوَجْهُ الْخَامِسُ : أَنْ يَكُونَ سَمَاعُ أَحَدِ الرَّاوِيَيْنِ تَحْدِيثًا ، وَسَمَاعُ الثَّانِي عَرْضًا
[24] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْحَدِيثَيْنِ سَمَاعًا أَوْ عَرْضًا ، وَالثَّانِي يَكُونُ كِتَابَةً ، أَوْ وِجَادَةً ، أَوْ مُنَاوَلَةً
[25] Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,, hlm: 34. Lihat: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ مُبَاشِرًا لِمَا رَوَاهُ وَالثَّانِي حَاكِيًا ، فَالْمُبَاشِرُ أَعْرَفُ بِالْحَالِ
[26] Said Bin Abdulloh, Fatawi Hadisiyah, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 11. Lihat: أن يكون أحد الحديثين أقوى من الحديث الآخر في الصحة

Tidak ada komentar:

Posting Komentar