BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Nabi
Muhammad adalah syari' atau pembuat hukum dalam agama islam setelah Alloh SWT.
Kemudian apapun yang datang dari Nabi Muhammad tentu sebuah ajaran dengan harga
mati yang tidak biasa ditawar lagi. Lantas jika segalanya menjadi ajaran, bagaiman
untuk mensikapi sebuah hadist yang bertentangan dengan hadist lain. Padahal
keduanya datang dari Nabi Muhammad dan keduanya sebagai sumber ajaran yang
harus dipakai.
Sangking
banyaknya hadist Nabi Muhammad yang bertentangan antar satu dengan yang lain
sedangkan tidaklah mungkin dua perintah yang bertentang ditujukan kepada satu
objek yakni umatnya. Maka dari itu dibutuhkan jalan keluar untuk menanggapi
permasalahn tersebut. Yakni dengan cara pertama, mencari titik temu dari mafhum
kedua hadist tersebut. Kedua, jika tidak ditemukan maka dicari mana hadist yang
llebih dahulu dan mana yang datangnya ahir kemudian masuklah konsep Nasih Mansuh
al-hadist. Ketiga, jika keduanya tidak menjawab, maka konsep Tarjih
al-hadistlah yang berbicara, guna menyelesaikan pertentangan dua hadist
tersebut.
Dari sini,
sangat terlihat sekali betapa pentingnya konsep Nasih Mansuh dan konsep Tarjih.
Oleh karena itu, akan kami paparkan kedua konsep tersebut dalam makalah ini,
sebagai pengejawantahan mahasiswa tafsit hadist yang kamil.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah konsep Nasih wa al-Mansuh hadist itu?
2.
Bagaimanakah konsep Tarjih hadist itu?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui konsep Nasih wa al-Mansuh
hadist.
2.
Untuk mengetahui konsep Tarjih hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nasih dan Mansuh al-Hadist
1.
Pengertian Nasah al-Hadist
Pengertian Nasah secara bahasa sendiri mempunyai dua makna yakni : naqlu (النقل) yang
berarti pindah. Kedua bermakna ibtol atau izalah (الإزالة
و ابطال) yang berarti
membatalkan dan menghilangi. Karena nasah sering digunakan sebagai kalimat
matahari menghilangkan kegelapan menjadikan terang.[1]
Nasah secara istilah adalah:
عبارة عن رفع الشارع حكما من أحكامه سابقا بحكم من أحكامه لاحق
Adanya penghapusan hukum olah syari' (pembuat
hukum) kepada hukum yang datangnya dahulu dengan hukum yang pantas serta datang
setelahnya.
Devinisi ini adalah rumusan devinisi Nasih Mansuh
yang tidak bisa terbantahkan dengan devinisi manapun. Jadi, dikecualikan dari
penghapusan hukum adalah penjelasan hukum mujmal (بيان
المجمل) karena hal itu
bukanlah termasuk dalam kategori penghapusan hukum. Dikecualikan juga dengan
istilah syari' adalah para sahabat atau pengikut syahabat, karena yang dimaksud
dengan istilah syari' adalah Alloh dan Nabi Muhammad SAW. Kemudian dikecualikan
lagi dengan yang namanya hukum awal adalah penghususan hukum dalam satu redaksi
seperti tahsis dengan huruf illa. Dan dikecualikan dari hukum syari' adalah
hukum taklifi, artinya hitob hukum yang bermuara pada orang yang mukallaf
seperti gila atau mati. ada lagi pengecualian dari istilah hukum yang pantas
adalah hukum-hukum syari' yang habis masanya, seperti hadist nabi menyuruh
puasa setelah usai perang yang mana nabi sebelumnya memperbolehkan berbuka
(ifthor). Jadi, devinisi diatas ini bisa membatasi pada contoh-contoh
penghapusan hukum namun tidak masuk kategori Nasih wa Mansuh, walaupun dari
devinisi ini masih banyak ulama' yang memberikan kelonggaran dalam mengartikan
nasah Mansuh. Devinisi inilah yang dipakai oleh mayoritas ulama' seperti yang
diriwayatkan oleh qodli abu bakar al-baqilani, ibnu hajib, imam amudi dan masih
banyak yang lainnya.[2]
2.
Syarat-Syarat Nasah Hukum
Sebenarnya di dalam devinisi diatas sudah bisa
ditebak apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penghapusan hukum. Al-hazimi
merumuskan syarat-syarat nasah di dalam kitabnya yang berjudul Al-I'tibar Fi
Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar. Diantara lima syarat yang harus terpenuhi
bila ada penasahan adalah:[3]
a.
Dalil Nasih haruslah datang secara
terpisah dan lebih ahir dari dalil Mansuhnya. Dalam konteks ahir disini ada
kalanya yang terpisah dan adakalanya yang sambung menjadi satu.
b.
Nasah harus berupa hitob hukum,
maka hilangnya hukum taklifi seperti mati, gila dan lain sebagainya
tidak termasuk nasah sebab mati berarti menghilangkan hukum perintah.
c.
Antara nasah dan Mansuh harus
berupa hukum syar'I, bukan hukum aqli atau adati. Sebab hukum
yang berkaitan ibadah pastilah hukum syar'i.
d.
Adanya hukum yang lama tidak dibatasi
dengan waktu tertentu seperti hadist:
قَوْلِهِ -
عَلَيْهِ السَّلَامُ - : لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ .
Dengan hadist nabi tetang sholat yang tidak punya sebab dengan waktu,
seperti sholat tahiyat masjid, sholat jenazah dan lain sebagainya. Maka hal ini
bukanlah masuk pada kategori nasah sebab penghususan waktu bukanlah termasuk
nasah.[4]
Dan hukum awal yang dibatasi oleh waktu akan hilang secara otomatis dengan
habisnya waktu tersebut.
e.
Adanya Dalil Nasih haruslah lebih
kuat dari pada dalil Mansuhnya menurut sebagian ulama'. Jadi tidaklah mungkin
hadist menghapus hukum dalil al-Qur'an.[5]
3.
Petunjuk nasah hukum syari'
Banyak ulama' yang berkomentar perihal sulitnya
konsep Nasih wal Mansuh. Diantaranya az-zuhri, menurut beliau banyak sekali
ahli fiqih yang kesulitan bahkan lemah sekali dalam memahami konsep Nasih Mansuh
hadist. Akan tetapi, dari kesulitan tersebut para ulama' seperti ibnu sholah sukses
besar dalam merumuskan ilmu Nasih wal Mansuh. Rumusan tersebut adalah bahwa
kesulitan hadist yang mengalami nasah ini bisa dideteksi akan keberadaannya dengan
4 hal. Yakni penjelasan nabi, penjelasan shohabat, keterangan sejarah dan
adanya kesepakatan ulama' (ijma').[6]
a.
Penjelasan Nabi
Nasah bisa diketahui dengan adanya penjelasan dari
nabi langsung atau lafadz Nasih yang langsung disabdakan oleh nabi. Seperti
hadistnya buraidah yang ditahrij oleh imam muslim dalam kitab shohih muslim:
وَحَدَّثَنِى
حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ سُفْيَانَ
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ، فَزُورُوهَا »
Dari anaknya buraidah dari buraidah bahwa rosulloh
bersabda," saya telah melarang kamu semua untuk berziarah qubur. Maka
(sekarang) berziarahlah kamu sekalian ke makam.[7]
Pada hadist
diatas, disana sangat jelas adanya pernyataan rosulloh yang semula melarang dan
dikemudian hari rosulloh memerintahkan ziarah kubur. Berarti disana rosulloh
menghapus hokum pertama, yakni larangan kemudian perintah. Lantas akan menjadi
sebuah pertanyaan, apakah perintah nabi atas berzizrah kubur ini bermuatan
hokum wajib. Disini ulama' usul fiqh berpendapat bahwa, "pada
dasarnya,segala perintah syari' itu hukumnya wajib selama tidak ada penjelasan
yang merubahnya. Lantas hadist buraidah disini jelas perintah yang tidak
bermuara hokum wajib meskipun sudah jelas adanya perintah dari rosulloh berupa
perintah فَزُورُوهَا. Hal ini disebabkan perintah itu datanya
setelah ada larangan. Berarti, makna dari hadis buraidah ini rosulooh
memperbolehkan kita untuk berziarah kubur dengan alasan bisa mengingatkan kita
kepada kehidupan ahirat. Serta hokum ini akan terus berlanjut selama nabi tidak
melarang lagi akan berziarah. Sebab konsep nasah haruslah keluar dari syari'.
Artinya, hokum boleh berziarah ini tidak akan menjadi hokum haram hanya dengan
melihat realita oaring berziarah saat ini banyak yang meminta berkah kepada
penghuni makam. Karena penyebab (ilat al-hukmi) tidak bisa merusak hokum
universal melainkan hokum pribadi masing-masing.[8]
b.
Penjelasan Shahabat
Nasah bisa diketahui dengan adanya penjelasan dari
syahabat. Seperti hadistnya shahabat jabir bin abdulloh yang ditahrij oleh Imam
An-Nasa'i dalam kitab Sunan An-Nasa'i. dan hadis ini dianggap hadist shohih
oleh al-banani.
أخبرنا عمرو
بن منصور قال حدثنا علي بن عياش قال حدثنا شعيب عن محمد بن المنكدر قال سمعت جابر بن عبد
الله قال : " كَانَ
آخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Shahabat jabir bin abdulloh berkata : yang terahir
dari dua perintah nabi adalah meninggalkan wudlu dari sesuatau yang terkena
api.
Pada hadist ini, syahabat jabir menjaelaskan
kesimpulan terahir dari hadist nabi tentang keharusan wudlu setelah makan
hal-hal yang bersentuhan dengan api.
قَال صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Nabi Bersabda, "Berwudlulah kamu semua dari
segala sesuatau (makanan) yang bersentuhan dengan api".[9]
Para ulama' baik salaf maupun kholaf sepakat bahwa
wudlu seseorang tidaklah batal dengan ia memakan segala makanan yang dikenai
api. Diantara ulama yang berpendapat seperti diatas ini adalah Abu Bakar
As-Sidiq, Umar Bin Hottob, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib, Abdulloh Bin
Masud, Abu Dardak, Ibnu Abbas, Abdulloh Bin Umar, Anas Bin Malik, Jabir Bin
Sumaroh, Zaid Bin Sabit, Abu Musa, Abu Huroiroh, Amir Bin Robiah, Abu Umamah
RodliyAllohu Anhum Ajmai-ien, Amiin. Ada sebagian pendapat seperti Hasan
Al-Basyri, Az-Zuhri, Abi Qilabah Dan Umar Bin Abdul Aziz yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dalam hadist diatas adalah wudlu syar'I atau wudlu mau
sholat. Adalagi pendapat yang menyatakan wudlu disana bukanlah wudlu syar'I
melainkan hanya membasuh mulud dan tangan karena telah dipakai untuk makan
makanan tersebut.[10]
Berangkat dari konsep Nasih Mansuh, para ulama'
sepakat bahwa hadist perihal perintah wudlu sehabis makan makanan yang terkena
api ini dinasah dengan hadisnya jabir yang menyimpulkan ending terahir dari
perintah nabi adalah meninggalkan wudlu. Artinya, penjelasan jabir ini lah yang
menasah perintah nabi.[11]
Jadi, perbedaan konsep nasah dari penjelasan nabi
dengan penjelasan syahabat adalah nabi tidak mengucapkan secara langsung akan
penghapusannya melainkan kesimpulan dari syahabat atas nabi telah menghapus
hokum yang pertama. Meskipun keduanya sama-sama dari hadist nabi.[12]
c.
Keterangan Sejarah
Peran sejarah sangatlah vital dalam menentukan hadist
Nasih Mansuh. Sebab hadist Mansuh haruslah lebih awal dan hadist Nasih haruslah
datang ahir, maka sudah barang tentu untuk melihat mana yang menjadi Nasih dan
mana yang menjadi ansuh tak lain dengan melihat sejarahnya.
Seperti hadistnya Musyadad bin Ausy yang ditahrij
oleh Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ ح وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا شَيْبَانُ - جَمِيعًا - عَنْ يَحْيَى
عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ أَبِى أَسْمَاءَ - يَعْنِى الرَّحَبِىَّ - عَنْ
ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَفْطَرَ الْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُومُ
Nabi bersabda, " batalah puasa orang berbekam
dan orang yang dibekam".
Menurut imam syafi'I hadist ini dinasah oleh
hadistnya Ibnu Abbas yang ditahrij oleh imam muslim dalam kitab shohih muslim.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ.
Sesungguhnya nabi berbekam padahal nabi dalam
keadaan ihrom dan berpuasa.[13]
Hadist ini diriwayatkan oleh ibnu abbas pada saat
nabi melakukan haji wada' tahun ke-10 Hijriyah. Sedangkan hadistnya musyadad
disabdakan nabi pada saat pembebasan kota makkah atau tahun ke-8 Hijriyyah.[14]
d.
Penjelasan Ijma'
Nasah bisa diketahui dengan adanya penjelasan dari
ijma' syahabat. Seperti hadistnya shahabat Qobishoh bin Dzuaib yang ditahrij
oleh abu dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud.
سنن أبي
داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (4 / 282)
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِىُّ
أَخْبَرَنَا عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَ « مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ
فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِى الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ ».
Nabi bersabda,"Barang siapa yang meminum
minuman keras, maka deralah. Jika mengulangi (kedua) maka deralah. Jika
mengulangi lagi (ketiga) maka deralah dan jika masih mengulangi lagi yang
keempat maka bunuhlah".
Hadist ini sangat jelas bahwa nabi memerintahkan
untuk membunuh pemabuk yang mengulangisampai empat kali, namun ijma' ulama' baik
dari ulama' salaf sampai kholaf sepakat untuk tidak menggunakan hukuman mati.
Dari sisni Nampak jelas bahwa ada indikasi kalau hadist ini sudah dinasah.
Karena adanya kesepakatan tersebut. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hadis
tersebut telah dinasah setelah beberapa saat di awal masa islam.[15]
Perlu diketahui, ijma'disini bukanlah Nasih, karena
ijma' tidak mengenal dihapus atau menghapus hokum. Akan tetapi, keberadaan
kesepakatan tersebut pasti ada hadist nabi yang menghapusnya. Artinya
kesepakatan orang banyak dan semuanya adalah para ahli yang terpercaya ini
tentu ada pedoman mengapa semuanya sepakat untuk tidak menggunakan hukuman mati
bagi pemabuk yang mengulangi sampai empat kali.[16]
Bahkan untuk ulama' kuffah berpendapat perihal ijmak model seperti ini adalah termasuk
pada tema berperangka baik kepada para syahabat.[17]
الاعتبار
في الناسخ والمنسوخ من الآثار - (1 / 6)
وَيُعْرَفُ
ذَلِكَ بِأَمَارَاتِ عِدَّةٌ :
وَمِنْهَا
: أَنْ تَجْتَمِعَ الْأُمَّةُ فِي حُكْمِهِ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوخٌ ، فَهَذِهِ
مُعْظَمُ أَمَارَاتِ النَّسْخِ ، وَعِنْدَ الْكُوفِيِّينَ زِيَادَاتٌ أُخَرُ
نَحْوُ حُسْنِ الظَّنِّ بِالرَّاوِي ، وَهُوَ كَمَا ذَكَرَ الطَّحَاوِيُّ فِي
كِتَابِهِ ؛ فَإِنَّهُ رَوَى الْأَحَادِيثَ الصَّحِيحَةَ فِي غَسْلِ الْإِنَاءِ
سَبْعَ مَرَّاتٍ مِنْ وُلُوغِ الْكَلْبِ ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى حَدِيثِ
عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ ، عَنْ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
مَوْقُوفًا عَلَيْهِ قَالَ : إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَأَهْرِقْهُ
، ثُمَّ اغْسِلْهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ . فَاعْتَمَدَ عَلَى هَذَا الْأَثَرِ ،
وَتَرَكَ الْأَحَادِيثَ الثَّابِتَةَ فِي الْوُلُوغِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى
نَسْخِ السَّبْعِ عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ بِأَبِي هُرَيْرَةَ ؛
الاعتبار
في الناسخ والمنسوخ من الآثار - (1 / 9)
لِأَنَّهُ
لَا يُخَالِفُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِيمَا يَرْوِيهِ
عَنْهُ ، إِلَّا فِيمَا يَثْبُتُ عِنْدَهُ نَسْخُهُ ، إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ
نَظَائِرِهِ الَّتِي لَا يُكْتَرَثُ بِهَا .
B.
Tarjih al-Hadis
Pada dasarnya konsep Tarjih ini, adalah jalan keluar
dari hadist muskil atau Muhtalaf hadist yang tidak terdeteksi mana yang lebih
awal dan mana yang lebih ahir. Dari pertentangan hadist yang tidak diketahui
sejarahnya, para ulama' ahli hadist tidak menemukan titik temu dari keduanya,
maka jawaban dari sana adalah Tarjih hadist. Namun bila ditemukan sejarahnya
maka akan masuk dalm konsep Nasih dan Mansuh. Jadi, Metode tarjih ini adalah
salah satu metode untuk menyelesaikan hadits mukhtalif, setelah
melalui metode kompromi dan nasikh mansukh tidak menemukan jalan keluarnya,
maka metode tarjih ini berlaku. Menurut Said Bin Abdulloh, cara menTarjih sebuah
hadist yang bertentang mencapai seratus cara.[18]
قرائن
الترجيح - (1 / 1)
قرائن التَّرجيح والموازنة بين الرِّوايات المختلِفة .1. العدد
قال يحيى القطَّان : « كنَّا نظنُّ أنَّ الثَّوريَّ وهم فيه لكثرة من خالفه » (1) .وقال
الشافعي : « والعدد أولى بالحفظ من الواحد » (2) .وقال ابن معين في حديث :
« الناس يحدثون به مرسلاً » (3) .2684- وسألتُ أبي عن حديثٍ رواه أبو
كُدَيْنَة (4) وعمران بن عُيَيْنَة وشعيب بن صَفْوَان، عن عطاء بن السائب، عن
القاسم بن عبدالرحمن بن عبدالله بن مسعود ، عن أبيه ، عن جده ؛ قال : جَاءَ حَبْرٌ
إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - ، فقال : أخبرني عن شيء لا يعلمه إلا نبي ؛
أخبرني عن ماءِ الرَّجُل ، وماء المرأة ... ، وذكر الحديث ؟قال أبي : رواه حَمَّاد
بن سلمة ، عن عطاء بن السائب ، عن القاسم؛ قال : جاء حبر إلى النبي - صلى الله
عليه وسلم - .قلت لأبي : أيُّهما أصح ؛ من حديث عطاء بن السائب ؟ قال : اتفق ثلاثة
أنفس على التوصيل
.1508 (5)
-?وسئل أبو زرعة عن حديثٍ رواه ابن فُضَيْل (6) ، عن الأَعْمَش ، عن أبي صالح وأبي
سفيان (7) ، عن جابر؛ قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( إِذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْديِلِ حَتَّى يَلْعَقَهَا ،
أَوْ يُلْعِقَهَا، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيِّ [طَعَامِهِ] (8) الْبَرَكَةَ
)) ؟ قال أبو زرعة : الناس يقولون (1) : عن أبي سفيان ، عن جابر ، عن النبي - صلى
الله عليه وسلم - فقط (2) ، بلا أبي صالح .803 (3) -?وسألت أبي عن حديثٍ رواه أبو
بكر بن عَيَّاش ، عن هشام ابن عروة ، عن أبيه ، عن عائشة ، عن النبي - صلى الله
عليه وسلم - أنه قال لضُبَاعَةَ : ((اشْتَرِطِي(8) (4) ) .قال أبو محمد (5) :
ورواه (6) الثوري ، عن هشام بن عروة ، عن أبيه، عن ضباعة ، عن النبي - صلى الله
عليه وسلم - ؟فقال أبي : إن عَامَّة الناس يقولون : هشام ، عن أبيه : أن النبي -
صلى الله عليه وسلم - قال لضُبَاعَةَ .قال أبي : أَشْبَهُ عندي مرسل ؛ هشام ، عن
أبيه : أن النبي - صلى الله عليه وسلم - .وقال الدَّارقطني في حديث : « واجتماع
هؤلاء الأربعة على خلاف ما رواه ابن أبي كثير يدلُّ على ضبطهم للحديث » (7) .وسئل
الدَّارقطني عن الحديث إذا اختلف فيه الثِّقات ، فقال : « ينظر ما اجتمع عليه
ثقتان فيحكم بصحته ، أو ما جاء بلفظة زائدة ، فتقبل تلك الزِّيادة من متقن ، ويحكم
لأكثرهم حفظاً وثبتاً على من دونه » (8) .وقال البيهقي : « وكما رجَّح الشَّافعي
إحدى الرِّوايتين على الأُخْرَى بزيادة الحفظ ، رجَّح أيضاً بزيادة العدد » (9)
.وقال أيضاً : « والجماعة أولى بالحفظ من الواحد » (10) .وقال الخطيب : « ويرجَّح
بكثرة الرُّواة لأحد الخبرين ، لأن الغلط عنهم والسَّهو أبعد ، وهو إلى الأقلِّ
أَقرب » (11) .
1.
Pengertian Metode Tarjih
Secara bahasa, tarjih ترجح berarti mengeluarkan. Konsep ini
muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan
dalil yang lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u
wa al-taufiq. dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan
dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
Secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan
oleh ahli ushul, yaitu yang pertama adalah menurut Ulama’ Hanafiyah, yaitu :
إظهار
زيادة لأحد المتمائلين على الأخر بما لايستقل
“Membuktikan adanya tambahan
bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), yang dalil
tambahan itu tidak berdiri sendiri”
Menurut mereka, dalil yang bertentangan itu harus
dalam kualitas yang sama, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Kemudian,
dalil tambahan pendukung salah satu dalil yang bertentangan itu tidak berdiri
sendiri. Artinya, disini dalil pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang
saling bertentangan, karena apabila ada dalil lain yang berdiri sendiri,
berarti dalil itu dapat dipakai untuk menetapkan hukum, bukan dalil yang
bertentangan tersebut.
Kedua, Jumhur Ulama mendefinisikan:
تقوية
إحدى الأمارتين (أى الدليلين الظنتين) على الأخرى ليعمل بها
“Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni atas yang lainnya
untuk diamalkan (diterapkan).
Metode tarjih (mengunggulkan salah satu
hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai
dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode
ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan)
dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial
sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak
memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana
diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik.
Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan hadits yang
saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan
Al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup akan berada di Neraka. Sebagai contoh adalah hadits berkut ini:
الوائدة والموؤودة في النار
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk
neraka. (HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari
Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (asbabul
wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya
menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “ Wahai Rasul sesungguhnya saya
percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan
tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu
bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dulu ia pernah mengubur
saudara perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan
kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak
perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di Neraka, kecuali
jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya.
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Nasa’i, dan dinilai
sebagai hadits hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.[4]
Jumhur ulama’ membatasi tarjih dalam dalil yang
bersifat zhanni saja, karena masalah ini tidak termasuk dalam
persoalan-persoalan yang qath’i (pasti) dan tidak juga antara zhanni dengan
yang qath’i. Jumhur Ulama ushul sepakat bahwasanya apabila sudah terjadi
pentarjihan dalil, maka dalil yang rajih atau yang dikuatkan wajib diamalkan.
Alasannya karena, kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat dalam
menguatkan suatu dalil dari dalil lainnya dalam berbagai kasus.
Contohnya, dalam kasus perbuatan yang mawajibkan
mandi. Para sahabat menguatkan hadits dari Aisyah tentangIltiqa’ al-khitanain (bertemunya
alat vital laki-laki dengan perempuan H.R Muslim dan Tirmidzi)[6] dari hadits riwayat Abu Hurairah RA
yang mengatakan المأ من المأ إنما (air itu berasal dari air).
Maksudnya, apabila keluar air mani, baru wajib mandi. Oleh karena itu, para
ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap
salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu
wajib diamalkan.
Para ulama’ Ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara
pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir
terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan nasakh. Cara
pentarjihan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu:
1.
النصوص بين الترجح
النصوص بين الترجح yaitu menguatkan salah satu nash (ayat ataupun hadits) yang
saling bertentangan.
2.
الأقيسة بين الترجح
الأقيسة بين الترجح yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang
saling bertentangan.
Al-Qasimi dengan mengutip pendapat Imam Syafi`i dalam
Risalahnya mengatakan bahwa dalam hadis-hadis yang dianggap kontradiksi, maka
kami tidak mengambil pendapat salah satunya kecuali ada sebab yang menunjukkan
kepada yang lebih kuat dari hadis yang akan ditinggalkan.
Ketelitian Imam al-Syafi`i dalam menyeleksi
hadis-hadis yang dianggap kontradikasi antara keduanya, memberikan dua rumusan
1.
Jika keadaan salah satu dari dua
hadis menyerupaikitabullah (dari segi makna), maka yang dijadikanhujjah adalah
hadis yang menyerupai kitabullah,
2.
Jika dalam hadis tidak ada yang
menyerupai (dari segi makna) dengan teks kitabullah, maka kami menetapkan
salah satunya dengan cara diantaranya,
a.
Keadaan rawi lebih dikenal dari
segi sanad dan lebih masyhur keilmuan, hafalan dan imla`,
b.
Keadaan rawi hadis yang kami pilih
adalah yang sanad periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kami
meninggalkan yang satu jalur periwayatan,
c.
Hadis yang kami pilih adalah hadis
yang menyerupai makna kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang
lain, dan yang diunggulkan adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu hadis
dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.
Sementara al-Suyuthi membagi tiga bagian dalam
merumuskan hadis-hadis yang mukhtalaf yaitu;
a) Keduanya
dikompromikan (al-jam`u), jika bisa dikompromikan, dan dengan cara ini tidak
akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan
antara keduanya,
b) Jika
tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu mendahulukan
yang nasikh,
c) Jika
tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih
(mengunggulkan) salah satunya.
2.
Macam-Macam Metode Tarjih
Ranah pentarjihan ini juga terbagi atas 3 cara yakni
:
1.
Dari Segi Sanad
a)
Banyaknya Perowi Hadist
Banyaknya perowi hadist adalah pertimbangan paling
utama dalam menTarjih sebuah hadist. Seperti hadist mutawatir akan lebih
diutamakan dengan hadist ahad atau sama sama hadist mutawatir namun perawinya
yang satu lebih banyak. Hal ini disebabkan, banyaknya perawi berarti lebih
mendekati kevalidan sebuah hadist. Seperti hadist tentang wajibnya berwudlu
setelah menyentuh alat kelamin.[19] Contoh
:
حدثنا حفص
بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي عليه السلام أن النبي صلى
الله عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين
”Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan
kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi
Thalibradliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi SAW shalat
(sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at”. (HR. Abu Dawud no. 1272).
Syu’bah dalam sanad hadits ini telah menyelisihi
beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y), dari ’Ashim
bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah sebelum ‘Asar
Nabi SAW; dimana mereka semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh
Ahmad no. 650, Ibnu Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para
perawi tersebut antara lain : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq
(cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).
Jika kita mengambil metode tarjih dalam
pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih kuat
dibandingkan dua raka’at.
b)
Kesepakatan Para Ahli dalam
Mensifati Perowi
Adannya kesepakatan para ahli dalam mensifati perowi
adalah cara menTarjih sebuah hadist. Keadilan seorang perowi adakalnya sudah
menjadi kesepakatan para ahli hadist dan ada juga yang sifat adilnya perowi
masih dipertentangkan. Maka, untuk hadist yang diriwayatkan oleh perowi yang
sifat adilnya sudah disepakati para ahli akan diunggulkan daripada hadist yang
diriwayatkan oleh perowi yang sifat keadilanya masih dipertentangkan oleh para
ahli hadist. Seperti hadistnya busroh binti syofwan dalam kasus menyentuh alat
kelamin. Hadist busroh ini diriwayatkan oleh perowi-perowi yang sifat keadilanya
sudah disepakati akan kevalidannya, seperti imam malik. Hadist ini bertentangan
dengan hadistnya tholiq yang mana kevalidan rowinya masih menjadi pertentangan
dikalangan para ahli.[20]
c)
Kevalidan Perowi dari
Ingatannya
Kevalitan perowi sangatlah berpengaruh dalam
menentukan kesohihan hadist. Kevalitan ini bisa dari sisi perowinya lebih
banyak hafalanya atau lebih bisa dipercaya. Seperti jika ada pertentangan
hadist yang ditahrij oleh Imam Malik Bin Anas dengan Syu'aib Bin Abi Hamzah,
maka yang lebih kuat adalah hadis versi Imam Malik Bin Anas. Hal ini disebabkan
Imam Malik Bin Anas lebih dapat dipertanggungjawabkan kapasitanya dari pada
Syu'aib Bin Abi Hamzah. Intinya, Perawi salah satu dari dua hadits lebih
tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit
salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat
dibandingkan riwayat yang kedua.
d)
Perowi adalah subjek
Jika dalam sebuah hadist ternyata perowinya adalah
pelaku dari sebuah cerita tersebut, maka sudah barang tentu dia lebih faham
dengan keaadaan sebenarnya, dari pada orang lain. Konsep Tarjih seperti ini
telah diterapkan ketika ada pertentangan hadis perihal air mani antara hadisnya
seorang sahabat, yang mana dia adalah subjek dari hadist tersebut, dengan hadistnya
Aisyah RA. [21] dan
عن ميمونة
قالت : تزوجني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم ونحن حلالان
Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah SAWmenikahiku, dan kami
berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” (HR. Abu Dawud no.
1843; shahih).
Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu
‘Abbas ra.:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ
مُحْرِمٌ
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallammenikahi
Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no.
1410).
Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat
di atas, maka riwayat Maimunah ra. dimenangkan atas riwayat Ibnu
‘Abbas ra.ma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah
yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata :
وهم بن
عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan
Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Abu Dawud no. 1845; shahih).
e)
Kedewasaan Perowi
Kedewasaan perowi dalam menerima hadist juga sangat
berpengaruh dalam menTarjih sebuah hadist. Ada beberapa alasan kenapa perowi
dewasalebih diprioritaskan dari pada perowi yang masih kecil. Diantaranya, pertama
perowi yang sudah balig lebih faham akan makna-makna hadist. Kedua,
perowi yang sudah balig lebih pintar dalam menyempurnakan lafad hadist. Ketiga,
perowi yang sudah balig lebih jauh dari kesalahan dan percampur adukan sebuah
hadist. Keempat, kedlobitan perowi yang sudah balig lebih sempurna. Kelima,
perowi yang sudah balig lebih pintar menjaga dasar-dasar sebuah hadist. Keenam,
perowi yang sudah balig lebih cepat menangkap hadist ketika mendengarkan
hadist.
Seperti pertentangan hadistnya imam malik dengan
sufyan bin utaibah. Dengan alasan, ketika imam malik menerima hadistnya sudah
dalam keaadaan dewasa. Sedangkan sufyan
bin utaibah masih kecil ketika menerima hadist.[22]
f)
Percakapan Perowi
Perowi yang ikut percakapan dalam sebuah hadist ini
lebih diutamakan dari pada perowi yang mendapatkan hadist dari orang lain meski
dengan jalan musyafat. Seperti pertentangan hadisnya 'ubaidAlloh bin umar
dengan ibnu abi dzi'bin. Namun, kosep ini masih menjadi polemik dikalangan para
ahli hadist. Ulama' yang memakai konsep ini adalah ulama' hadist irak, basroh,
syam, dan mayoritas ulama' hadist. Sedangkan ulama' yang tidak memakai konsep
ini adalah imam malik dan ahlu hijaz, menurut mereka keduanya sama.[23]
dan :
عن أبي
رافع قال : تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم ميمونة وهو حلال وبنى
بها وهو حلال وكنت أنا الرسول بينهما
Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah SAWmenikahi Maimunah
dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya
dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara
keduanya” (HR. At-Tirmidzi no. 841).
Jika hadits ini sah maka riwayat Abu Raafi’ ini
dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas),
karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah SAW dan
Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau SAW
g)
Musyafahat Perowi
Adanya pertentangan dua hadist yang pertama diperoleh
dengan musyafahat (mendengar langsung hadisnya) dan yang kedua dari sebuah tulisan
atau yang semisal. Dari sini akan lebih didahulukan hadist pertama yang
diperoleh dengan musyafahat. Dengan alasan, hadist yang kedua lebih rawan akan
terjadinya kesalahan seperti terputusnya perowi. Konsep Tarjih seperti ini
telah diterapkan ketika ada pertentangan hadis perihal manfaat kulit bangkai
antara Ibnu Abbas dengan jalan musyafahat, dengan hadistnya Abdulloh Bin
Ukaimdengan riwayat kitabah.[24]
h)
Keikut sertaan perowi
Keikut sertaan perowi dalam hadist itu berarti perowi
akan lebih faham dengan keaadaan yang sedang berlangsung dari pada orang yang
mendapatkan hadist hanya dari sebuah cerita. Konsep Tarjih seperti ini telah
diterapkan ketika ada pertentangan hadis perihal kebolehan nikah antara
hadisnya Maimunah oleh Abu Rofi', yang mana beliau berada ditempat ketika nabi
bersabda, dengan hadistnya Ibnu Abbas dengan jalan diberitahu seseorang.[25]
i)
Perawi istri
Rasulullah SAW
Perawi salah satu dari dua hadits termasuk
istri-istri Rasulullah SAW. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain
dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri.
Contoh :
عن عائشة
وأم سلمة – رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يدركه الفجر
وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari Aisyah dan Ummu Salamah ra.ma bahwasannya Rasulullah SAW pernah
mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah
bercampur dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan
berpuasa” (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109).
أن أبا
هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم
Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu
subuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” (HR. Malik
no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih).
Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua,
sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi SAW dibanding
dengan Abu Hurairah ra.
2.
Dari Segi Matan
Yang dimaksud matan disini adalah isi atau kandungan
dari hadits, Al Qur’an atau Ijma’, baik yang berupa amr (perintah), larangan, ‘am dan khosh serta
yang lainnya. Larangan lebih didahulukan daripada perintah, karena menolak
mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan mashlahah, berdasarkan kaidah :
“Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada menarik mashlahah.” Jika dalil
satunya memerintahkan dan yang lain memubahkan maka didahulukan yang dalil yang
memerintahkan untuk bisa lebih berhati-hati.
Dan jika dalil satunya mengandung lafadh hakiki, dan
yang lain mengandung lafadh majazy (arti kiasan) maka didahulukan dalil yang mengandung
lafadh hakiki, karena lafadh hakiki tidak memerlukanqorinah (indikasi)
nash yang lain. Bila ada dalil yang mengandung lafadh larangan dan yang lain
mengandung pembolehan, maka didahulukan dalil yang mengandung larangan supaya
bisa lebih berhati-hati. Ucapan lebih didahulukan dari pekerjaan. “Ucapan lebih
didahulukan atas aktivitas.”
Contohnya adalah tentang buang hajat dengan
posisi menghadap atau membelakangi kiblat (ka`bah), hadis tersebut adalah:
عن ابى
هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال اذا جلس احدكم على حاجته فلا
يستقبل القبلة ولا يستدبرها (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Abu Hirairah ra dari Rasulullah SAW bersabda;
apabila seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan
menghadap dan membelakangi arah qiblat. (HR. Muslim).[14]
عن ابن
عمر رضى الله عنه قال رقيت على بيت اختى حفصة فرايت رسول الله صلى الله عليه وسلم
قاعدا لحجته مستقبل الشام مستدبر القبلة (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata; Aku datang ke rumah saudari
perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW dalam keadaan duduk untuk
buang hajat menghadap kearah Syam dan membelakangi qiblat. (HR. Muslim).
Kalau diteliti kedua hadis ini tampak adanya
perbedaan antara qaul (ucapan) Nabi SAW dengan af`alnya (perbuatannya). Dalam
hal ini al-Syaukani mengutip pendapat Ibnu Rusyd; “bahwa hukum dalam perbuatan
Rasulullah SAW seperti hukum dalam qaul-qaulnya”.
Dan menurut pendapatnya jika terjadi kontradiksi
antara qaul Nabi SAW dan af`alnya maka diambil beberapa sikap
sebagai berikut; pertama, mendahulukan qaul daripada af`al, kedua,
mendahulukan af`al daripada qaul, ketiga, mendahulukan yang
diketahui sejarahnya.
Imam al-Qurthubi
sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani berpendapat bahwa perbuatan Nabi SAW
menunjukkan pada wajib (ketetapan) dan jika diketahui faktor sejarah maka yang
datang terakhir dinasakh dan jika yang datang terakhir juga diketahui sejarahnya
maka keduanya ditarjih dan tetap diantara keduanya tidak terjadi kontradiksi,
boleh jadi menunjukkan pada nadab atau ibadah diantara perbedaan qaul dan af`al.
3. Dari Segi Kandungan Teks
Dan dari segi
hukum atau kandungan teks menurut al-Syaukani adalah:
a) Mengandung bahaya
Apabila salah
satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan kebolehan
saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya itulah yang harus di dahulukan.
b) Istbat al-hukmi
Apabila hukum
yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain bersifat
meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama’. Menurut Syafi’iyah teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan
dari teks yang bersifat menetapkan.Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya
menetapkan lebih di dahulukan.
c) Ilgo'u al-hukmi
Apabila teks
yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana
dari hukum, sedangkan teks yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan
hukuman terhadap terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum
menghindarkan itu lebih didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini
hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
Tolaklah hukuman dalam jarimah
hudud apabila terdapat keraguan (HR al-Baihaqi)
d) Mengandung Hukuman Yang Lebih Ringan
Teks yang
mengandung hukuman yang lebih ringan didahulukan dari pada teks yang mengandung
hukuman yang berat. Seperti yang tertulis dalam QS al-Baqarah: 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
[البقرة : 185]
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Wal hasil, dari seratus cara yang dirumuskan para
ahli hadist untuk menTarjih hadist muhtalaf tersebut ada tiga cara, yaitu:
1.
Hadist yang muhtalif dari segi
sanad.
2.
Hadist yang muhtalif dari segi
Matan.
3.
Hadist yang muhtalif dari segi
kandungan matan.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada
dasarnya konsep Nasih Mansuh dan Tarjih ini, adalah jalan keluar dari hadist
muskil atau istilah lain Muhtalaf hadist. Dari pertentangan hadist yang tidak
diketahui titik temunya tersebut maka pertma dicari adakah sejarahnya kedua
hadist tersebut. Jika Muhtalaf hadist tersebut ditemukan sejarahnya maka akan
masuk dalam konsep Nasih dan Mansuh. Kemudian bila dari sejarahnya tidak
terdeteksi mana yang lebih awal dan mana yang lebih ahir maka jalan keluarnya
adalah konsep Tarjih Al-Hadist.
1. Nasih dan Mansuh
Al-Hadist
Pokok dari
konsep Nasih dan Mansuh adalah pada kurun waktu munculnya hadist. Jadi, untuk
hadist yang pertama menjadi Nasih dan yang datangnya ahir maka menjadi Mansuh.
2. Tarjih Al-Hadist
Sebenarnya
dari seratus cara untuk menTarjih sebuah hadist itu muaranya pada kehati-hatian
para ahlidalam menyikapi dua hadist yang bertentangan. Oleh sebab itu, dari
seratus cara tersebut kunci utamanya adalah satu,yakni mana hadist yang lebih
kuat. Baik dari sifat perowi, matanya atau penguat lain.
B.
Saran Kajian
Kajian
ilmiah ini masih sangat sederhana dan terlalu global. Karena masih banyak
konsep Nasih Mansuh dan Tarjih yang belum kami paparkan. dan kami yakin, bila
untuk melengkapi hal itu sudah barang tentu menjadi sebuah buku dan bukan lagi
makalah seperti ini.
DAFTAR PUSTAKA
As-Syafi'i, Burhanuddin Abu Ishaq Al-Qohiri. 1998. As-Syadza Al-Fuyaah Min Ulumi Ibni
As-Sholah Juz 2. Libanon. Maktabah Rosyad.
As-Saiji, Muhammad Ahmad Thohan dan Abdurrozaq Holifah.
Tt. Mu'jam Al-Mustholahat Al-Hadisiyah juz 2. Maktabah Tsamilah. Versi
20.000.
Al-Hazimi, Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman. Tt. Al-I'tibar
Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.
As-Syahruzuri, Abu Umar Ustman Bin Abdurohman. 2004. Ulumul
Hadist Libni Sholah. Libanon. Dar Al-Fikr Al-Mu'asarah.
An-Naisaburi, Abu Husain Muslim Bin Al Hajaj Bin
Muslim. 1998. Shohih Muslim . Libanon. Dar Al-Kutub Almiyah.
Al-Blitari, Marzuqi Mustamar. 1428. Al-Muqtalafat
Li Ahli Bidayah Nahdlotul Ulama'. Malang. Ma'had Sabilurosyad.
An-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya Bin Syarof. 1392. Syarhu
An-Nawawi Juz 2. Bairut. Dar Al-Ihya' Turast Al-Arobi.
Al-'Ula, Muhammad Abdurrohman Bin Abdurrohim. Tt. Tuhfatu
Al-Ahwadzi Bisyarhil Jami' Sunan At-Tirmidzi. Maktabah Tsamila. Versi
20.000.
Al-Qohiri, Ibrohim Bin Musa Bin Ayub Burhanuddin Abu
Ishaq. Tt. Lasyadza Al-Fuyaah Min
Ulumi Ibni Sholah. Kairo. Maktabah Al-Rosyad.
Al-Hazimi, Abu Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman. Tt. Al-I'tibar
Fi Al-Nasih Wa Al-Mansuh Min Al-Atsar. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.
Abdulloh, Said
Bin. Tt. Fatawi Hadisiyah. Maktabah Tsamila. Versi 20.000.
[1] Muhammad
Ahmad Thohan dan Abdurrozaq Holifah As-Saiji, Mu'jam Al-Mustholahat
Al-Hadisiyah juz 2, (Maktabah Tsamilah: Versi 20.000, tt), hlm: 48. Lihat: والنسخ له معنيان: الإزالة
والنقل
[2]
Burhanuddin Abu Ishaq Al-Qohiri As-Syafi'i, As-Syadza Al-Fuyaah Min Ulumi
Ibni As-Sholah Juz 2, (Libanon: Maktabah Rosyad, 1998), hlm: 461. Lihat: وبالسابق عن: التخصيص المتصل بالتكليف كالاستثناء ونحوه
[3] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa
Al-Mansuh Min Al-Atsar, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 34.
Lihat: وَأَمَّا
شَرَائِطُهُ فَمَدَارِكُ مَعْرِفَتِهَا أَنْ يَكُونَ النَّسْخُ بِخِطَابٍ
[4]
Idem.,,,hal: 67. Lihat:
لِأَنَّ التَّأْقِيتَ يَمْنَعُ النَّسْخَ
[5] Idem.,,,
[6] Abu Umar
Ustman Bin Abdurohman As-Syahruzuri, Ulumul Hadist Libni Sholah,
(Libanon: Dar Al-Fikr Al-Mu'asarah,2004), hlm: 5. Lihat: إِنَّ نَاسِخَ الْحَدِيثِ وَمَنْسُوخَهُ يَنْقَسِمُ أَقْسَامًا :فَمِنْهَا :
مَا يُعْرَفُ بِتَصْرِيحِ رَسُولِ اللَّهِ
[7] Abu
Husain Muslim Bin Al Hajaj Bin Muslim An-Naisaburi, Shohih Muslim 5229 Juz
6, (Libanon: Dar Al-Kutub Almiyah, 1998), hlm: 86.
[8] Marzuqi
Mustamar Al-Blitari, Al-Muqtalafat Li Ahli Bidayah Nahdlotul Ulama',
(Malang: Ma'had Sabilurosyad, 1428), hlm: 13:
يعني: الآن
الأصوليون يقولون: إن الأمر يقتضي الوجوب ما لم يرد صارف
[9] Abu
Zakariyya Yahya Bin Syarof An-Nawawi, Syarhu An-Nawawi Juz 2, (Bairut:
Dar Al-Ihya' Turast Al-Arobi, 1392), hlm: 66.
[10] Idem.,,,
hlm: 67. Lihat: وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّار
[11] Idem.,,,
hlm: 67. Lihat: أَنَّهُ مَنْسُوخ بِحَدِيثِ جَابِر
رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : كَانَ آخِر الْأَمْرَيْنِ
[12] Idem.,,,
hlm: 67.
[13] Abu
Husain Muslim Bin Al Hajaj Bin Muslim An-Naisaburi, Shohih Muslim 5229 Juz
6, (Libanon: Dar Al-Kutub Almiyah, 1998), hlm: 22.
[14] Abu
Umar Ustman Bin Abdurohman As-Syahruzuri, Ulumul .,,,hlm: 5. Lihat: . بَيَّنَ الشَّافِعِيُّ أَنَّ الثَّانِيَ نَاسِخٌ لِلْأَوَّلِ
فَبَانَ بِذَلِكَ : أَنَّ الْأَوَّلَ كَانَ زَمَنَ الْفَتْحِ فِي سَنَةِ ثَمَانٍ ،
وَالثَّانِيَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فِي سَنَةِ عَشْرٍ .
[15]
Muhammad Abdurrohman Bin Abdurrohim Abu Al-'Ula, Tuhfatu Al-Ahwadzi
Bisyarhil Jami' Sunan At-Tirmidzi, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt),
hlm: 34. Lihat: فَإِنَّهُ لَمْ يَذْهَبْ أَحَدٌ
قَدِيمًا أَوْ حَدِيثًا إِلَى أَنَّ شَارِبَ الْخَمْرِ يُقْتَلُ
[16] Ibrohim
Bin Musa Bin Ayub Burhanuddin Abu Ishaq Al-Qohiri, Lasyadza Al-Fuyaah Min
Ulumi Ibni Sholah, (Kairo: Maktabah Al-Rosyad, tt), hlm: 461. Lihat: والإجماع لا ينسخ ولا ينسخ ولكن
يدل على وجود ناسخ غيره
[17] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa
Al-Mansuh Min Al-Atsar, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt), hlm: 34.
Lihat: وَعِنْدَ
الْكُوفِيِّينَ زِيَادَاتٌ أُخَرُ نَحْوُ حُسْنِ الظَّنِّ بِالرَّاوِي
[18] Said
Bin Abdulloh, Fatawi Hadisiyah, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt),
hlm: 11. Lihat:
ووجوه الترجيح بلغت مائة وجه ، لكن نذكر منها
[19] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ
الْأَوَّلُ : فَمِمَّا يُرَجَّحُ بِهِ أَحَدُ الْحَدِيثَيْنِ عَلَى الْآخَرِ
كَثْرَةُ الْعَدَدِ فِي أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ
[20] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ
الثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ مُتَّفَقًا فِي عَدَالَتِهِ
وَالْآخَرُ مُخْتَلَفًا فِيهِ
[21] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ الثَّامِنُ : أَنْ يَكُونَ
أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ صَاحِبَ الْقِصَّةِ فَيُرَجَّحُ حَدِيثُهُ ؛ لِأَنَّ
صَاحِبَ الْقِصَّةِ أَعْرَفُ بِحَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ
[22] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: لِأَنَّ مَالِكًا أَخَذَ عَنِ
الزُّهْرِيِّ وَهُوَ كَبِيرٌ ، وَابْنُ عُيَيْنَةَ إِنَّمَا صَحِبَ الزُّهْرِيَّ
وَهُوَ صَغِيرٌ دُونَ الِاحْتِلَامِ
[23]Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: الْوَجْهُ الْخَامِسُ : أَنْ يَكُونَ
سَمَاعُ أَحَدِ الرَّاوِيَيْنِ تَحْدِيثًا ، وَسَمَاعُ الثَّانِي عَرْضًا
[24] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: أَنْ
يَكُونَ أَحَدُ الْحَدِيثَيْنِ سَمَاعًا أَوْ عَرْضًا ، وَالثَّانِي يَكُونُ
كِتَابَةً ، أَوْ وِجَادَةً ، أَوْ مُنَاوَلَةً
[25] Abu
Bakar Muhammadbin Musa Bin Ustman Al-Hazimi, Al-I'tibar Fi Al-Nasih Wa .,,
hlm: 34. Lihat: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ
مُبَاشِرًا لِمَا رَوَاهُ وَالثَّانِي حَاكِيًا ، فَالْمُبَاشِرُ أَعْرَفُ
بِالْحَالِ
[26] Said
Bin Abdulloh, Fatawi Hadisiyah, (Maktabah Tsamila: Versi 20.000, tt),
hlm: 11. Lihat: أن يكون أحد الحديثين أقوى من الحديث الآخر في الصحة
Harrah's Cherokee Casino - Mapyro
BalasHapusHarrah's Cherokee 영주 출장샵 Casino is located in 광주 출장마사지 Murphy, North Carolina and 청주 출장샵 features 36400 square feet of casino gaming 경상남도 출장샵 space. The property offers an 김포 출장안마