Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Jumat, 22 Maret 2013

SI TIMOR LENG


TIMOR LENG


BAB  I
PENDAHULUAN

A.                         Latar Belakang Masalah
Setelah berabad-abad lamanya, orang Islam berhasil menorah tinta emas dalam buku sejarah peradabanya, dalam ruang lingkup Dunia yang tak tertandingi. Puncaknya pada masa bani Abbasiyah, Islam bak tinggi menjulang kelangit bagi seluruh penguasa di Dunia. Maka tak heran bila pada masa itu bermunculan keilmuan yang bermacam macam keluar dari perut islam. Kini kejayaan itu rata dengan tanah, semuanya musnah. Kenyataan pahit itu harus dialamai kaum muslimin lantaran banyak faktor yang dialami. Pertama faktor internal, diantaranya, banyaknya perpecahan di dalam tubuh umat Islam itu sendiri, kemudian perilaku suka berfoya-foya dan bermegah-megahan para penguasa terahir masa Bani Abbasiyah. Sehingga tak jarang terjadi perang saudara dalam tubuh Islam sendiri, demi merebutkan kekuasaan yang gemilang.
.
B.                          Kerangka masalah:
1.      Bagaimana sejarah peradaban islam pada masa dinasti-dinasti kecil dan masa kemunduran peradaban Islam (1250-1500)?
2.      Bagaimana sejarah Dinasti Il-khan, Dinasti Timur Lenk dan Dinasti Mamalik?

C.                         Tujuan pembahasan:
1.      Untuk mengetahui sejarah Islam pada masa dinasti-dinasti kecil dan masa kemunduran peradaban Islam (1250-1500) (1250-1500)?
2.      Untuk mengetahui sejarah Dinasti Il-khan, Dinasti Timur Lenk dan Dinasti Mamalik?







BAB  II
PEMBAHASAN

A.                Masa dinasti-dinasti kecil dan masa kemunduran Islam (1250-1500)
Ketika membahas dinasti dinasti kecil paska kemunduran umat Islam berarti yang dimaksud adalah pergeseran dinasti dinasti kecil yang keluar dari tubuh bani Abbasiyah, lantaran kemajuan besar yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewahan ditambah dengan kelemahan Khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Dari dua belas khalifah pada periode kedua Bani Abbasiyah, hanya empat orang yang wafat dengan wajar. Selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan paksa.
Banyaknya konflik dalam Islam serta ambisi para penguasa yang menginginkan membuat dinasti mandiri dan otonomi sendiri tanpa campur tangan dari bani Abbasiyah. Ahirnya ketika tentara khalifah melemah, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari pusat kekuasaan, mendirikan dinasti-dinasti kecil. Disisi lain, tidak terasa bahwa di timur jauh yakni penduduk di daerah pegunungan Mongolia telah berdiri kerajaan besar dan berkekuatan besar pula hendak memporak-porandakan Baghdad. Dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa Kekhalifahan Abbasiyah seluruhnya berjumlah 26 dinasti.[1]
Dinasti dinasti kecil itu diantaranya:
1)        Dinasti Idrisiyah (789-985 M.)
Munculnya Dinasti Idrisiyah murni karena kekecewan kelompok Alawiyun terhadab Bani Abbasiyah yang menurut mereka telah berhianat. Lantaran janji dari Bani Abbasiyah akan memberikan haknya yang telah dirampas oleh Bani Umayyah. Namun setelah membantu membesarkan Bani Abbasiyah, hak itupun belum dipenuhi. Ahirnya kelompok Alawiyun ini melakukan pemberontakan beberapa kali. Namun malah membuat pemuka-pemuka mereka mati terbunuh karena kala itu Bani Abbasiyah masih kuat. Dari beberapa kali pemberontakan itu masih ada dua orang kelompok Alawiyun yang hidup karena bisa melarikan diri, yakni Idris Ibnu Abdillah dan saudaranya Yahya Ibnu Abdillah.
Idris Ibnu Abdillah lari menuju maroko dan membangun Dinasti yang disebut Dinasti Idrisiyah. Dia memilih di Maroko sebab ada dua alasan yang melatar belakanginya. Pertama, bangsa Barbar di Maroko menerima kehadiranya dengan tangan terbuka karena Idris Ibnu Abdillah mempunyai garis keturunan dengan Rosululloh dan Ali. Di samping itu, karena orang Barbar menganggap Bani Abbasiyah telah berbuat dlolim. Kedua, Maroko sangat kondusif untuk mendirikan kekuasaan yang otonom.[2]
2)        Dinasti Aghlabiyah (800-909)
Nama Dinasti Aglabiyah dinisbatkan kepada Ibrohim Ibnu Al-Aghlab, seorang perwira dalam barisan tentara Bani Abbasiyah. Yakni pada masa khalifah Harun Al-Rosid. Ketika adanya dua kekuatan besar muncul dari bagian barat Afrika utara. Yakni kelompok Khowarij dan Bani Idrisiyah yang beraliran Syi’ah. Oleh karena itu Harun Al-Rosid mengirimkan tentara ke Ifriqiyah, yang dipimpin oleh Ibrohim Ibnu Al-Aghlab dan berhasil memukul mundur kelompok Khowarij. Kemudian Ibrohim Ibnu Al-Aghlab mengajuakan permintaan kepada kholifah Harun Al-Rosid untuk menghadiyahkan wilayah Ifriqiyah kepadanya dan keturunannya secara permanen, atas cirri payahnya memukul mundur kelompok Khowarij tersebut. Tak hanya itu saja, Ibrohim Ibnu Al-Aghlab juga menjanjikan akan memberikan upeti ke Baghdad sebesar 40.000 dinar setiap tahunya. Harun Al-Rosid ahirnya menyetujui permintaan Ibrohim Ibnu Al-Aghlab.
Tak hanya itu saja, selang satu tahun Harun Al-Rosid juga memberikan hak otonom penuh kepada Ibrohim Ibnu Al-Aghlab untuk mengatur wilayahnya dan kebijakan politinya tanpa campur tangan dari Bani Abbasiyah. Kemudian Ibrohim Ibnu Al-Aghlab membina wilayahnya tersebut bersama keturunannya dan ahirnya disebut dengan dinasti aghlabiyah, yang dinisbatkan kepada Ibrohim Ibnu Al-Aghlab.[3]
3)        Dinasti Thulunniyah (868-905)
Sejarah berdirinya Dinasti Thuluniyah bermula dari penghianatan seorang budak yang dijadikan pengawal istana Al-Musta’in, namanya Bayakbek. Pada saat terjadinya penggulingan kekuasaan oleh Al-Mu’tazz, Bayakbek memilih bergabung dengan Al-Mu’taz dan bersama-sama Al-Mu’taz menggulingkan Al-Musta’in. Setelah Al-Musta’in kalah, Al-Mu’taz memberikan jabatan tinggi kepada orang-orang yang berjasa ketika penggulingan Al-Musta’in. Jadi, sudah barang tentu sang budak Bayakbek, mendapatkan hadiyah dari Al-Mu’taz. Bayambek diberi kekuasaan untuk memjadi gubernur di wilayah Mesir. Namun oleh Bayakbek jabatan itu diberikan kepada anaknya, Ibnu Thulun. Ahirnya berdirilah Dinasti Thulunniyah.
Setelah itu, Dinasti Thulunniyah melepaskan diri dari kekhalifahan Abbasiyah. Bahkan ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat, Aleppo dan Antiokia.[4]
4)        Dinasti Ikhsidiyah (935-969)
Dinasti ini muncul setelah hancurnya Dinasti Thulunniyah, yang berpusat di Fustat. Pendiri Dinasti Ikhsidiyah adalah seorang militer Turki yang telah lama mengabdikan dirinya kepada Bani Abbasiyah. Namanya Muhammad Ibnu Tughji. Perjalanan keberhasilan Muhammad Ibnu Tughji ini mirib dengan Ibrohim ibnu Al Aghlab. Yakni, karena keberhasilannya meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyyah di Mesir, maka dia diberi gelar Al-Aikhsyid. Awalya dia juga gubernur yang berada di bawah payung Bani Abbasyiah, kemudian mendapat semacam otonom husus yang ahirnya dikelola sendiri bersama keluarganya.[5]
5)        Dinasti Hamdaniyah (905-1004)
Dinasti Hamdaniyah adalah satu satunya dinasti kecil yang mempunyai cabang, di Aleppo. Pusat dari Dinasti Hamdaniyah adalah di Mousul.
Awalnya, gerakan keluarga Hamdani ini muncul pada masa khalifah Al- Mu’tadhid dan sangat menentang kekhalifahan Bani Abbasiyah. Karena kegagalannya menentang Bani Abbasyah, seluruh keluarganya ditawan oleh Bani Abbasiyah. Kemudian seluruh keluarganya ditawan itu dikeluarkan karena Al-Husain Ibnu Hamdan berhasil menangkap tokoh khowarij yang bernama Harun Al-Syari. Tidak itu saja, dia juga diberi kekuasaan sebagai gubernur di Mousul. Akan tetapi, kejayaan dinasti ini puncaknya ketika dipegang ke-dua anaknya, Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdulloh yang bergelar Nashir Al-Daulah yang berkuasa di Mousul kemudian bisa mempunyai otonom sendiri dan yang satunya Abu Al-Mahasin Ibnu Abdulloh berkuasa di Aleppo. Setelah itu dia juga dikenal sebagai pendiri Dinasti Hamdaniyah di Aleppo.[6]
B.                 Sejarah Dinasti Il-khan, Timur Lenk dan Dinasti Mamalik
1.      Dinasti Il-khan
Jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap oleh keganasan pasukan Mongol.
Awal berdirinya Dinasti Il-khan adalah permulaan dimana bangsa mongol masuk pada paradaban Islam di baghdad. Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tatar dan Mongol. Kedua putra itu melahirkan dua suku besar, Mongol dan Tartar. Dan Il-Khan adalah keturunan Alanja Khan dari jalur Mongol. Yakni cucu dari Timujin yang mendapat gelar Jengis Khan atau raja yang perkasa. Dia mendapat gelar itu karena keberhasilannya yang luar biasa dan Dalam waktu 30 tahun, ia dapat memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. [7]
Setelah Jengis Khan tewas, tahta Mongol diteruskan oleh empat anaknya, yakni Juchi, Chagatai, Ogotai dan Tuli. Dan setelah Tuli meninggal, tahta itu diteruskan anaknya, Hulagu Khan. Dari Hulagu Khan inilah, awal permulaan Dinasti Il-khan. Artinya, dinasti il-khan sudah berdiri sendiri dan bisa dikatakan beda dengan bangsa Mongol. Namun Dinasti Il-khan adalah Dinasti yang keluar dari perut Mongol.
Pada tahun (1258), tentara Dinasti Il-khan tiba disalah satu pintu Baghdad dengan berkekuatan 200 ribu orang pasukan. Bani Abbasiyah yang pada waktu itu dikhalifahi oleh Al-Musta’in tidak bisa menahan serangan Dinasti Il-khan ahirnya terjadilah Bagdad sebagai keraajaan islam besar rata dengan tanah. Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukan Hulagu selanjutnya diperintah oleh Dinasti Il-khan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan kepada Hulagu. Sebenarnya, faktor terbesar kekalahan bani abbasiyah di tangan Dinasti Il-khan adalah penghianatan wazir Bani Abbasyah, Ibnu Al-Qumi. Dan mengakibatkan Al-Musta’in mati saat perundingan yang disekenario oleh Ibnu Al-Qumi. Ahirnya Bagdad benar-benar diratakan dengan tanah oleh Dinasti Il-khan. Umat Islam, dengan demikian, dipimpin oleh Hulagu Khan, seorang raja yang beragama syamanisme (penyembah bintang-bintang dan sujud kepada Matahari yang sedang terbit).
Meskipun Baghdad telah dihancurkan oleh Hulagu Khan, ia menetap di Baghdad selama dua tahun, sebelum ia merambah ke Mesir dan Syria. Pada tahun 1260 Hulagu Khan berhasil menduduki Nablus dan Gaza.
Panglima Dinasti Il-khan, Kitbugho mengirim utusan kepada raja di Mesir, supaya rajanya yang bernama Qutuz menyerah. Namun di Mesir sang utusan mendapat sambutan hangat dan tak terduga, dari Qutuz. Utusan itu dibunuh yang ahirnya menjadi penyebab kemarahan Dinasti Il-khan. Puncak dari perhelatan Dinasti Il-khan dan bangsa Mesir ketika Kitbugho melintasi Yordania menuju Galilia, 3 September 1260 di ‘Ain Jalut. Bangsa Mesir yang dipimpin langsung oleh Qutuz dan Baybras berhasil memukul mundur Dinasti Il-khan.
Daerah yang dikuasai Dinasti Il-khan terletak antara Asia kecil di barat dan India di timur dengan ibu kota Tabriz.[8]
Demikianlah kondisi dunia Arab, terutama Baghdad dan sebagian besar derah-daerah kerajan Islam lainnya dikuasi oleh bangsa Mongolia selama kurang lebih 85 tahun dibawah perintah Dinasti Il-khan, yang tentunya kehadiran mereka lebih banyak membawa kehancuran dan kemunduran dunia Islam.
Hulagu Khan meninggal tahun 1265 M dan diganti oleh anaknya, Abaga (1265-1282 M) yang masuk Kristen. Baru rajanya yang ketiga, Ahmad Teguder (1282-1284M), yang masuk Islam. Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh pembesar- pembesar kerajaan yang lain. Akhimya, ia ditangkap dan dibunuh oleh Arghun (1284-1291 M) yang kemudian menggantikannya menjadi raja. Raja dinasti Il-khan yang keempat ini sangat kejam terhadap umat Islam. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan diusir .
Selain Teguder, Mahmud Ghazan ( 1295-1304 M), raja yang ketujuh, dan raja-raja selanjutnya adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan, Islam meraih kemenangan yang sangat besar terhadap agama Syamanisme. Sejak itu pula orang-orang Persia mendapatkan kemerdekaannya kembali .
Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, Ghazan mulai memperhatikan perkembangan peradaban. la seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. la amat gemar kepada kesenian terutama arsitektur dan ilmu pengetahuan alam seperti Astronomi, Kimia, Mineralogi, Metalurgi dan Botani. la membangun semacam biara untuk para darwis, perguruan tinggi untuk Mazhab Syafi'i dan Hanafi, sebuah Perpustakaan, Observatorium, dan gedung-gedung umum lainnya. la wafat dalam usia muda, 32 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Khudabanda Uljeitu (1304-1317 M), seorang penganut syi'ah yang ekstrim. la mendirikan kota raja Sultaniyah, dekat Zanjan. Pada masa pemerintahan Abu Sa'id (1317-1335 M), pengganti Muhammad Khudabanda, terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan dengan hujan es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan Il-khan yang didirikan Hulagu Khan ini terpecah belah sepeninggal Abu Sa'id. Masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya, mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.
Kurun raja Dinasti Il-khan[9]
  1. Hulagu Khan (1256-1265)
9.   Abu Sa' id ( 1317-1335 M)
  1. Abaga ( 1265-1282 M)
10. Arpa (1335 M)
  1. Ahmad Teguder ( 1282-1284M)
11. Musa (1336 M)
  1. Arghun (1284-1291 M)
12. Muhammad (1336-1337 M)
  1. Gayghatu (1291-1295 M)
13. Ali (1337 M)
  1. Baydu (1295 M)
14. Jahar Timur( 1338-1339 M)
  1. Mahmud Ghazan (1295-1304 M)
15. Sati Bek ( 1338-1340 M)
  1. Muhammad Khudabanda Uljeitu (1304-1317 M)
16. Sulaiman ( 1339-1343 M)

2.      Dinasti timur lenk (1336-1404)
Timur lenk, nama yang tak sing lagi di telinga ketika membahas kemunduran peradapan umat islam. Dia salah satu pemimpin paling brutal. Lantaran di tangannyalah kebesaran islam runtuh rata dengan tanah. Timur Lenk juga dikenal dengan nama Tamerlane (Bahasa Turki Chagatai: Tēmōr yang berarti "besi"), juga dikenal sebagai Temur, Timur Lenk, Taimur, atau Timur i Leng, yang artinya Timur si Pincang, karena kaki kirinya yang pincang sejak lahir. Konon ia penganut Syi’ah yang ta’at dan menyukai tarekat Naqsyabandiyah. Dalam setiap perjalanannya ia selalu mengikutsertakan para ulama, sastrawan dan seniman. Ia sangat menghormati para ulama. Ketika ia berusaha menaklukkan Syria utara, ia menerima dengan hormat sejarawan terkenal, Ibnu Khaldun yang diutus Sulthan Faraj untuk membicarakan perdamaian.[10] Timur lenk adalah seorang turki dari lembah Sry yang dibesarkan di Negara mongol Chghaytay di Samarkand.[11] Timur lenk adalah keturunan mongol yang memeluk agama islam, ayahnya bernama Taragai, seorang kepala suku Barlas di wilayah Uzbekistan. Lahir pada 8 april 1336 M. sejak usia 12 tahun ia sudah terlibat dalam medan perang. Setelah ayahnya tewas, dia bergabung dengan pasukan gubernur Tansoxiana.[12] Sekalipun timor lenk beragama islam, namun pandangnnya tentang islam fanatik, kejam dan keras.  Dia juga memutuskan hubungannya dengan ulama’ konservatif (kolot) dan doktrin kasih sayang sufi. Dia mengaku bahwa dirinya dikirim oleh Alloh untuk menghukum para Amir yang dlolim. Tujuanya adalah membentuk tatanan pemerintahan yang bersih dari korupsi.[13]
Dunia ketenteraan merupakan pilihan hidupnya, lalu dia pun bergabung sebagai tentera dengan penguasa tempatan, Amir Husein. Pada 1360 M, Timur telah menjadi seorang pemimpin tentera yang mashyur. Timur dikenali sebagai panglima yang gigih dalam mempertahankan wilayahnya dari ancaman Tughluq Timur Khan, penguasa Dinasti Chagatai. Ketangkasan dan kehebatannya membuatkan penguasa Dinasti Chagatai bergidik. Tuglaq lalu menawarkan sebuah jabatan kepada Timur yaitu menjadi pembantu utama (wazir) Gubernur Samarkand, Ilyas. Timur pun menerima tawaran itu. Bersama Amir Husein, Timur lalu melakukan pemberontakan dan mengalahkan pasukan Tuglaq Timur Khan hingga membuat Dinasti Chagatai hancur binasa. Kemudian ia bersekongkol dengan iparnya amir Husain, untuk memberontak kepemimpinan thuglugh. Pada 10 april 1370, penyerbuan yang berhasil menewaskan tuglugh. Kemudian dia juga membunuh iparnya, amir husen. Ahirnya si timor pincang memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin tunggal.[14]
Timur Lenk berencana untuk menaklukkan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Jengiskhan. Ia berkata : “Sebagaiamana hanya ada satu Tuhan di alam ini , maka di bumi seharusnya hanya ada seorang raja.”Pada tahun 1381 M. ia menaklukkan Khurasan, terus ke Afganistan, Persia, Fars dan Kurdistan.
Di setiap negeri yang ditaklukkannya ia mengadakan pembantaian besar-besaran terhadap siapa saja yang menghalangi rencananya, misalnya di Afganistan ia membangun menara yang disusun dari 2000 mayat yang dibalut dengan batu dan tanah liat. Di Aleppo, Syria ia membangun menara dari 20 ribu kepala manusia yang sudah dipisahkan dari badannya. Di Bagdad, 20 ribu kepala penduduk dibantainya. Di India ia membantai lebih dari 80 ribu tawanan. Di Sivas, Anatolia sekitar 4000 tentara Armenia dikubur hidup-hidup. Pada tahun 1401 M. ia memasuki daerah Syria bagian utara.[15]
Si timur pincang itu juga menggempur kesultanan usmani di Turki yang dipimpin langsung oleh bayazid, dan bayazid mati sebagai tawanan timur, serta kesultanan mamluk di Mesir juga tak luput dari keganasannya. Namun, seperti yang terjadi saat menghadang pasukan halagu, mesir ahirnya selamat dari kebringasan si pincang. Sekolah dan masjid di sekitar Irak dihancurkan. Masjid Umayah di Damaskus dihancurkan hingga tinggal dindingnya. Si pincang benar-benar menghancurkan peradaban umat islam secara total. Bagdad belum benar benar pulih dari serangan Hulagu, kini remuk kembali oleh kebiadaban si pincang.[16]
Setelah wilayah asia barat dan asia tengah rata dengan tanah, kini Timur Lenk kembali ke Samarkhand. Ia berencana mengadakan invasi (penyerbuan) ke Cina, Namun di tengah perjalanan ia menderita sakit yang membawa kepada kematiannya padda tahun 1404 tepat pada usia 71 tahun.[17]
Setelah kematian timur, dua orang anaknya, Muhammad jehanekir dan kholil saling berebut kursi ayahnya. Terjadilah perang saudara yang hebat sekali dan dimenangkan oleh kholil (1404-1404). Namun kepemimpinan kholil tidak lama, lantaran dikudeta (perebutan kekuasaan dengan kekerasan) oleh saudaranya yang lain, Syah ruhk (1404-1447). Setelah syah ruhk meninggal digantikan oleh anaknya Ulugh bay (1447-1449). Dan pada masa 1469 kekuasaan Negara timur lenk ambruk tak tersisa.[18]
3.      Dinasti mamalik
Satu-satunya negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan bangsa Mongol ini adalah Mesir yang ketika itu dipimpin oleh dinasti Mamalik.
Sultan al-Malik al-Salih (1240 M-1249 M) menempatkan para budak tersebut pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa kekuasaannya, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material . Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia, yaitu daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Baghdad, Istanbul dan Mesir. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mameluk Bahri (bahr artinya laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Syirkasiah yang didatangkan oleh Sultan Qalawun (1279-1290) ketika dirasa para Mamluk Bahri akan dapat mengancam kekuasaannya dan kemudian mereka ditempatkan di menara-menara benteng dan akhirnya dijuluki dengan Mamluk Burji (buruj artinya menara).[19]
Pada masa al-Malik al-Salih berkuasa, para budak itu secara bergelombang didatangkan untuk dapat mempertahankan kekuasaannya dari segala rongrongan yang dapat mengganggu tampuk kekuasaannya. Oleh karena itu mereka secara simultan dapat membangun solidaritas yang tinggi bagi kelangsungan kekuasaan mereka kelak jika terjadi pergantian kepemimpinan sultan (suksesi), terlebih mereka seringkali ditakutkan dengan kehadiran suku kurdi yang dipercaya sebagai tentara pengaman Sultan al-Malik al-Kamil.[20]
Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M), anaknya, Ghiyats al-Din Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Kondisi ini mendorong para mamluk untuk melakukan kudeta dan akhirnya pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Izzudin Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri al-Malik al-Salih, Syajarah al-Durr bin Abdullah (Ummu Khalil), seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu. Kepemimpinan Syajarah al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Izzudin Aybak (649 H) dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Setelah lima hari berkuasa dan dinobatkan sebagai raja baru menggantikan Turansah, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Mudzofar al-Din Musa yang masih berumur 10 tahun-an sebagai ”Sultan Syar’i” (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.[21]
Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, ”al-Malik al-Manshur” Nurudin Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, ”al-Malik al-Mudzaffar” Saifudin Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Ruknuddin Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik .[22]
Pada perjalanan pulang dari Damaskus menuju ke Mesir, di daerah antara Ghazaliyah dan Shalihiyah, pada akhir bulan Dzul Qa’dah, beberapa pemimpin daerah tersebut berkonspirasi dengan Baybar untuk membunuh Qutuz. Dan mereka pun berhasil membunuhnya. Kemudian Baybars al-Bandaqdari, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M) yang diberi gelar “al-malik al-Dzahir” . Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti mamalik.
Sejarah dinasti Mamalik ini berakhir pada tahun 1517 M dikalahkan oleh Kerajaan Turki Usmani. Dinasti ini secara keseluruhan dibagi menjadi dua periode; Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M dan hamper setengah abad berkuasa di Mesir dan melahirkan 24 Sultan. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M dan berhasil melahirkan 23 sultan .[23]



























BAB  III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Sejarah benar benar membuktikan bahwa peradaban umat islam mulai dari zaman nabi hingga sekarang terjadi pasang surut kejayaan. Adalah paling mengerikan Islam di dalam perjalanan antara tahun 1250-1500.
Secara lebih detail, Karen Arnstrong dalam Islam A short History membagi perjalanan yang telah dilalui umat Islam dalam tiga periode. Pertama periode klasik (650-1250 M), kedua periode pertengahan (1250-1800) M, dan ketiga, periode modern (1800 M – sekarang).
Pembagian ini didasarkan pada masa kemajuan Islam dan pencapaian puncak peradaban dunia. Periode klasik disebut sebagai masa kemajuan Islam pertama yang direpresentasikan oleh kesatuan khilafah islamiyah yang mencapai puncaknya pada awal-awal khilafah Bani Abbasiyah. Periode pertengahan disebut sebagai masa kemajuan Islam kedua yang direpresentasikan oleh tiga kerajaan besar Islam: Utsmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia.
Period Modern adalah periode di mana umat Islam seperti yang dijanjikan Rasulullah, akan kembali kepada Khilafah ‘alaa Manhaj An-Nubuwah yang sampai saat ini masih dalam proses embriotiknya.

  1. Saran Kajian
Banyak sekali berita yang belum kami peroleh dari kajian ini, terutama peradaban islam dalam khazanah keilmuan. Dan para pakar dikala itu, dimana mereka? Bagaimana sikap mereka? Dan bagaimana menurut mereka, menanggapai perhelatan dalam tubuh islam sendiri. Dipungkiri atau tidak, sejarah telah berbicara dari seluruh kejadian. Setidaknya kita bisa mengambil hikmah dari semua perjalan yang panjang itu.







DAFTAR  RUJUKAN


Fu’adi, Imam, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Sukses Offset, 2011.

Armstrong, Karen, Islam A short History, diterjemahkan oleh: Ira Puspita Sari, Sepintas Sejarah Islam,  Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

Badri, Yatim, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005.

Hasan ,Wildan, Dinasti-Mamalik, diakses dalam
http://wildanhasan.blogspot.com/2009/05/dinasti-mamalik.html


http://www.islamedia.web.id/2011/09/pasang-surut-peradaban-islam.html


[1] http://www.islamedia.web.id/2011/09/pasang-surut-peradaban-islam.html(Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)
[2] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), Hlm: 155
[3] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban …..156
[4] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban …..155
[5] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban …. 155
[6] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban ….. 155
[7] Yatim Badri, Sejarah peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hlm: 112
[8] http://www.islamedia.web.id/2011/09/pasang-surut-peradaban-islam.html(Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)
[9] Yatim Badri, Sejarah peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hlm: 112
[10] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan (lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005), Hlm:133
[11] Karen Armstrong, Islam A short History (diterjemahkan oleh: Ira Puspita Sari), Sepintas Sejarah Islam (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), Hlm: 127
[12] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan …..136
[13] Karen Armstrong, Islam A short History …127
[14] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan …..133
[16] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan …..133
[18] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan …..134
[19] Yatim Badri, Sejarah peradaban Islam ….. 112
[20] http://wildanhasan.blogspot.com/2009/05/dinasti-mamalik.html(Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)
[21] Yatim Badri, Sejarah peradaban Islam …. 125
[22] Yatim Badri, Sejarah peradaban Islam …. 125
[23] http://wildanhasan.blogspot.com/2009/05/dinasti-mamalik.html(Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)

islam kekinian


BAB  I
PENDAHULUAN

A.                         Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama kasih sayang “Rohmatan Lil Alamin”, universal. Islam itu din (agama), dunya (dunia) dan daulah (negara/politik); Islam adalah sistem keyakinan dan sistem hukum dan sebagai agama yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman. Islam itu risalah yang universal untuk semua manusia yang pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat. Namun ahir-ahir ini banyak sekali wacana penerapan ajaran Islam yang jauh dari konsep agama itu sendiri. Ada yang keterlaluan memahami ke-Universalan Islam, ada juga yang tidak tahu ke-Universalan Islam. Semua itu karena kurangnya pemahaman pelaku dengan subtansi ajaran Islam itu sendiri. Ahirnya, muncul banyak pola pikir seperti Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme, Radikalisme dan masih banyak lagi dengan memasukkan pada konsep agama.

B.                          Rumusan  masalah:
1.      Bagaimana Islam dan globalisasi?
2.      Bagaimana Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam?
3.      Bagaimana Islamisasi Sain, Eksklusif, Inklusif dan Pluralisme agama agama?

C.                         Tujuan pembahasan
1.      Untuk mengetahui Islam dan globalisasi?
2.      Untuk mengetahui Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam?
3.      Untuk mengetahui Islamisasi Sains, Eksklusif, Inklusif dan Pluralisme agama agama?








ISLAM KEKINIAN




BAB  II
PEMBAHASAN


A.                         Islam dan Globalisasi
Ketika membahas globalisasi, otomatis tak bisa terelakkan dengan yang namanya teknologi komunikasi. Sekarang ini, dunia dengan segala perkembangannya dan kecanggihannya, sulit untuk membedakan, mana yang dilegalkan oleh agama dan mana yang tidak. Karena, dalam bentuk  apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan mudah dan cepat. Mulai yang berbentuk ibadah atau bahkan yang berbentuk kriminal. Dari sini, tinggal diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.
Umat islam saat ini dalam posisi sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju, namun terbatas dalam dunia teknologi, bukan penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat Islam banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti teknologi tersebut. Tak cukup berhenti di sini, masih adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan teknologi karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.[1]
Karena keminiman umat Islam dalam penguasaan teknologi dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Disisi lain, umat non islam sangat maju dengan berbagai teknologi. Ahirnya, dampak dari globalisasi akan menimbulkan berbagai reaksi yang bermacam-macam. Atang Abdul Hakim mengelompokkan reaksi itu dalam empat golongan besar akibat globalisasi. Yaitu, tradisionalis, modernis, revivalis dan transformatif.
1.      Tradisionalis
Pemikir tradisionalis, meyakini bahwa perjalanan umat islam, baik adanya kemajuan dan kemunduran adalah ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu tentang semua itu, baik dari segi hikmah kemajuan atau kemunduran umat islam. Karena menurut mereka, mahluk tidak tau tentang gambaran besar mengenai sekenario Tuhan. Sedangkan kemajuan dan kemunduran umat islam dinilai sebagai ujian dari Tuhan atas keimanan umat islam.[2]

2.      Modernis
Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernsme lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran umat islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka melakukan sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.[3]
3.      Revivalisme
Revivalisme adalah gerakan untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh.[4] Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai kemunduran umat Islam dalam arus globalisasi adalah revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya, umat islam menggunalkan idiologi lain (yang masih kolot), bukan merujuk pada sumbernya langsung (Al-Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa disebut dengan istilah kaum fundamentalisme.[5] Seperti yang dikatakan Syafiq Hasim, bahwa contoh kelompok ini adalah wahabisme dari tokoh Mohammad Abduh dan Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok ini, islam harus menjawab tantangan di era modern, untuk menjawab moderenitas ini, konsep teologi yang harus dipakai adalah teologi liberal.[6] Artinya dengan cara kembali kepada Al-Quran, Al-Sunnah serta tidak terikat dengan metode lama. [7]
4.      Transformatif
Gerakan Transformatif merupakan alternatif atau jalan keluar dari tiga golongan diatas. Mereka beranggapan bahwa, keterbelakangan umat islam akan era globalisasi disebabkan oleh ketidak seimbangan sistim dan setruktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda mereka melakukan trensformasi (menata ulang) terhadap struktur. Artinya, semua elemen harus disama ratakan dalam hal pemerolehan fasilitas teknologi, agar keterbelakangan tidak muncul.[8]

B.                          Modernisme, Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Moderenisme dalam islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-demensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan westernisasi (budaya barat). Sebab westernisme ialah suatu total kehidupan dimana faktor paling menonjol adalah sekularisme.[9]
Puritanisme adalah paham kemurnian ajaran atau kepercayaan.[10] Menurut Syafiq Hasim, puritanisme sama dengan gerakan fundamentalisme. Yakni, memurnikan ajaran kepada sumber asalnya (Al-Quran dan Al-Sunnah).[11]
Fundamentalis adalah Faham kepanutan teguh pada pokok ajaran kepercayaan ; gerakan agama Kristen modern yang menekankan sekumpulan kepercayaan dan penafsiran harfiyah terhadap kitab suci. Radikalisme faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk macapai taraf kemajuaan.[12]
Menurut Rahimi Sabirin, Fundamentalisme adalah gerakan Radikalisme pemikiran.[13]
Fundamentalisme Islam adalah gerakan pemikiran yang menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab bagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian. Maka dari itu, memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (murni apa yang tertulis) merupakan alternatif yang mereka tonjolkan.
Menurut Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam secara garis besar dapat di bagi menjadi dua kelompok besar, pertama Fundamentalisme Islam yang merujuk pada wahabisme. Kedua Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model Syi’ah, gerakan ini mengalami perkembangannya pada tahun 1979 menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, sebagai simbol fundamentalisme dunia Islam.[14]
1.      Wahhabisme
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa munculnya Fundamentalisme Islam saat ini berakar dari istilah Salafi. Kaum Salafi adalah gerakan yang menyerukan dirinya kepada tradisi Salaf atau di kenal dengsn generasi 4 abad setelah nabi, dan setelah 4 abad itu disebut dengan istilah generasi kholaf. Kemudian slogan ini dipakai untuk pengikut Muhammad abduh yang juga santri seorang idiolog islam Muhammad Jamaluddin Al afgan. Dasar klaim gerakan ini adalah ingin mengembalikan ortodoksi syariat dengan memurnikan ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Namun, hal yang patut di garis bawahi, mereka tidak mau bila dikatakan sebagai kelompok yang mengikuti tokoh tertentu, termasuk Muhammad Abdul Wahab.
Menurut Abdul Hadi Abdurrohman, bahwa gerakan ini awal mulanya dipandegani oleh shohibul Madzhab Hambali, Ahmad Ibnu Hambal (164 -241 H.) kemudian deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad ke VII H. kemudian dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab pada abad XII H. di Jazirah Arab dan sampai sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di kenal dengan istilah wahhabisme. Akidah menurut mereka tidak bisa dijadikan pegangan kecuali dari teks, sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak pernah memakai logika untuk memahami ajaran, tidak seperi filosop dan ahli kalam.[15]
Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari kelompok ini, adalah cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan kelompok non islam, bahkan kelompok islam lain yang tidak sama dengan teologi yang mereka punya. Dalam konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model penafsiran yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-ayat yang memerintahkan peperangan.
2.      Syi’isme
Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model syi’ah, yakni mengembalikan ajaran kepada sumbernya namun dengan idiologi yang dicetuskan oleh syiah. Gerakan ini mengalami perkembangannya pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun 1979.[16]
Radikalisme adalah gerakan yang ditandai empat hal. Pertama, sikap tidak toleran atau tidak mau menghargai keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik atau menganggap dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap eksklusif atau membedakan diri dari kebiasaan umat islam mayoritas. Keempat, sikap revolusioner, yaitu kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai pencapaian tujuan. Umumnya, radikalisme muncul karena pemaham agama yang tertutup dan tekstual. Kelompok radikalisme selalu merasa kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan. Makanya mereka kerap sekali mengkafirkan atau menganggap sesat orang lain.
Menurut Rahimi Sabirin, radikalisme terbagi menjadi dau kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran (yang sering disebut dengan kelompok fundamentalis) dan radikalisme dalam tindakan (yang sering disebut dengan teroris).

C.                         Eksklusif dan inklusif dalam Islam
Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan pengadopsian bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk di dalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”.
Masalah inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. ~ Teologi Ekslusif ~ tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri”.[17] Seperti sudah menemukan kesimpulan, kita sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain, dengan memakai standar teologi agama kita sendiri. Pun pula sebaliknya, orang lain menilai bahkan menghakimi kita, dengan memakai standar teologi agamanya sendiri. Jelas ini suatu mission imposible untuk bisa saling bertemu, apalagi sekedar toleran. Hasilnya justru perbandingan terbaliknya. Masing-masing agama malah menyodorkan proposal “klaim kebenaran” dan “klaim keselamatan” yang hanya ada pada agamanya sendiri-sendiri, sementara pada agama lain dituduh salah, menyimpang, bahkan menyesatkan. Ide utama dari teologi inklusif adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (injil, Zabur, Taurat dan Qur‟an) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa.

وَللَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS, 4:131)
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap patuh kehadirat Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan bahwa :
“Pesan Tuhan itu bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi agama Arab, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen (Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama Itu,
karena hakikaat dasar agama-agama itu (sebagai pesan Tuhan) adalah satu dan sama. Agama Tuhan, pada esensinya sama, baik yang diberikan kepada Nabi Nuh, Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad. Kesamaan yang dimaksud Cak Nur, terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yakni paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Monoteisme, istilah inti ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Hal tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah yang menyatakan bahwa meskipun syari’atnya bermacam-macam. Maka kata Nabi Muhammad SAW, “Bahwa kami golongan para Nabi, agama kami adalah satu”. Yakni risalah tawhid yang berlandasan kepada kepasrahan kehadirat Tuhan. Bahkan, “kesadaran ketuhanan” (Taqwa) yang sifatnya monoteistik (Tauhid) merupakan implikasi langsung dari al-Islam itu sendiri. Al-Islam adalah al-din (tunduk patuh). “Sesungguhnya ikatan (al-din) disisi Allah adalah sikap pasrah (al-Islam) demikian firman Tuhan”. Sikap pasrah tersebut merupakan inti dasar teologi inklusif dari pandangan: kesatuan kemanusiaan  yang berangkat dari konsep ke-Maha Esa Tuhan. Dimana akhirnya sikap pasrah merupakan titik temu semua agama (ajaran) yang benar, sebagai upaya menuju Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditarik kesepahaman sementara bahwa bangunan epistimologi inklusifisme dalam Islam diawalai dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Dimana kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, yakni bersikap berserah diri kepada Tuhan (world view al-Qur‟an). Dimana secara esensialnya wacana inklusif dan ekslusif dalam Islam, terutama yang berkenaan dengan konsep taqwa, tawhid (monoteisme) dan al-Islam (sikap pasrah).[18]

D.                         Islamisasi dan Sains
Islam dan sains adalah konteks yang mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Agama menjadi bagian integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Sementara sains capaian besar yang dibawa oleeh peradaban modern.[19]
Agama dan sains mempunyai cara kerja yang khas, ada beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun dari keduanya sering dipertentangkan. Tantangan terhadap kepercayaan beragama bukan berasal dari pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena keduanya saling melengkapi. Artinya, agama akan semakin meyakinkan bila di topang dengan sains, dan sains pun muncul karena adanya pengalaman, dan salah satu wahana pengalaman adalah agama. Kemudian jika ada pertentangan antara agama dengan sains, maka muara perbedaan itu justru pada pandangan bahwa metode ilmiyah adalah sebagai penyebab atas kebenaran. Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal yang dimaksud oleh agama itu sendiri.[20]
E.                          Pluralisme Agama Agama
Pluralitas adalah sebagai "menerima perbedaan" atau menerima perbedaan yang banyak".
Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralism agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama. Lebih lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, yang isiny :
1.      Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
2.      Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3.      Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4.      Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.[21]
maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan. Bila dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan term pluralism agama-budaya, perbedaan didalam memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Memasuki abad 21 dimana orang mulai sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, ahirnya ada sekelompok orang muncul sebagai gerakan teologi pluralis (akidah terbuka). Kelompok yang dimotori oleh jaringan islam liberal (JIL) ini mengusung pemahaman yang ia peroleh dari Al-Qur’an sebagai aqidah terbuka, yakni menerima semua kepercayaan tanpa terkecuali atau menganggap semua agama adalah sama (benar). Dan kebenaran itu bersifat relative.
Awalnya golongan ini muncul hanya karena bosan akan racikan teologi lama yang mereka anggap sudah ketinggalan zaman dan malah membawa banyak kontroversi bahkan perpecahan di dalam tubuh umat islam sendiri. Oleh karenanya mereka saat ini telah meramu resep teologi sendiri yang berbeda dengan konsep yang sudah ada. Menurut mereka, masyarakat modern kini sudah saatnya untuk bersikap toleran dan terbuka menerima keyakina pihak manapun, walaupun berbeda agama.[22]
Dalam pandangan Islam, faham pluralime adalah sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain, adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah.[23]



























BAB  III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Ada tiga pola pemikiran Islam tersebut di atas (yaitu : Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme) masing-masing memiliki sisi kesamaan dan juga memeiliki kekurangan. Tradisionalisme, karena terlalu jauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung bertahan dengan produk pemikiran lampau, sangat selektif terhadap gagasan-gagasan baru. Ia tidak mempunyai keberanian mendobrak gagasan-gagasan ulama salaf sehingga nyaris mandul.
Sedangkan modernisme, karena terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi. Disamping itu, karena slogannya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga penentangannya pada tradisi, mempunyai penolakan atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelaktual. Sementara itu, fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya.
  1. Saran kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat umum, artinya belum menggolongkan kelompok tertentu untuk dimasukkan pada Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme, Pluralisme dan Radikalisme. Dan alangkah lebih lengkap lagi jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu yang ada di Indonesia. Untuk itu, harus ada kajian yang lebih spesifik dan kongkrit, biar kita bisa menghukumi mana golongan di sekitar kita yang masuk pada gerakan gerakan diatas.






DAFTAR  PUSTAKA

Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Al-Barri, M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya: Arkola, 2005

Hasim, Syafiq, Fundamentalisme Islam, Jakarta: Afkar, 2002

Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan dan keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008

Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme, Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007

Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam, Yogyakarta: Teras, 2010

Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005

Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari: www.badilag.net

Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme, diakses dari:

http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama



[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Hlm: 194.
[2] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi, … 194.
[3] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam ,…195.
[4] M. Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2005 ), Hlm: 678
[5] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam ,….195.
[6] Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
[7] Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam (Jakarta: Afkar, 2002), Hlm: 13
[8] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi ,…195.
[9] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesianan (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008), Hlm: 24
Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
[10] M. Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2005 ) Hlm: 554
[11] Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam (Jakarta: Afkar, 2002), Hlm: 13
[12] M. Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2005 ) Hlm: 554
[13] Rahimi Sabirin, Islam & Radikalisme (Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007 ), Hlm: 9
[14] Syafiq Hasim, Fundamentalisme ,… 13
[15] Ibid,.. 13
[16] Ibid,.. 13
[17] Rahimi Sabirin, Islam & Radikalisme (Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007 ), Hlm: 9
[18] Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari : www.badilag.net (Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)
[19] Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam (Yogyakarta: Teras, 2010), Hlm: 173
[20] Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam (Yogyakarta: Teras, 2010), Hlm: 173
[21] http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama/(Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)
[22] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan (lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005), Hlm:157
[23] Lihat: Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme ( http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama ) (Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)