Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Kamis, 03 Oktober 2013

Metodologi dan Unsur Unsurnya






BAB I
PENDAHULUAN

A.                     Latar Belakang

Metodologi merupakan hal yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri Ilmiah. Pada dasarnya pada setiap bidang ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin apapun, baik ilmu humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam masing-masing menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung pada jenis, sifat, dan bentuk objek material dan objek  formal yang tercangkup di dalamnya pendekatan (approach), sudut pandang (point of view), tujuan, dan ruang lingkup(scope) masing-masing disiplin.[1]

B.                     Rumusan Masalah
1.                  Apa pengertian tentang metodologi ?
2.                  Unsur-unsur apa yang terkandung didalam prinsip-prinsip merodologi ?
3.                  Bagaimana pandangan para tokoh filsuf terkait prinsip-prinsip metodologi ?

C.                     Tujuan Pembahasan
1.                  Untuk mengetahui arti, dan bisa membedakan antara metode dengan metodologi.
2.                  Untuk mengetahui unsur-unsurnya.
3.                  Untuk mengetahui pemikiran para filsuf terkait prinsip-prinsip metodologi.
                                                                                  



BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                              
A.                Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan sebagai Ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Metode berasal dari kata yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri berarti : penelitian, methode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode adalah cara bertindak menurut sistim aturan terrentu.[2]
Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu cara, jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis. Adapun metodologi disebut juga science of methods, yaitu ilmu yang membicarakan cara,  jalan atau petunjuk  praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoritis berbagai metode. Dapat dikatakan pula bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian.[3]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa  metode bisa dirumuskan suatu proses atau prosedur yang sitematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Adapun adapun metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Perbedaannya adalah  metodologi bersifat umum, kalau metode lebih bersifat khusus.[4]
B.                     Unsur-Unsur Metodologi
1.       Interprestasi
Artinya menafsirkan atau membuat tafsiran, tetapi yang tidak bersifat subjektif (menurut selera orang yang menafsirkan), tetapi harus bertumpu pada evidensi objektif, untuk mencapai kebenaran yang autentik.[5]  Penafsirkan dengan tidak secara subjektif bukan berarti kegiatan interprestasi ini dikerjakan sesuka karangan peneliti, akan tetapi tetap harus bertumpu pada kenyataan yang telah diamati. Kenyataan itu bisa berupa fakta. Dan fakta ini bisa berupa data (kenyataan-kenyataan yang sudah tercatat), atau gejala (sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya peristiwa atau kejadian). Namun dalam filsafat yang si peneliti berhadapan langsung dengan manusia hidup atau dalam bahasa lain lebih dekat dengan ilmu sosial dan human. Maka suatu fakta dapat dibedakan menjadi dua yang pertama secara fisik (kulit, badan, kepala, mata), dan secara ekspresi manusia (bahasa, tingkah laku, tarian). Hal itulah yang dimaksudkan harus bertumpu pada evidensi objektif, dan mencapai kebenaran otentik.[6]
2.       Induksi dan Deduksi
Induksi (dari khusus ke umum) pada dasarnya disebut generalisasi. Ilmu eksakta mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar itu menyusun suatu ucapan umum. Dalam penelitian ilmu sosial ilmu ini sering disebut dengan Humanistik atau Humaniora. Ucapan umum maksutnya adalah pemehaman yang sudah dirumuskan yang didapat dari hasil meneliti.
Deduksi (dari umum ke mkhusus), setelah pengertian secara umum telah didapati maka, dibuatlah eksplitasi dan penerapan lebih khusus. Dari pemahaman yang masih bersifat general tadi (transendental), mungkin dapat dibuat deduksi mengenai segi sifat-sifatnya yang lebih khusus.[7]
3.       Koherensi Intern
Yaitu  usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukkan semua unsur struktural dilihat dari dalam suatu struktur yang konsisten, sehingga benar-benar merupakan internal structure atau internal relation.[8] Misalnya mengenai hakikat manusia baru muncul pemahaman, kalau dilihat hubungan antara kebebasan, pemahaman, nafsu, dan pengaruh lingkungan khususnya orang lain.[9]
4.       Holistika
Tinjauan secara lebih mendalam untuk mencapai kebenaran secara utuh.hoistika juga merupakan corak yang khas atau suatu kelebihan dalam konsepsi filosofis. Identitas objek akan terlihat bila ada korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. Misalnya, pada penulis naskah berita, atau pelaku sejarah hidup dalam interaksi dengan zamannya dan latar belakagnya. Ia selalu melakukan melakukan hubungan aksi-reaksi sesuai dengan tematik zamannya.[10]  
5.       Kesinambungan Historis
Jika ditinjau menurut perkembangannya, manusia adalah mahluk historis. Artinya mereka berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersama bersama sesuai dengan zamannya. Dalam relasi dengan dunia mereka berhak membentuk nasib atau nasilah ang membentuk mereka. Rangkaian kegiatan atau peristiwa dalam kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang saling berkesianambungan untuk menbentuk diri manusia, dan itu merupakan mata rantai yang tidak akan terputus. Dengan itulah harkat manusia yang unik dapat diselami.[11]
6.       Idealisasi
Yaitu merupakan suatu proses untul membuat ideal, artinya upaya dalam penelitian untuk memperoleh hasil yang ideal tau yang sempurna.
7.       Komparasi
Adalah suatu usaha membandingkan sifat hakiki dalam objek penelitian untuk menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek bisa dipahami secara murni.
8.       Heuristika
Adalah metode untuk menentukan jalan baru secara ilmiah untuk memecahkan suatu masalah.
9.       Analogokal
Adalah filsafat yang meneliti arti, nilai, dan maksud yang diekpresikan dalam fakta dan data human.
10.   Deskripsi
Merupakan keseluruhan dari hasil data yang memungkinkan dapat diambil dan dapat dipahami secara mantab.
C.                     Beberapa pandangan tentang Prinsip Metodologi
Manakala berbicara mengenai prinsip- prinsip metodologi, maka hal tersebut tidak akan terlepas dari asumsi-asumsi yang melatar belakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktifitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang akan dikembangkan para ilmuan di dalam kegiatan ilmiah mereka. Pada bagian inilah ada beberapa filsuf  yang paling banyak menaruh perhatian penting tentang persoalan metodologis atau prinsip-prinsip metodologi, mereka diantaranya adalah.[12]
1.      Rene Descartes
Rene Descater merupakan salah satu tokoh pelopor rasionalisme yang lahir pada tahun 1596 di Prancis, dan dia meninggal pada tahun 1650 di Swedia. Salah satu karya Rene Descartes yang termashur, yang terkenal dengan sebutan “Discourse on method pada tahun 1637.[13] Karyanya ini berisi risalah tentang metode, diajukan enam bagian penting diantaranya.
a.         Akal sehat (common sense) adalah hal terpenting dan mendasar dalam penerapan pada aktivitas ilmiah. Menurutnya satu hal yang di perlukan dalam menuntut ilmu ialah melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, dan mengerahkan diri untuk belajar dari “buku alam raya” dan mempelajari dirinya.
b.        Menurut Descartes sesuatu yang dikerjakan satu orang akan lebih sempurna dibandingkan dikerjakan oleh sekelompok orang secara patungan. Metode ini didukung empat aturan, diantaranya :
Pertama, jangan menerima atau menganggap suatu apapun sebagai kebenaran jika tidak mempunyai pengetahuan yang jelas tentang kebenarannya.
Kedua, pecahkanlah setiap kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian, dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaian secara baik.
Ketiga, arahkan pikiran anda secara tertib, mulai dariyang sederhana atau mudah diketahui, lalu meningkat dikit demi sedikit, sampai menuju pengetahuan yang komplek.
Keempat, lakukanlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin, dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti dan agar tidak ada yang ketinggalan.[14]
c.         Menyebutkan beberapa kaidah moral sebagai landasan bagi penerapan metode, sebagai berikut,
1)        Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang pada  ajaran agama yang diajarkan sejak kecil.
2)        Bertindak tegas dan mantap, walaupun pada pendapat yang meragukan.
3)        Berusaha lebih untuk mengubah diri dari pada merombak tatanan dunia.
d.        Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh.
e.         Menegaskan dualisme dalam diri manusia.
f.         Pengetahuan di bagi menjadi dua, yaitu pengetahuan spekulatif dan pengetahuan praktis.[15]
2.      Alfred Jules Ayer
Alfred Jules Ayer (1910) dia alah seorang tokoh positifme logik. Ia mulai belajar filsafat dan filologi klasic di Universitas Oxford mulai dari 1932 sampai 1935. Ia pernah menetap di Wina, dan disanalah ia berkenalan dengan tokoh lingkungan Wina (Der Wiener Kreis) seperti, Moritz Schick dan Rudolf Carnapp. Dan kedua tokoh tersebut sangat mempengaruhi corak pemikirannya.[16] Ajaran terpenting Ayer yang terkait dengan metodologis termuat pada bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic. Ajaran tentang masalah metodologis itu disebutnya dengan Verifikasi. Pada mulanya prinsip Verifikasi ini mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern, atau kritik nterhadap metode Fisika Klasic Isaac Newton. Teori Verifikasi ini dibuktokan oleh Eistein untuk membantah bahwa konsep “Ruang dan waktu yang absolut” dari Fisika Klasic yang diajukan oleh Newton itu memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah bahwa kosep tersebut hanya bermakna ketika seseorang dapat merinci suatu pelaksanaan terhadap percobaan yang dapat ditasdikan (dapat diukur). Kritik yang di lancarkan Eistein terhadap konsep Newton mengenai “Ruang dan Wakatu yang  bersifat absolut” itu telah mengilhami tokoh-tokoh positivisme logik. Seperti, Moritz Schlick, dan Rudolf Carnap yang pada dasarnya mempunyai latar belakang sains yang sangat kuat. Kemudian mereka menerapkan prinsip Verivikasi ke dalam teknik analisis bahasa. Cara yang seperti itu membawa perubahan yang sangat besar terhadap tolok ukur untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan. Sebab bagi positivisme logik sesuatu yang tidak dapat di ukur atau ditasdikan itu tidak mempunyai makna. Dengan demikian maka, makna sebuah proporsi tergantung pada verifikasi yang kita lakukan terhadap proporsi yang bersangkutan.[17]
        Tokoh positivisme logik secara umum menerima prinsip verifikasi itu sebagai tolok ukur untuk menentukan konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri. Moritz Schlick misalnya mengartikan verifikasi ini sebagai pengamatan empirik secara langsung bahwa hanya proporsi yang mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang diamati (ini dinamakan kalimat protokol) itulah yang benar-benar mengandung makna. Baginya,  jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat dalam kalimat protokol dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu. Akan tetapi tafsiran Schilck mengenai prinsip verifikasi ini menimbulkan perdebatan diantara kaum positivisme logik itu sendiri. Terutama penganut positivisme logik yang muncul kemudian. Sebab dengan meletakkan prinsip verifikasi hanya pada peristiwa yang dapat  dialami secara langsung, berarti Schick telah menafikan bidang sejarah sebagai produk bagi masa yang akan datang.[18]
Ayer, adalah salah seorang penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian, atau dapat dikatakan sebagai generasi penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula kelemahan yang terkandung dalam prinsif pentasdikan yang diajukan Schilck itu.oleh karena itu Ayer memperluas prinsif  verifikasi dalam pengertian berikut : ”Prinsip Verifikasi itu merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut dapat  ditentukan apakah suatu kalimat mengandung makna atau tidak”. Melalui prinsip verifikasi ini tidak hanya kalimat yang teruji secara empirik saja yang dapat dianggap bermakna. Tetapi juga kalimat yang dapat dianalis. Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan berikut : “suatu cara yang sederhana untuk merumuskam hal itu adalah dengan mengatan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proporsi yang diungkapkan itu dapat dianalisis atau diverifikasi secara empirik”. Penafsiran yang diajukan Anyer terhadap prinsip Verifikasi berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh Positivisme Logik sebelumnya, yang dapat menerima proporsi yang diverivikasi secara empirik. Hal mana terlihat jelas dalam pandangan Moritz Schilck, yang mengaitkan prinsip Verifikasi dengan kalimat protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau salahnya melalui pengamatan empirik secara langsung.[19]
Menurut pandangan Ayer, prinsip Verifikasi yang diajukan Schilck itu merupakan Verifiable dalam arti yang ketat (Ayer menambahkan pengertian Verifiable pada pengertian longgar atau lunak). Ayer menjelaskan bahwa Verifiable dalam arti ketat (strong Verifiable) yaitu, sejauh kebenaran suatu proporsi itu di dukung pengalaman yang meyakinkan. Sedangkan Verifiable dalam arti lunak, yaitu jiaka suatu proporsi kitu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan.[20]
 Dengan kedua Varifiable tersebut terutama Varifiable dalam Arti yang lunak, Anyer telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan prediksi ilmiah sebagai pernyataan yang mengandung makna. Namun Ayer menampik kehadiran metafisika dalam dunia ilmiah, karena pernyataan-pernyataan metafisika merupakan pernyataan yang meaningless (tidak bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apapun.
3.      Karl Raimund Popper
Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran (justificatian) terhadap teori yang telah ada. Popper mengajukan prinsip falsifikasi, sebagai berikut.[21]
a.                Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip Verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan teori oleh yang lebih tepat.[22]
b.               Cara kerja induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yng dirumuskan menjadi hipotesis. Selanjutnya hipotesis itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesis yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja diatas terutama pada asas Verifikasi, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti pengamatan empiris.[23]
c.                Popper menawarkan pemecahan baru dengan prinsip falsifiabilitas, yaitu sebuah pernyataan bisa dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesis, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh sebelum ditemukan kesalahan kesalahan yang ada didalamnya. Jika ada pernyataan “semua angsa itu berbulu putih ”, melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih, maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesis telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesis baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya ada salah satu unsur hipotesis yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesis telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesis dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesis tersebut semakain diperkokoh.[24]



BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan

Prinsip-pronsip metodologi yang dimaksudkan disini bukanlah sebagai langkah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode. Metodologis sangat terkait erat dengan epistemologi (teori pengetahuan), karena asumsi-asumsi-asumsi yang diajukan para filsuf memasuki wilayah a priori, dugaan mendahului pengaaman. Disini kita melihat tiga filsuf, yakni Descartes, Ayer, dan, Popper memiliki kekhasan tersendiri dalam mengajukan pronsip metodologis. Descartes lebih ke titik tolak pada prinsip keraguan metodis (skeptis-metodis), Ayer memilih prinsip verifikasi sebagai sarana untuk menguji bermakna atau tidaknya suatu pernyataan, sedangkan Popper memandang prinsip falsifiabilitas justeru dapat memperkokoh (corroboration) sebuah hipotesa.

B.                Saran Kajian

Kajian ilmiah ini masih sangat umum dan sederhana, artinya belum memasukkan detailnya perincian dari cabangan iman dalam berbagai aspek keilmuan seperti dalam bidang ubudiyah murni, tauhid dan lain sebagainya. Oleh karena itu, alangkah lebih sempurna bila dibahas pula hal-hal yang menyangkut penafsiran serta pola pikir para pakar dalam memahami hadist-hadist tentang iman, sebagai pengejawantahan mukmin yang kamil.   



DAFTAR PUSTAKA

Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. 2002. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogjakarta: Kanisius.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir.  2010. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rizal Mustansir. 2007. Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.








[1] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 90.
[2]Ibid.,
[3]Ibid.,hlm. 90.
[4]Ibid., hlm. 91.                                          
[5]Ibid., hlm. 91
[6] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogjakarta: Kanisius, 2002), hlm. 41.
[7] Ibid., hlm. 44.
[8] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia,.. hlm. 92.
[9]Op Cit., hlm. 46.
[10]Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,...hlm. 46.
[11]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia,.. hlm. 92.
[12]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir,  Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 107.
[13]Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 314.
[14]Ibid., hlm. 110.  
[15]Ibid., hlm. 111
[16] Rizal Mustansir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 81.
[17]Rizal Mustansir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya,...hlm. 80.
[18]Ibid.,hlm. 81.
[19]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,... hlm. 115.
[20]Ibid.,hlm. 116
[21]Surajiyo, Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia,...hlm. 96.
[22]Ibid.,hlm. 96.
[23]Ibid.,hlm. 96.
[24]Ibid.,hlm. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar