BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Metodologi merupakan hal yang mengkaji perihal urutan
langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi
ciri-ciri Ilmiah. Pada dasarnya pada
setiap bidang ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin apapun, baik ilmu
humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam masing-masing menggunakan metode yang
sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung pada jenis, sifat, dan bentuk
objek material dan objek formal yang
tercangkup di dalamnya pendekatan (approach), sudut pandang (point of
view), tujuan, dan ruang lingkup(scope) masing-masing disiplin.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
tentang metodologi ?
2.
Unsur-unsur apa
yang terkandung didalam prinsip-prinsip merodologi ?
3.
Bagaimana pandangan
para tokoh filsuf terkait prinsip-prinsip metodologi ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui
arti, dan bisa membedakan antara metode dengan metodologi.
2.
Untuk mengetahui
unsur-unsurnya.
3.
Untuk mengetahui pemikiran
para filsuf terkait prinsip-prinsip metodologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metodologi
Metodologi
berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan
sebagai Ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Metode berasal dari kata
yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui,
mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah)
kata methodos sendiri berarti : penelitian, methode ilmiah, hipotesis ilmiah,
uraian ilmiah. Metode adalah cara bertindak menurut sistim aturan terrentu.[2]
Pengertian
metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu cara, jalan, petunjuk
pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis. Adapun
metodologi disebut juga science of methods, yaitu ilmu yang membicarakan
cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi
penelitian membahas konsep teoritis berbagai metode. Dapat
dikatakan pula bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar
filsafat ilmu dari metode penelitian.[3]
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa metode bisa dirumuskan
suatu proses atau prosedur yang
sitematik berdasarkan prinsip dan teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin
(bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Adapun adapun metodologi adalah
pengkajian mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus dipakai dalam
kegiatan ilmu pengetahuan. Perbedaannya adalah
metodologi bersifat umum, kalau metode lebih bersifat khusus.[4]
B.
Unsur-Unsur Metodologi
1.
Interprestasi
Artinya
menafsirkan atau membuat tafsiran, tetapi yang tidak bersifat subjektif
(menurut selera orang yang menafsirkan), tetapi harus bertumpu pada evidensi
objektif, untuk mencapai kebenaran yang autentik.[5] Penafsirkan dengan tidak secara subjektif
bukan berarti kegiatan interprestasi ini dikerjakan sesuka karangan peneliti,
akan tetapi tetap harus bertumpu pada kenyataan yang telah diamati. Kenyataan
itu bisa berupa fakta. Dan fakta ini bisa berupa data (kenyataan-kenyataan yang
sudah tercatat), atau gejala (sesuatu yang nampak sebagai tanda adanya
peristiwa atau kejadian). Namun dalam filsafat yang si peneliti berhadapan
langsung dengan manusia hidup atau dalam bahasa lain lebih dekat dengan ilmu
sosial dan human. Maka suatu fakta dapat dibedakan menjadi dua yang pertama
secara fisik (kulit, badan, kepala, mata), dan secara ekspresi manusia (bahasa,
tingkah laku, tarian). Hal itulah yang dimaksudkan harus bertumpu pada evidensi
objektif, dan mencapai kebenaran otentik.[6]
2.
Induksi dan Deduksi
Induksi (dari khusus ke umum) pada dasarnya disebut generalisasi. Ilmu
eksakta mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar itu
menyusun suatu ucapan umum. Dalam penelitian ilmu sosial ilmu ini sering
disebut dengan Humanistik atau Humaniora. Ucapan umum maksutnya adalah
pemehaman yang sudah dirumuskan yang didapat dari hasil meneliti.
Deduksi (dari umum ke mkhusus), setelah pengertian secara umum telah
didapati maka, dibuatlah eksplitasi dan penerapan lebih khusus. Dari pemahaman
yang masih bersifat general tadi (transendental), mungkin dapat dibuat deduksi
mengenai segi sifat-sifatnya yang lebih khusus.[7]
3.
Koherensi Intern
Yaitu usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh
hakikat dengan menunjukkan semua unsur
struktural dilihat dari dalam suatu struktur yang konsisten, sehingga
benar-benar merupakan internal structure atau internal
relation.[8] Misalnya mengenai hakikat manusia baru muncul
pemahaman, kalau dilihat hubungan antara kebebasan, pemahaman, nafsu, dan
pengaruh lingkungan khususnya orang lain.[9]
4.
Holistika
Tinjauan secara
lebih mendalam untuk mencapai kebenaran secara utuh.hoistika juga merupakan corak yang khas atau
suatu kelebihan dalam konsepsi filosofis. Identitas objek akan terlihat bila
ada korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. Misalnya, pada penulis naskah
berita, atau pelaku sejarah hidup dalam interaksi dengan zamannya dan latar
belakagnya. Ia selalu melakukan melakukan hubungan aksi-reaksi sesuai dengan
tematik zamannya.[10]
5.
Kesinambungan Historis
Jika ditinjau menurut perkembangannya, manusia adalah mahluk historis.
Artinya mereka berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersama bersama sesuai
dengan zamannya. Dalam relasi dengan dunia mereka berhak membentuk nasib atau
nasilah ang membentuk mereka. Rangkaian kegiatan atau peristiwa dalam kehidupan
manusia merupakan sebuah proses yang saling berkesianambungan untuk menbentuk
diri manusia, dan itu merupakan mata rantai yang tidak akan terputus. Dengan
itulah harkat manusia yang unik dapat diselami.[11]
6.
Idealisasi
Yaitu merupakan
suatu proses untul membuat ideal, artinya upaya dalam penelitian untuk
memperoleh hasil yang ideal tau yang sempurna.
7.
Komparasi
Adalah suatu
usaha membandingkan sifat hakiki dalam objek penelitian untuk menentukan secara
tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek bisa dipahami
secara murni.
8.
Heuristika
Adalah metode untuk
menentukan jalan baru secara ilmiah untuk memecahkan suatu masalah.
9.
Analogokal
Adalah filsafat
yang meneliti
arti, nilai, dan maksud yang diekpresikan dalam fakta dan data human.
10.
Deskripsi
Merupakan
keseluruhan dari hasil data yang memungkinkan dapat diambil dan dapat dipahami
secara mantab.
C.
Beberapa pandangan
tentang Prinsip Metodologi
Manakala
berbicara mengenai prinsip- prinsip metodologi, maka hal tersebut tidak akan
terlepas dari asumsi-asumsi yang melatar belakangi berbagai metode yang
dipergunakan dalam aktifitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah
pendirian atau sikap yang akan dikembangkan para ilmuan di dalam kegiatan
ilmiah mereka. Pada bagian inilah ada beberapa filsuf yang paling banyak menaruh perhatian penting
tentang persoalan metodologis atau prinsip-prinsip metodologi, mereka
diantaranya adalah.[12]
1.
Rene Descartes
Rene Descater merupakan salah satu tokoh pelopor rasionalisme yang lahir
pada tahun 1596 di Prancis, dan dia meninggal pada tahun 1650 di Swedia. Salah
satu karya Rene Descartes yang termashur,
yang terkenal dengan sebutan “Discourse on method” pada tahun 1637.[13] Karyanya ini berisi risalah tentang metode, diajukan enam bagian penting diantaranya.
a.
Akal
sehat (common sense) adalah hal terpenting dan mendasar dalam penerapan
pada aktivitas ilmiah. Menurutnya satu hal yang di perlukan dalam menuntut ilmu
ialah melepaskan diri dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, dan
mengerahkan diri untuk belajar dari “buku alam raya” dan mempelajari dirinya.
b.
Menurut
Descartes sesuatu yang dikerjakan satu orang akan lebih sempurna dibandingkan
dikerjakan oleh sekelompok orang secara patungan. Metode ini didukung empat
aturan, diantaranya :
Pertama, jangan menerima atau menganggap suatu apapun sebagai kebenaran jika
tidak mempunyai pengetahuan yang jelas tentang kebenarannya.
Kedua,
pecahkanlah setiap
kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian, dan sebanyak yang dapat
dilakukan untuk mempermudah penyelesaian secara baik.
Ketiga, arahkan pikiran anda secara tertib, mulai dariyang sederhana atau
mudah diketahui, lalu meningkat dikit demi sedikit, sampai menuju pengetahuan
yang komplek.
Keempat, lakukanlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin,
dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti dan agar
tidak ada yang ketinggalan.[14]
c.
Menyebutkan
beberapa kaidah moral sebagai landasan bagi penerapan metode, sebagai berikut,
1)
Mematuhi
undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang pada ajaran agama yang diajarkan sejak kecil.
2)
Bertindak
tegas dan mantap, walaupun pada pendapat yang meragukan.
3)
Berusaha
lebih untuk mengubah diri dari pada merombak tatanan dunia.
d.
Menegaskan
pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh.
e.
Menegaskan
dualisme dalam diri manusia.
2.
Alfred Jules Ayer
Alfred Jules Ayer (1910) dia alah seorang tokoh positifme logik. Ia mulai
belajar filsafat dan filologi klasic di Universitas Oxford mulai dari 1932
sampai 1935. Ia pernah menetap di Wina, dan disanalah ia berkenalan dengan
tokoh lingkungan Wina (Der Wiener Kreis) seperti, Moritz Schick dan
Rudolf Carnapp. Dan kedua tokoh tersebut sangat mempengaruhi corak pemikirannya.[16] Ajaran
terpenting Ayer yang terkait dengan metodologis termuat pada bukunya yang
berjudul Language, Truth and Logic. Ajaran tentang masalah metodologis
itu disebutnya dengan Verifikasi. Pada mulanya prinsip Verifikasi ini mengacu
pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern, atau kritik
nterhadap metode Fisika Klasic Isaac Newton. Teori Verifikasi ini dibuktokan
oleh Eistein untuk membantah bahwa konsep “Ruang dan waktu yang absolut” dari
Fisika Klasic yang diajukan oleh Newton itu memiliki kelemahan. Kelemahannya
adalah bahwa kosep tersebut hanya bermakna ketika seseorang dapat merinci suatu
pelaksanaan terhadap percobaan yang dapat ditasdikan (dapat diukur). Kritik
yang di lancarkan Eistein terhadap konsep Newton mengenai “Ruang dan Wakatu
yang bersifat absolut” itu telah
mengilhami tokoh-tokoh positivisme logik. Seperti, Moritz Schlick, dan Rudolf
Carnap yang pada dasarnya mempunyai latar belakang sains yang sangat kuat.
Kemudian mereka menerapkan prinsip Verivikasi ke dalam teknik analisis bahasa.
Cara yang seperti itu membawa perubahan yang sangat besar terhadap tolok ukur
untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan. Sebab bagi
positivisme logik sesuatu yang tidak dapat di ukur atau ditasdikan itu tidak
mempunyai makna. Dengan demikian maka, makna sebuah proporsi tergantung pada
verifikasi yang kita lakukan terhadap proporsi yang bersangkutan.[17]
Tokoh positivisme logik secara umum
menerima prinsip verifikasi itu sebagai tolok ukur untuk menentukan konsep
tentang makna, namun mereka membuat rincian yang berbeda mengenai prinsip verifikasi
itu sendiri. Moritz Schlick misalnya mengartikan verifikasi
ini sebagai pengamatan empirik secara langsung bahwa hanya proporsi yang
mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang diamati (ini
dinamakan kalimat protokol) itulah yang benar-benar mengandung makna.
Baginya, jelas bahwa salah satu cara
pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa semacam itu
terlihat dalam kalimat protokol dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu.
Akan tetapi tafsiran Schilck mengenai prinsip verifikasi ini menimbulkan
perdebatan diantara kaum positivisme logik itu sendiri. Terutama penganut
positivisme logik yang muncul kemudian. Sebab dengan meletakkan prinsip
verifikasi hanya pada peristiwa yang dapat
dialami secara langsung, berarti Schick telah menafikan bidang sejarah
sebagai produk bagi masa yang akan datang.[18]
Ayer, adalah
salah seorang penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian, atau dapat
dikatakan sebagai generasi penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula
kelemahan yang terkandung dalam prinsif pentasdikan yang diajukan Schilck
itu.oleh karena itu Ayer memperluas prinsif
verifikasi dalam pengertian berikut : ”Prinsip Verifikasi itu merupakan
pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut
dapat ditentukan apakah suatu kalimat
mengandung makna atau tidak”. Melalui prinsip verifikasi ini tidak hanya
kalimat yang teruji secara empirik saja yang dapat dianggap bermakna. Tetapi
juga kalimat yang dapat dianalis. Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan
berikut : “suatu cara yang sederhana untuk merumuskam hal itu adalah dengan
mengatan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proporsi
yang diungkapkan itu dapat dianalisis atau diverifikasi secara empirik”.
Penafsiran yang diajukan Anyer terhadap prinsip Verifikasi berhasil mengatasi
kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh Positivisme Logik sebelumnya,
yang dapat menerima proporsi yang diverivikasi secara empirik. Hal mana
terlihat jelas dalam pandangan Moritz Schilck, yang mengaitkan prinsip
Verifikasi dengan kalimat protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar
atau salahnya melalui pengamatan empirik secara langsung.[19]
Menurut
pandangan Ayer, prinsip Verifikasi yang diajukan Schilck itu merupakan
Verifiable dalam arti yang ketat (Ayer menambahkan pengertian Verifiable pada
pengertian longgar atau lunak). Ayer menjelaskan bahwa Verifiable dalam arti
ketat (strong Verifiable) yaitu, sejauh kebenaran suatu proporsi itu di dukung
pengalaman yang meyakinkan. Sedangkan Verifiable dalam arti lunak, yaitu jiaka
suatu proporsi kitu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang
memungkinkan.[20]
Dengan kedua Varifiable tersebut terutama
Varifiable dalam Arti yang lunak, Anyer telah membuka kemungkinan untuk menerima
pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan prediksi ilmiah sebagai
pernyataan yang mengandung makna. Namun Ayer menampik kehadiran metafisika
dalam dunia ilmiah, karena pernyataan-pernyataan metafisika merupakan
pernyataan yang meaningless (tidak bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan
verifikasi apapun.
3.
Karl Raimund Popper
Popper seorang
filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat
pembenaran (justificatian) terhadap teori yang telah ada. Popper mengajukan prinsip
falsifikasi, sebagai berikut.[21]
a.
Popper
menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan
kebenarannya melalui prinsip Verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum
positivistik. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan teori oleh yang
lebih tepat.[22]
b.
Cara
kerja induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara
teliti gejala yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan
memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yng dirumuskan menjadi hipotesis.
Selanjutnya hipotesis itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris
yang dapat mendukungnya. Hipotesis yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan
berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja diatas terutama pada asas
Verifikasi, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan
bukti-bukti pengamatan empiris.[23]
c.
Popper
menawarkan pemecahan baru dengan prinsip falsifiabilitas, yaitu sebuah
pernyataan bisa dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesis, hukum,
ataukah teori kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh sebelum ditemukan
kesalahan kesalahan yang ada didalamnya. Jika ada pernyataan “semua angsa itu
berbulu putih ”, melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor
angsa yang berbulu selain putih, maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper,
ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesis telah
dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesis baru. Namun ada
kemungkinan lain, yaitu hanya ada salah satu unsur hipotesis yang dibuktikan
salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga hipotesis telah
disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesis dapat bertahan melawan
segala usaha penyangkalan, maka hipotesis tersebut semakain diperkokoh.[24]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Prinsip-pronsip
metodologi yang dimaksudkan disini bukanlah sebagai langkah-langkah metodis,
melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.
Metodologis sangat terkait erat dengan epistemologi (teori pengetahuan), karena
asumsi-asumsi-asumsi yang diajukan para filsuf memasuki wilayah a priori,
dugaan mendahului pengaaman. Disini kita melihat tiga filsuf, yakni Descartes,
Ayer, dan, Popper memiliki kekhasan tersendiri dalam mengajukan pronsip
metodologis. Descartes lebih ke titik tolak pada prinsip keraguan metodis
(skeptis-metodis), Ayer memilih prinsip verifikasi sebagai sarana untuk menguji
bermakna atau tidaknya suatu pernyataan, sedangkan Popper memandang prinsip
falsifiabilitas justeru dapat memperkokoh (corroboration) sebuah hipotesa.
B.
Saran Kajian
Kajian ilmiah
ini masih sangat umum dan sederhana, artinya belum memasukkan detailnya
perincian dari cabangan iman dalam berbagai aspek keilmuan seperti dalam bidang
ubudiyah murni, tauhid dan lain sebagainya. Oleh karena itu, alangkah lebih
sempurna bila dibahas pula hal-hal yang menyangkut penafsiran serta pola pikir
para pakar dalam memahami hadist-hadist tentang iman, sebagai pengejawantahan
mukmin yang kamil.
DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo. 2008.
Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Anton Bakker
dan Achmad Charris Zubair. 2002. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogjakarta:
Kanisius.
Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir. 2010. Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarsono. 2001.
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rizal
Mustansir. 2007. Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.
90.
[6] Anton Bakker
dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogjakarta: Kanisius,
2002), hlm. 41.
[9]Op Cit., hlm. 46.
[10]Anton Bakker
dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,...hlm. 46.
[11]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan perkembangannya di Indonesia,.. hlm. 92.
[12]Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 107.
[13]Sudarsono, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 314.
[16] Rizal
Mustansir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 81.
[17]Rizal
Mustansir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya,...hlm. 80.
[19]Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,... hlm. 115.
[21]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan perkembangannya di Indonesia,...hlm. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar