Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Kamis, 03 Oktober 2013

Counter Legal Drafting UU Perkawinan menurut Fiqih


BAB  I
PEMBAHASAN MASALAH
A.            Counter Legal Drafting UU Perkawinan
Seiring berjalannya waktu, adanya undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan, ahirnya menjadikan undang-undang yang telah jadi semakin kritis untuk diangkat kembali kepermukaan.
Secara harfiah Counter Legal Dafting dapat diterjemahkan secara bebas, yakni penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Counter Legal Dafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh, pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan, hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti, perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak.[1]
Dalam makalah tugas ini Counter Legal Dafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-undangan. Bahkan lebih kami hususkan pada hukum perundang undangan perkawinan undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Counter Legal Dafting atau CLD merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.[2]
Dapat disimpulkan kegiatan Counter Legal Dafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-perundangan. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan   perencanaan, penyusunan,  pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Adanya Counter Legal Dafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum. Negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”.[3]
Kemudian Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang telah ditetapkan oleh presiden, berarti sudah final, kemudian disosialisasikan dan harus terapkan guna dilaksanakan. Akan tetapi, entah bagaimana proseses penyusunan Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut, masih menyisakan perselisihan.
Nikah dalam Islam bukanlah sekedar untuk singgahan hasrat seksual, tetapi merupakan peristiwa sakral yang mempertemukan dua kategoris berbeda dalam satu bahtera tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk bersama membina dan mengarungi mahligai cinta menyambung estafet kehidupan. Nikah merupakan ibadah yang dianjurkan agama demi menjalin kebahagiaan bersama dalam kehidupan bahkan sampai hidup lagi. Sedemikian sakralnya makna pernikahan, maka khithbah merupakan konsep urgen untuk menjembatani kemungkinan kekecewaan kedua belah pihak sebelum ikrar nikah. Lantaran proporsi fundamental khithbah hanya sebagai tahap saling mengenali, maka legalitas kedekatan hubungan dalam konsep ini hanya sebatas memandang wajah dan telapak tangan, karena rahasia-rahasia fisik dan kepribadian seseorang sudah bisa dimonitor dan disensor melalui aura wajah dan telapak tangan.[4]
Kemudian bagaimanakah sebuah konsep syariah diterapkan kepada sebuah undang-undang seperti Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974.


B.            Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
1.      Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB I DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.  Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.              istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.             istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.              istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.              adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.             adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.              adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.              berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b.             berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.              berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d.             d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e.              berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
 (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
BAB IV BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a.              Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b.             Suami atau isteri.
c.              Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d.             Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a.              anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.             suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c.              Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a.              Kematian,
b.             Perceraian dan
c.              atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a.              Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b.             Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c.              Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a.              Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b.             Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB XI PERWAKILAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
 (4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama Pembuktian Asal-usul Anak
Pasal 55
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian Kedua Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
 (4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a.              Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b.             Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal 65
(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a.              Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b.             Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c.              Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I
SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1.[5]



BAB  II
PEMBAHASAN DALIL (CLD) UU PERNIKAHAN
A.           Ayat-Ayat Al-Qur'an Tetang Pernikahan
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً [النساء : 3]
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) [النساء : 22]
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
وقوله تعالى : { وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ … } النور : 32
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230) [البقرة : 230]
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
قال تعالى : { وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ } ( الروم : 21 )
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
قال تعالى : { هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ } ( البقرة : 117 )
Artinya: Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221) [البقرة : 221]
Artinya: dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (232) [البقرة : 232]
Artinya: apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (25) [النساء : 25]
Artinya: dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (3) [النور : 3]
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin..
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا (127) [النساء : 127]
Artinya: dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz  atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya  dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (32) [النور : 32]
Artinya: dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian  diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (27) [القصص : 27]
Artinya: berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (49) [الأحزاب : 49]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (50) [الأحزاب : 50]
Artinya: Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا (53) [الأحزاب : 53]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya) tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (10) [الممتحنة : 10]
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33) [النور : 33]
Artinya: dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka. jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu  dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.



B.            Hadist Tetang Pernikahan
صحيح مسلم ـ مشكول وموافق للمطبوع - (4 / 128)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ الْهَمْدَانِىُّ جَمِيعًا عَنْ أَبِى مُعَاوِيَةَ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ - عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ أَمْشِى مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بِمِنًى فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ فَقَامَ مَعَهُ يُحَدِّثُهُ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَلاَ نُزَوِّجُكَ جَارِيَةً شَابَّةً لَعَلَّهَا تُذَكِّرُكَ بَعْضَ مَا مَضَى مِنْ زَمَانِكَ. قَالَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَئِنْ قُلْتَ ذَاكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ " (4) .
Artinya: “Wahai para pemuda!! Barang siapa di antara kalian mampu atas ongkos nikah, maka nikahlah.”
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 175)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا مُسْتَلِمُ بْنُ سَعِيدِ ابْنُ أُخْتِ مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ عَنْ مَنْصُورٍ - يَعْنِى ابْنَ زَاذَانَ - عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ وَإِنَّهَا لاَ تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا قَالَ « لاَ ». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ « تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ ».
Artinya: “Saling menikahlah, saling mencari keiurunanlah, maka sesungguhnya aku memperbanyak ummat melalui kalian”
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ  رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban bagi kamu memberi makan dan pakaian kepada isteri dengan cara yang baik.”
صحيح مسلم ـ مشكول وموافق للمطبوع - (4 / 129)
وَحَدَّثَنِى أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِىُّ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّى أُصَلِّى وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى ».
Ada sebagian shabat berkata bahwa saya tidak menikah dan tidak makan daging kemudiana ada sebagian syahabat lagi mengatakan bahwa saya tidak tidur diatas tikar kemudia nabi menjawab atas ucapan para syahabat tadi, bahwa banyak sekali kaum yang salah yakni yang mengatakan saya tidak melakukan ini atau saya tidak melakukan itu, akan tetapi bagiku sholat dan juga tidur  dan puasa , berbuka dan barang siapa yang tidak menikah maka orang yang tidak suka dengan sunnahku maka bukanlah dari umatku.
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 174)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى - يَعْنِى ابْنَ سَعِيدٍ - حَدَّثَنِى عُبَيْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى سَعِيدُ بْنُ أَبِى سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تُنْكَحُ النِّسَاءُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا
Dari sahabat abu hurairoh dari nabi Muhammad saw bersabda :" para wanita dinikahi karena empat perkara. Yakni karena hartanya, ahlaqnya, kecantikanya dan yang terahir karena agamanya.
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 177)
حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا عَبْثَرٌ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ عَامِرٍ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أَعْتَقَ جَارِيَتَهُ وَتَزَوَّجَهَا كَانَ لَهُ أَجْرَانِ ».
Dari sahabat abu hurairoh dari nabi Muhammad saw bersabda :" barang siapa yang memerdekakan budaknya kemudian mau menikahinya maka baginya dua pahala".
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 177)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ ».
Dari aisyah istri dari nabi Muhammad saw, nabi bersabda :" semua wanita yang diharamkan menikahi karena sauadara se-ASI maka haram juga dari adanya hubungan nikah (mertua)."
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 186)
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ رَبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- حَرَّمَ مُتْعَةَ النِّسَاءِ.
Dari sahabat robiah bin sabroh dari ayahnya dari nabi Muhammad saw mengharamkan nikah kontrak.
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 189)
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا أَبُو قُتَيْبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا نَكَحَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوْلاَهُ فَنِكَاحُهُ بَاطِلٌ ».
Dari sahabat umar dari nabi Muhammad saw bersabda :" ketika seorang hamba menikah dengan tampa izin dari tuannya maka nikanya tidaklah sah".
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 191)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ ».
Dari sahabat abi musya dari nabi Muhammad saw bersabda :"tidaklah dianggap sah pernikahan dengan tanpa wali".
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 196)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالاَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِى نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا »
Dari sahabat ibnu abbas dari nabi Muhammad saw bersabda :" wanita janda itu lebih berhak dalam menikahkan dari pada walinya, kemudian wanita prawan itu yang lebih berhak menikahkan adalah walinya dan diamnya adalah izinnya".
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 196)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ بِإِسْنَادِهِ وَمَعْنَاهُ قَالَ « الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْمِرُهَا أَبُوهَا »
Dari sahabat abdillah bin fadol dari nabi Muhammad saw bersabda :" wanita janda itu lebih berhak dalam menikahkan dari pada walinya, kemudian wanita prawan itu yang lebih berhak menikahkan adalah walinya".
سنن أبي داود ـ محقق وبتعليق الألباني - (2 / 196)
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَيْسَ لِلْوَلِىِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا ».
Dari sahabat ibnu abbas dari nabi Muhammad saw bersabda :" tidak ada hak bagi wali dari wanita janada untuk memerintah menikah, berbeda dengan wali dari wanita yang prawan wali boleh menikahkan dan diamnya termasuk izin."
C.           Konsep Ilmu Usul fiqih Tetang Dalil Pernikahan
Ketika kita membahas usul fiqh yang berkaitan dengan dalil-dalil nikah, maka tidaklah cukup hanya dengan beberapa lembar ini. Semua bab dalam kajian usul fiqh masuk dan selalu tersentuh dalam pembahasan nikah. Diantara keterangan dalam ilmu usul fiqih yang berkaitan dengan nikah, adalah:
1.      Nikah termasuk dalam konsep Maqosid al-Homsah:
المقاصد الخمسة من الضروريات وهي حفظ الدين والنفس والعقل والنسل والمال
2.      Kaidah Almufror Aula Minal Musytarok
(وَ) الْمَجَازُ وَالنَّقْلُ (أَوْلَى مِنْ الِاشْتِرَاكِ) شرح جمع الجوامع لابن السبكي - (1 / 154)
Kemudian, ketika ada kaidah bahwa Lafad majaz itu lebih unggul dari pada lafar yang masih bersekutuan. Dalam menanggapi dalil dalil tentang nikah, para ulama' ahli ilmu usul fiqih berbeda pendapat apakah lafad nikah itu termasuk majaz atau hakiki.
فَالْأَوَّلُ كَالنِّكَاحِ حَقِيقَةُ فِي الْعَقْدِ مَجَازٌ فِي الْوَطْءِ وَقِيلَ الْعَكْسُ وَقِيلَ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمَا فَهُوَ حَقِيقَةٌ فِي أَحَدِهِمَا مُحْتَمِلٌ لِلْحَقِيقَةِ وَالْمَجَازِ فِي الْآخَرِ
Selanjutnya, kata nikah ini termasuk makna hakikat dalam istilah transaksi yang dalam tanda petik jual beli manfaat (budu'). Namunkata nikah ini juga berorientasi majaz ketika dikaitkan dengan bersetubuh. Karena istilah nnikah ini kerap sekali depakai masyarakat untuk makna bersetubuh. Meskipun demikian, tidak menghalangi yang beberapa daerah tertentu membuat istilah sebaliknya.
Jadi, ketika sebuah dalil (al-quran dan al-hadist) menggunakan kata nikah, apakah maksud sebenarnya adalah lafad majaz (bersetubuh) dan juga makna hakikat (transaksi manfaat), dengan kata lain, nikah mempunyai makna sekutu yakni hakiki dan majazi. Maka dari itu, makna nikah dalam sebuah dalil (al-quran dan al-hadist) lebih utama dimaknai slah satu dari persekutuan tersbut, yakni majaz saja atau hakiki saja. Karena adanya ketentuan husus dalam menanggapi masalah lafad majaz yang demikian ini degan kaidah "lafad majaz atau hakiki (mufrodul makna) itu lebih diprioritaskan dari pada makna yang sekutu (mustarok).
3.      Kaidah At-Tahsis Aula Minal 'Am
(وَالتَّخْصِيصُ أَوْلَى مِنْهُمَا) أَيْ مِنْ الْمَجَازِ وَالنَّقْلِ. فَإِذَا احْتَمَلَ الْكَلَامُ لِأَنْ يَكُونَ فِيهِ تَخْصِيصٌ وَمَجَازٌ أَوْ تَخْصِيصٌ وَنَقْلٌ فَحَمْلُهُ عَلَى التَّخْصِيصِ أَوْلَى أَمَّا فِي الْأَوَّلِ فَلِتَعَيُّنِ الْبَاقِي مِنْ الْعَامِّ بَعْدَ التَّخْصِيصِ بِخِلَافِ الْمَجَازِ فَإِنَّهُ قَدْ لَا يَتَعَيَّنُ بِأَنْ يَتَعَدَّدَ وَلَا قَرِينَةَ تُعَيِّنُ.
Ada konsep ulamak usul selanjutnya dalam menanggapi dalil ayat ayat yang menggunakan kata nikah.  Yakni "makna husus lebih dipakai dari pada makana majaz dan naqlu". Maka ketika ada lafadz yang mempunyai makana husus dan makna tidak husus, maka yang lebih dipriorotaskan adalah makana yang husus tersebut. Sebut saja lafat nikah yang terdapat dalam surat an-nisa' ayat tersebut menggunakan kata nikah.
Dalam menanggapi konsep nikah tersebut, madzhab hanafi menanggapi ayat tersebut beliau lebih menghususkan makna husus nikah pada makna nikah dengan bersetubuh (wath'u). karena beliau memandang makna husus dari kata nikah adalah bersetubuh. Dari sisni madzhab hanafi ini menelurkan hukum boleh menikahi wanita yang telah dinikahi ayahnya selama belum disetubuhi. Berbeda dengan madzhab syafi'I, beliau memaknai lafadz nikah dalam ayat tersebut dengan makna transaksi. Karena beliau memandang makna husus nikah tersebut dengan transaksi. Oleh sebab itu, madzhab syafi'I memberikan kosep haram menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahnya meskipun belum disetubuhi.
Semua ini dalam rangka mengarahkan makna nikah dalam makna yang benar, karena al-quran sendiri tidak ada penjelasan yang terperinci,apakah makna nikah itu sebuah transaksi atau bersetubuh. Hal ini seperti yang diberikan az-zamahsari dalam menaggapi masalah ayat An-Nisa' ayat 3.
مِثَالُ الْأَوَّلِ قَوْله تَعَالَى {وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنْ النِّسَاءِ} فَقَالَ الْحَنَفِيُّ أَيْ مَا وَطْؤُهُ لِأَنَّ النِّكَاحَ حَقِيقَةٌ فِي الْوَطْءِ فَيَحْرُمُ عَلَى الشَّخْصِ مَزْنِيَّةُ أَبِيهِ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ أَيْ مَا عَقَدُوا عَلَيْهِ فَلَا تَحْرُمُ وَيَلْزَمُ الْأَوَّلَ الِاشْتِرَاكُ لِمَا ثَبَتَ مِنْ أَنَّ النِّكَاحَ حَقِيقَةٌ فِي الْعَقْدِ لِكَثْرَةِ اسْتِعْمَالِهِ فِيهِ حَتَّى أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِي الْقُرْآنِ لِغَيْرِهِ كَمَا قَالَ الزَّمَخْشَرِيُّ أَيْ فِي غَيْرِ مَحَلِّ النِّزَاعِ نَحْوُ {حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ} وَيَلْزَمُ الثَّانِي التَّخْصِيصُ حَيْثُ قَالَ تَحِلُّ لِلرَّجُلِ مَنْ عَقَدَ عَلَيْهَا أَبُوهُ فَاسِدًا بِنَاءً عَلَى تَنَاوُلِ الْعَقْدِ لِلْفَاسِدِ كَالصَّحِيحِ
Kemudian, dari dalil yang telah ada dan memperoleh kaidah pemaknaan ayat tersebut, ulama' ahli usul memberikan kaidah fiqih. Baik yang berkaitan dengan nikah atau lainnya. Bila dirumuskan, Seluruh kajian Fiqih itu terdiri dari lima kaidah pokok. Seperti hadist yang berbunyi “ islam itu dibangun dari lima pokok”. Demikian halnya dengan fiqih, juga terdiri dari lima pondasi, yang seluruh permasalahnya tidak lepas dari lima kaidah pokok tersebut. Yakni,
الأمور بمقاصدها
“seluruh perkata tergantung pada maksunya”
اليقين لا يزول بالشك
“yakin tidak bisa di geser dengan keraguan”
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan itu mendatangkan kepada kemudahan”
جلب المصالح ودرء المفاسد
“bahaya harus dihilangkan”
العرف محكم
“adat bisa jadi hokum”
D.           Konsep Counter Legal Drafting UU Perkawinan  ulama' klasik
Ada beberpa hal yang perlu diperdalam dan dikoreksi kembali, Counter Legal Drafting UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974 yang telah jadi tersebut, bila di benturkan dengan konsep nikah ulama' fiqih klasik. Diantaranya:
1.        Nikah sirri
Nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang dirahasiakan dari mempelai wanita, keluarga atau masyarakat berdasarkan permintaan suami kepada saksi. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda;
 أشيدواالنكاح وأعلنوه
"Siarkanlah pernikahan ini dan pukullah rebana". (HR. Abu Dawud)[6]
            Ulama sepakat bahwa pernikahan sirri hukumnya tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam membatasi istilah sirri ini. Menurut Asy-Syafi'i, pernikahan yang disaksikan oleh dua orang laki-laki adil sudah bisa mengeluarkan dari lingkaran nikah sirri. Menurut Abu Hanifah dua laki-laki atau satu laki-laki plus dua orang wanita sudah bisa mengeluarkan dari lingkaran nikah sirri sekalipun para saksi merahasiakan akad. Versi ini menginterpretasikan perintah i'lan dalam hadits di atas sebagai perintah isyhad dan i'lan hanya sebagai kesunahan. Sedangkan menurut Malikiyyah, apabila saksi nikah merahasiakan akad maka termasuk kategori nikah sirri dan hukumnya batal. Sebab menurut versi ini, perintah i'lan dalam hadits hukumnya wajib sehingga tidak cukup akad nikahnya hanya dengan syahadah.[7]
Jadi, undang-undang Perkawinan sesuai yang tertuang dalam Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang membatasi pernikahan siri dengan tidak mengesahkannya tidak dapat dibenarkan karena menganggap batal pernikahan yang sudah sah sesuai syara'.  Hal ini karena hukum Negara haruslah sesuai dengan hukum agama, tidak diperkanankan hukum agama menyalahkan hukum agama. Dengan kata lain, ketika ada pertentangan antara hukum Negara dan agama dalam satu kasus maka yang dimenagngkan adalah hukum agama. Hal ini seperti yang telah dipaparkan oleh Al-Imam Abdurrahman Bin Muhammad Baalawi dalam kitabnya Bugyatul Mustarsyidin dan syeh Abdul Qodir al-Audah dalam kitabnya Tasyri' Al-Jina'i.[8]
بغية المسترشدين  صـ 271 دار الفكر
فائدة حكم العرف والعادة حكم منكر ومعارضة لأحكام الله ورسوله وهو من بقايا الجاهلية في كفرهم بما جاء به نبينا محمد عليه الصلاة والسلام بإبطاله فمن استحله من المسلمين مع العلم بتحريمه حكم بكفره وارتداده واستحق الخلود في النار نعوذ بالله من ذلك اهـ فتاوى بامخرمة. ومنها يجب أن تكون الأحكام كلها بوجه الشرع الشريف وأما أحكام السياسة فما هي إلا ظنون وأوهام فكم فيها من مأخوذ بغير جناية وذلك حرام وأما أحكام العادة والعرف فقد مرّ كفر مستحله ولو كان في موضع من يعرف الشرع لم يجز له أن يحكم أو يفتي بغير مقتضاه فلو طلب أن يحضر عند حاكم يحكم بغير الشرع لم يجز له الحضور هناك بل يأثم بحضوره اهـ.
التشريع الجنائي في الإسلام الجزء الأول صـ 254
إن أولي الأمر بحسب نصوص الشريعة الإسلامية ليس لهم حق التشريع المطلق للأسباب التي بيناها: وإن حقهم في التشريع قاصر على نوعين من التشريع الأول تشريعات تنفيذية يقصد بها ضمان تنفيذ نصوص الشريعة الإسلامية. والثاني: تشريعات تنظيمية لتنظيم الجماعة وحمايتها وسد حاجاتها على أساس مبادئ الشريعة العامة. وهذه التشريعات لا تكون إلا فيما سكتت عنه الشريعة فلم تأت بنصوص خاصة فيه ولا يمكن أن تكون فيما نصت عليه الشريعة، ويشترط في هذه التشريعات قبل كل شئ أن تكون متفقة مع مبادئ الشريعة العامة وروحها التشريعية، فهي تشريعات توضع بقصد تنفيذ مبادئ الشريعة العامة، وإذن فهي في حقيقتها نوع آخر من التشريعات التنفيذية.[9]
2.        Hak paksa wali nikah
Urgensitas hak paksa seorang wali seakan akan dimusnahkan pada Counter Legal Drafting UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974 tersebut. Padahal, ulamak klasik memandang hak perogratip nikah hanya terletak pada wali. Artinya, wanita tidak punya tempat untuk menikahkan dirinya sendiri.
Dalam Islam memang ada hadits yang memberikan legitimasi kepada orang tua (wali) untuk menjodohkan puteri gadisnya tanpa harus melalui kesepakatannya terlebih dahulu. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda;
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْمِرُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا
"Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis yang menikahkan adalah bapaknya". (HR. Ad-Daruquthny).[10]
            Redaksi hadits ini menegaskan bahwa hak nikah seorang wanita gadis berada di tangan ayahnya (wali mujbir). Legitimasi syara' ini bukanlah bentuk dari tindakan memaksakan kehendak menentukan pasangan hidup kepada wanita gadis, melainkan justeru bukti bahwa Islam hendak mempersembahkan yang terbaik buat wanita gadis yang nota bene tidak memiliki cukup pengalaman dalam menentukan dan memilih pasangan hidup yang ideal. Maka sangat beralasan jika syara' memberikan legitimasi kepada ayah memiliki prerogatif (ijbar) menjodohkan puteri gadisnya, karena hak paksa yang didasari rasa kasih sayang yang dimiliki seorang ayah bukanlah pemaksaan melainkan kemaslahatan.[11] Lantaran itulah ulama dalam merumuskan hak ijbar menikahkan puteri gadis hanya dimiliki oleh seorang ayah dengan ketentuan syarat sebagai berikut:
a.       Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara ayah dan anak gadisnya.
b.      Tidak ada kebencian dan permusuhan nyata antara pihak suami dan gadis.
c.       Menjodohkan dengan laki-laki yang selevel (kufu') dengan anak gadisnya.
d.      Memilih calon suami yang sanggup memenuhi kewajiban membayar mahar.
e.       Menikahkan dengan mahar standar (mitsli)
f.       Maskawin harus dari mata uang negara yang berlaku; dan
g.      Mahar dibayar dengan kontan.[12]
Dari ketentuan syarat-syarat di atas, menurut Syafi'iyyah, untuk empat syarat yang pertama, apabila tidak dapat terpenuhi salah satunya maka prosesi akad pernikahannya dianggap tidak sah kecuali sebelumnya ada izin dan kerelaan dari pihak gadis. Sedangkan tiga syarat terakhir, apabila tidak terpenuhi tidak sampai mempengaruhi keabsahan pernikahan.[13]
3.        Poligami Fiqih Klasik
Legalitas hukum poligami sebenarnya sudah final dan selesai jauh sebelum kalangan Feminis dan Liberal itu lahir sebagai kaum yang anti-poligami. Allah berfirman;
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً [النساء : 3]
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.  Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja," (An-Nisa' : 03)
Rasulullah juga memerintahkan beberapa sahabat yang masuk Islam dan memiliki isteri lebih dari empat untuk memilih empat isteri dan menceraikan lainnya. Di antara hadits tersebut adalah;
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ ، قَالاَ : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ رَاشِدٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَسْلَمَ غَيْلاَنُ بْنُ سَلَمَةَ الثَّقَفِيُّ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم خُذْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
"Nabi saw berkata pada Ghoilan yang telah masuk Islam dan memiliki sepuluh isteri: tahanlah empat dan ceraikan lainnya". (HR. Ibn Hibban dan aL-Hakim )
            Ulama-ulama salaf tidak ada yang berselisih pandangan dalam memahami ayat ini bahwa poligami legal dilakukan sepanjang mampu berlaku adil dalam bersikap dan penampilan lahiriah terhadap isteri-isterinya. Penolakan terhadap legalitas poligami baru mencuat belakangan dari seorang pemikir yang dikenal pendukung paham Liberal, Muhammad Abduh. Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram qoth'i.  Sebab menurut mantan Syeikh aL-Azhar ini, syarat yang diminta dalam poligami adalah berlaku adil, dan itu mustahil dipenuhi suami, karena Allah telah menegaskan dalam aL-Qur'an bahwa laki-laki tidak akan mungkin mampu berbuat adil;
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (129) [النساء : 129]
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. (An-Nisa' : 129)
            Menafsiri An-Nisa' : 129 ini, semua Mufassirin menyatakan bahwa adil dalam ayat ini adalah keadilan yang bersifat batini seperti kecenderungan hati dan gairah seks. Karena hal-hal yang bersifat batini ini berada di luar kendali manusia, maka jelas tidak dibebankan terhadap suami yang berpoligami, melainkan sebatas keadilan lahiriah yang masih berada dalam batas kemampuannya, seperti keadilan nafaqah, giliran dan lain-lain. Rasulullah sendiri pun mengakui bahwa hati beliau lebih condong terhadap Aisyah dan beliau pun tetap poligami.
"Ya Allah ini adalah bagian yang aku miliki maka janganlah engkau menghukum pada sesuatu yang tidak aku miliki (kecenderungan hati)".
            Dengan pola tafsir demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara An-Nisa : 129 ini dengan An-Nisa : 3 sebelumnya yang melegalkan poligami. Sehingga secara tidak langsung ayat ini menjelaskan (mubayyin) terhadap kewajiban adil dalam An-Nisa : 3, yaitu keadilan lahiriah.[14]
Lebih dari itu, jika ditinjau dari segi hikmah, poligami merupakan alternatif dan solusi paling efektif dari kebutuhan sosial, karena fakta empiris dan sesuai hukum alam, menunjukkan jumlah populasi wanita selalu mendominasi lak-laki. Melarang poligami berarti hanya akan menelantarkan nasib sekian wanita dalam kesendirian dan kegelisahan, merampas hak mereka untuk berketurunan serta menggiringnya terjerumus ke lembah nista. Menolak poligami sama saja dengan menentang hukum alam. Karena mendekati kiamat, akan semakin terjadi perbedaan ekstrim antara jumlah laki-laki dan wanita. Rasulullah bersabda;
"Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat adalah dihilangkannya ilmu, banyak kebodohan, banyak perzinahan, banyak meminum khamr, sedikit laki-laki dan banyak perempuan hingga akan terjadi lima puluh perempuan hidup dengan satu orang pelindung".
Dari sini dapat dirumuskan, bahwa legalitas poligami adalah sesuatu yang telah mujma' alaih (disepakati) ulama, dan tidak ada satupun ulama atau pendapat mu'tabar yang melarang berpoligami.
Jadi, undang-undang Perkawinan sesuai yang tertuang dalam Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang membatasi pernikahan menjadi Monogami. Dan dengan tidak mengesahkan konsep poligami bila tidak disetujui oleh pejabat yang berlaku, itu tidak dapat dibenarkan karena menganggap batal pernikahan yang sudah sah sesuai syara'.  Hal ini karena hukum Negara haruslah sesuai dengan hukum agama, tidak diperkanankan hukum agama menyalahkan hukum agama. Dengan kata lain, ketika ada pertentangan antara hukum Negara dan agama dalam satu kasus maka yang dimenagngkan adalah hukum agama. Hal ini seperti yang telah dipaparkan oleh DR. Wahbah Az-Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatih.
الفقه الإسلامي الجزء التاسع  صـ 6674
الدعوة إلى جعل تعدد الزوجات بإذن القاضي ظهرت دعوات جديدة في عصرنا تمنع تعدد الزوجات إلا بإذن القاضي ليتأكد من تحقق ما شرطه الشرع لإباحة التعدد، وهو العدل بين الزوجات والقدرة على الإنفاق لأن الناس وخصوصاً الجهلة أساؤوا استعمال رخصة التعدد المأذون بها شرعاً لغايات إنسانية كريمة لكن تولى المخلصون دحض مثل هذه الدعوات لأسباب معقولة هي ما يأتي (1) 1- إن الله سبحانه وتعالى أناط بالراغب في الزواج وحده تحقيق شرطي التعدد، فهو الذي يقدر الخوف من عدم العدل، لقوله تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا، فواحدة} [النساء:3/4] فإن الخطاب فيه لنفس الراغب في الزواج، لا لأحد سواه، من قاض أوغيره، فيكون تقدير مثل هذا الخوف من قبل غير الزوج مخالفاً لهذا النص. وكذلك البحث في توافر القدرة على الإنفاق، فإنه منوط بالراغب في الزواج، لقوله ﷺ «يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج..» فهو خطاب للأزواج، لا لغيرهم. 2 - إن إشراف القاضي على الأمور الشخصية أمر عبث، إذ قد لا يطلع على السبب الحقيقي، ويخفي الناس عادة عنه ذلك السبب فإن اطلع على الحقائق كان اطلاعه فضحاً لأسرار الحياة الزوجية، وتدخلاً في حريات الناس، وإهداراً لإرادة الإنسان، وخوضاً في قضايا ينبغي توفير وقت القضاة لغيرها، ومنعاً وأمراً في غير محله، فالزواج أمر شخصي بحت، يتفق فيه الزوجان مع أولياء المرأة، لا يستطيع أحد تغيير وجهته، وتبديل قيمه. وإن أسرار البيت المغلقة لا يعلم بها أحد غير الزوجين.[15]
Kemudian Istilah mujma' alaih (yang telah disepakati) diklasifikasikan ke dalam dua kategori: Pertama, mujma' alaih yang tidak sampai batas dloruri, yaitu masalah-masalah hukum yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus seperti hak waris 1/6 bagi bintu al-ibni (anak perempuannya anak laki-laki) ketika ada binti ash-shulb (anak perempuan tunggal kandung). Kedua, mujma' alaih yang sampai batas dloruri atau diketahui oleh kalangan umum, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan lain-lainnya. Dari klasifikasi ini ulama sepakat mengingkari mujma' alaih yang dloruri dapat menyebabkan kufur bagi yang sudah mengetahui.[16]
Legalitas poligami termasuk masalah mujma' alaih dan ma'lum dloruri, sehingga tidak dibenarkan menolak legalitas poligami bahkan dapat menyebabkan kufur bagi mereka yang tahu dan mengingkarinya.[17]
4.        Pernikahan lintas agama
Dalam konteks pernikahan fiqih klasik, ahli kitab (kitabiyyah) yang boleh dinikahi oleh seorang Muslim hanya kitabiyyah pemeluk kitab samawi Taurat dan Injil yang masih orisinil (belum diganti (tabdil) dan dihapus ajarannya –naskh-). Sedangkan pemeluk kitab samawi selainnya Taurat dan Injil, tidak boleh dinikahi, sebab kitab Zabur dan Shuhuf-Shuhuf tersebut diturunkan bukan berupa bacaan atau hukum-hukum yuridis syariat melainkan sebatas wejangan-wejangan (mau'idhah).[18] 
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ (5) [المائدة : 5]
"(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi aL-Kitab sebelum kamu." (QS. aL-Maidah : 5)
            Namun versi lain menyatakan bahwa ayat ini telah dinaskh hukumnya dengan surat aL-Baqarah : 221;
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221) [البقرة : 221]
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya." (QS. aL-Baqarah : 221)
            Menurut versi ini, larangan dalam aL-Baqarah ini bersifat umum yang mencakup seluruh orang musyrik baik ahli kitab atau penyembah berhala. Namun statemen versi ini, yang menyatakan bahwa aL-Baqarah : 221 me-naskh (nasikh) terhadap aL-Maidah : 5 (mansukh) di atas, di bantah oleh versi pertama, bahwa aL-Baqarah : 221 adalah ayat yang lebih dulu turun di Makkah, sehingga aL-Maidah : 5 yang turun belakangan di Madinah  secara metodologis tidak bisa dinaskh, melainkan justeru aL-Maidah : 5 mereduksi (takhshish) keumuman redaksi 'musyrik' dalam aL-Baqarah : 221.  Sehingga hukum yang berlaku adalah diperbolehkannya menikahi wanita non-Muslim yang memeluk agama Nabi Musa as. dan nabi Isa as. sesuai kriteria di atas.[19]
            Sedangkan untuk masalah non-Muslim Indonesia, jika mengacu pada kriteria wanita kitabiyyah yang boleh dinikahi pria Muslim di atas, jelas tidak boleh untuk dinikahi, sebab jika ditilik dari sejarah masuknya Kristen ke Indonesia, umat Kristiani Indonesia lebih merupakan korban kristenisasi dari penyebaran Injil ke benua Asia yang dibawa oleh missionaris Spanyol dan Portugis yang kemudian meluas ke Indonesia Timur.




BAB  III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Walhasil, dari Counter Legal Drafting UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974 masih banyak menyisakan masalah. Hal ini karena UU tersebut, pertama, tidak banyaknya Counter Legal Drafting UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974 yang tidak sesuai dengan fiqih klasik. Kedua sebuah peraturan dengan satu landasan yang diterapkan kepada kemajmukan, pasti akan lebih banyak menimbulkan masalah. Diantara masalah Counter Legal Drafting UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974 diatas diantaranya.
1.                Dasar Perkawinan
Dipasal satu pada Bab I Dasar Perkawinan ini antara ayat pertama dan yang kedua terjadi kontradiktif. Ayat pertama dengan jelas menyatakan nikah bisa dianggap sah oleh negara dengan cara agama atau kepercayaan masing-masing. Dengan kata lain, hukum negara telah membenarkan dan mengesahkan pernikahn dengan cara agama pelaku. Kemudian ayat ke dua dari pasal ini menegaskan bahwa nikah bisa sah jika dicatat, atau keharusan pencatatan nikah sebagai syarat utama dalam keabsahan nikah.
Hal ini terbukti ketika pernikahan yang tidak dicatat negara tidak menganggap pernikahan itu sah secara hukum negara. Berarti disini negara secara tidak langsung tidak menggap sah nikah tanpa dicatat dan negara menambah persyaratan nikah yang sudah barang tentu agama tidak menyaratkan hal tersebut.
2.                Poligami
Dalam merumuskan konsep poligami, dalam Counter Legal Drafting UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 berpijak pada maqashid al-Syar'i bukan pada teks al-Qur'an yakni, sebagaimana yang ditegaskan dalam surat an-Nisa' ayat 3. Dengan dalih seperti yang tercantum dalam pasal-pasal pembahasan poligami diatas, akhirnya menetapkan bahwa prinsip perkawinan adalah monogami. Islam  mengakui keabsahan poligami. Dalam memandang ayat tersebut, ulama' fiqih klasik menilai bahwa itu termasuk ayat hududiyyah, dan arti ayat tersebut merupakan ayat yang dapat mengandung batasan-batasan penetapan hukum, baik dalam batasan penetapan hukum kuantitatif (hudud al-Kamm) maupun bersifat batasan penetapan hukum kualitatif (hudud al-Kayf).
Dalam Metode Counter Legal Drafting UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, hal yang menjadi sorotan utama dalam poligami adalah keadilan. Counter Legal Drafting UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, berargumen bahwa karena ketidakmungkinan seseorang untuk dapat berlaku adil, akhirnya ketidak adilan tersebut mempunyai dampak negative, antara lain rusaknya sistem yang ada dan dampak negatif lainnya. Para ahli usul, berpendapat bahwah ayat poligami masuk dalam teori al-had al-a'la dan al-had al-adna. Bila dimasukkan dalam teori ini, maka secara kuantitatif poligami dapat dibenarkan apabila menikahi perempuan dengan batasan minimal 1 (satu) dan maksimal 4 (empat).
Yang lebih mengerikan lagi, Counter Legal Drafting UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ini seakan akan berpijak kepada hasrat kaum hawa semata, karena hanya menitikberatkan pada hal negatif tanpa memandang positif dari ayat ayat lain yang dengan jelas dan banyak untuk memperbanyak keturunan, dan umat Muhammad.
3.                Bertentangan dengan Ijma' Bi Dhoruri ani Al-diin
Legalitas poligami termasuk masalah mujma' alaih dan ma'lum dloruri, sehingga tidak dibenarkan Undang-undang Perkawinan sesuai yang tertuang dalam Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menolak legalitas poligami bahkan dapat menyebabkan kufur bagi mereka yang tahu dan mengingkarinya.
4.                Pemisahan Hukum Negara dengan Agama (Faslu Daulah)
Undang-undang Perkawinan sesuai yang tertuang dalam Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang membatasi pernikahan menjadi Monogami. Dan dengan tidak mengesahkan konsep poligami bila tidak disetujui oleh pejabat yang berlaku, itu tidak dapat dibenarkan karena menganggap batal pernikahan yang sudah sah sesuai syara'.  Hal ini karena hukum Negara haruslah sesuai dengan hukum agama, tidak diperkanankan hukum agama menyalahkan hukum agama. Dengan kata lain, ketika ada pertentangan antara hukum Negara dan agama dalam satu kasus maka yang dimenagngkan adalah hukum agama.
B.            Saran Kajian
Kajian ilmiah tentang Undang-undang Perkawinan sesuai yang tertuang dalam Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974 diatas, masih sangat sederhana. Kami belum memasukkan peranan politik, kultur budaya, faham, pablik figure dan buku-buku yang memang berperan banyak, hingga terbentuklah dan ditetapkanya Undang-undang Perkawinan sesuai yang tertuang dalam Counter Legal Dafting undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini. Untuk itu, akan lebih sempurna jika kami memasukkan semua kekurangan itu dalam kajian ilmiyah ini.


DAFTAR  PUSTAKA

al-Barri, M. Dahlan. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: Arkola. 2005.
Al-Manawi, Zainuddin Muhammad bin ahmad bin ali.  Faidul Qodir Juz 1. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 1999.
Az-Zuhaily,Wahbah. Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatih. Maktabah Tsamilah: Versi 20.000. Tt.
At-Thobari, Muhammad Bin Jarir Bin Yazid Abu Jakfar. Jami' Al-Bayan Fi Takwil Al-Qur'an. Bairut: Dar Al-Kutub. 2000.
Al-Syairozy, Abu Ishaq. Al-Muhadzab. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2007.
Al-Juzairi, Abdurrohman. Al-Fiqh Ala Madzahibi Al-'Arbah. Bairut: Dar Al-Kutub. 2001.
al-Khin, Musthofa. Fiqh al-Manhaji. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2007.
Az-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatih. Maktabah Tsamilah: Versi 20.000. Tt.
At-Thobari, Muhammad Bin Jarir Bin Yazid Abu Jakfar. Jami' Al-Bayan Fi Takwil Al-Qur'an. Bairut: Dar Al-Kutub. 2000.
Al-Jazeri, Abdurrohman. Fiqh Al-MAdzahib Al-Arba'ah. Maktabah Tsamilah: Versi 20.000. Tt.
Al-Kuwaitiyyah, Jam'iyah Ulama'. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah. Maktabah Tsamilah: Versi 20.000. Tt.
Al-Anshori, Abu Zakariyya Yahya. Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah 2002
Al- Daruquthni,Abi Hasan Ali Bin Umar Sunan Daruquthni.,  Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2002.
al-Audah, Abdul Qodir Tasyri' Al-Jina'I. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.  2002.
Baalawi, Abdurrahman Bin Muhammad. Bugyatul Mustarsyidin.  Semarang: Toha Putra. TT.
http://indonesi4ku.wordpress.com/2011/03/15/






[1]               M. Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Arkola, 2005 ), Hlm: 678
[2]               M. Dahlan al Barri, Kamus.,,,Hlm: 678
[3]               http://indonesi4ku.wordpress.com/2011/03/15/pengertian-klasifikasi-tugas-fungsi-kegiatan-UU perkawinan no.1 tahun 1974/ (diakses : sabtu, 23 Juni 2013,  pukul : 22.00)
[4]              Sulaiman Bin Umar Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm. 120  .
[5]               http://indonesi4ku.wordpress.com/2011/03/15/pengertian-klasifikasi-tugas-fungsi-kegiatan-UU perkawinan no.1 tahun 1974/ (diakses : sabtu, 23 Juni 2013,  pukul : 22.00)
[6]               Zainuddin Muhammad bin ahmad bin ali Al-Manawi, Faidul Qodir Juz 1, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), Hlm: 20
[7]               Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatih, (Maktabah Tsamilah: Versi 20.000, Tt), Hlm: 54
[8]               Abdurrahman Bin Muhammad Baalawi, Bugyatul Mustarsyidin, (Semarang: Toha Putra, TT), Hlm: 271.
[9]               Abdul Qodir al-Audah, Tasyri' Al-Jina'I,  juz: 2,  (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2002), Hlm: 254
[10]             Abi Hasan Ali Bin Umar Al- Daruquthni, Sunan Daruquthni Juz 3, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2002), Hlm: 112.
[11]             Abu Zakariyya Yahya Al-Anshori, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2002), hlm. 160
[12]             Jam'iyah Ulama' Al-Kuwaitiyyah, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Juz, VIII (Maktabah Tsamilah: Versi 20.000, Tt), hlm. 264-299.
[13]             Abdurrohman Al-Jazeri, Fiqh Al-MAdzahib Al-Arba'ah, (Maktabah Tsamilah: Versi 20.000, Tt), hlm. 294
[14]             Muhammad Bin Jarir Bin Yazid Abu Jakfar At-Thobari, Jami' Al-Bayan Fi Takwil Al-Qur'an, (Bairut: Dar Al-Kutub, 2000), hlm. 234-245
[15]             Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatih, (Maktabah Tsamilah: Versi 20.000, Tt), Hlm: 54 dan Al-Ghuror Al-Bahiyyah vol. VII hlm. 401-402.
[16]             Musthofa al-Khin, Fiqh al-Manhaji, juz.VII(Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007), Hlm: 94-95 dan Hikmah at-tasyri' hlm. 34-36.
[17]             Abdurrohman Al-Juzairi, Al-Fiqh Ala Madzahibi Al-'Arbah, (Bairut: Dar Al-Kutub, 2001), hlm: 219.
[18]             Abu Ishaq Al-Syairozy, Al-Muhadzab, Juz 1, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007), Hlm: 273
[19]             Muhammad Bin Jarir Bin Yazid Abu Jakfar At-Thobari, Jami' Al-Bayan Fi Takwil Al-Qur'an, (Bairut: Dar Al-Kutub, 2000), hlm. 234-245.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar