MAQOMAT DAN AHWAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Maqamat dan
ahwal adalah inti ajaran kaum sufi. Tokoh-tokoh sufi
sejak dari zaman Al-Hasan Al-Bashriy hingga Imam Al-Qusyayriy penulis
kitab yang sangat popular di dunia tasawuf, Al-Risalah Al-Qusyairiyah dan
seterusnya diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, telah berupaya
merumuskan konsep maqamat dan
ahwal dengan sebaik mungkin, sebagai bentuk manifestasi
mereka dalam kajian tasyawuf serta usaha menceritakan perjalanan tokoh-tokoh
sufi dalam lautan ibadah kepada sang Kholiq. Baik menyangkut pengertian, dalil
penopang, tingkatan, bagaimana mencapainya, sehingga dapat dinikmati
oleh generasi berikutnya.
B.
Rumusan masalah:
1. Apa pengertian maqamat dan bagaimana urutan
serta jumlah maqamat dan
ahwal?
2. Apa pengertian ahwal dan bagaimana
hubungannya dengan maqamat?
3. Apa itu maqom taubat? Dan apa syarat – syaratnya?
C.
Tujuan pembahasan:
1. Untuk mengetahui pengertian maqamat dan bagaimana
urutan serta jumlah maqamat dan
ahwal.
2. Untuk mengetahui pengertian ahwal dan hubungan ahwal
dengan maqomat.
3.
Untuk mengetahui maqom
taubat dan syarat – syaratnya maqom taubat.
BAGIAN II
PEMBAHASAN
A. MAQOMAT
1. Pengertian
Maqomat
Maqamat adalah bentuk kata jamak dari mufrod maqam
yang berarti tahapan, tingkatan atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah
tahapan - tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf (salik) untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maqam merupakan usaha yang harus
dilakukan secara terus-menerus dengan kesengajaan.[1]
Maqom menurut syech Abi Nasr Abdulloh ibn Ali
As-Syiroj At-Thusy: kedudukan seorang hamba (salik) disisi Allah swt, yang
dicapai dengan memperbanyak ibadah, mujahadah dan riyadloh. Dari suatu tingkatan
laku batin menuju tingkatan maqom berikutnya dengan sebentuk amalan atau ibadah
tertentu. Maqom adalah sebuah proses pencapaian kesejatian hidup dengan
pencarian yang tak kenal kata lelah atao bosan akan beratnya syarat dan beban
kewajiban yang harus dipenuhi. Misalkan seorang salik yang sedang
memperjuangkan tingkatan maqom tobat. Dia harus benar-benar menlalui maqom itu
agar bisa naik pada maqom selanjutnya. Dengan kata lain, salik yang berada
maqom taubat harus berusaha dengan pencarian yang tak kenal lelah, memenuhi
persyaratan seorang taib (orang yang taubat) yang berat, dan berusaha
terus menerus akan tujuan utamanya, yakni alloh SWT.[2]
Dengan firman Alloh di dalam QS. Ibrohim : 41:
ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ
مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ (14)}[إبراهيم/9، 14]
Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang
takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku".(
QS. Ibrohim: 41)
وَمَا مِنَّا إِلاَّ
لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ (164)
Tiada seorang pun di antara kami (malaikat)
melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, ".( QS. As-Shofat: 164)
Maqom menurut Syech Abu Bakar Al-Wasyithi: makom
adalah kedudukan taubat, waro’, zuhud, faqir, sobar, ridlo, ridlo, tawakal dan
lain sebagainya.[3]
Maqom menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An
Naisaburi: adalah sebuah etika atau adab seorang hamba yang akan diperjuangkan
dan diwujudkan oleh seorang hamba dengan melalui beberapa tingkatan Riyadloh
yang mana dengan adab tersebut seorang hamba akan menjadi nyata akan
kedudukanya.[4]
Maqom yang dimaksud oleh beliau adalah penegakan atau
aktualisasi suatu nilai moral sebagaimana istilah al-madhol (temat
masuk) yang sama artinya dengan isim masdarnya (al-idhol) yakni proses
pemasukan. Dan al-mahroj yang bermakna proses pengeluaran (al-ikhroj).
Oleh karena itu, keberadaan maqom seorang hamba bisa dikategorikan sah apabila
dirinya dapat menyaksikan Alloh secara husus dalam nilai maqom yang sedang
diaktulisasikan.[5]
misalnya, kebenaran seorang hamba telah benar-benar menetapi suatu maqom taubat
berarti dia benar benar taubat akan segala sesuatu yang selain Alloh dan
memusatkan persaksianya hanya satu yakni Alloh.[6]
2. Istilah-istilah
dalam Maqamat dan ahwal
Menyangkut jumlah maqamat
dan ahwal memang
terjadi bahan diskusi panjang di antara tokoh-tokoh sufi. Berikut ini akan
diuraikan sebagian maqamat dan
ahwal menurut syech Abul Qosim Abdul Karim
Hawazin An Naisaburi: Ada beberapa istilah dalam maqamat dan ahwal yang jumlahnya ada 49, yaitu: tobat,
mujahadah, kholwah dan uzlah, taqwa, wara’, zuhud, diam, takut, roja’, duka
cita, lapar dan meninggalkan sahwat, khusuk dan tawadu’, menentang nafsu,
dengki dan hasud, mengupat, qona’ah, tawakal, syukur, yakin, sabar, mendekatkan
diri, ridlo, ubudiyah, irodah, istiqomah, ihlas, shidiq, malu, kemerdekaan,
zikir, prawira, firasat, ahlaq, dermawan, cemburu, wali, doa, faqir, tasawuf,
kesopanan, musyafir, persahabatan, tauhid, mati, makrifat, cinta, rindu,
menjaga hati para guru, mendengar.[7]
Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus
bertobat dari dosa, yang dilakukan oleh anggota badan, maupun yang tersembunyi
di dalam hati. Setelah melewati maqam taubat, maqam selanjutnya adalah wara’,
yaitu meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri atau
perkara- perkara subhat, yaitu segala sesuatu yang mengandung kesamaran atau
yang diragukan hukumnya, tidak jelas halal-haramnya, dan meninggalkan segala
sesuatu yang tidak berguna. Selanjutnya adalah maqam zuhud, yaitu mengosongkan
hati dari cinta terhadap dunia dan menjalani hidup untuk beribadah kepada Allah
SWT, serta mengosongkan hati dari selain Allah SWT dan memusatkan hati kepada
cinta-Nya. Selanjutnya adalah maqam faqir, yaitu menjalani hidup dengan
kesadaran bahwa ia hanya membutuhkan Allah SWT. Selanjunya maqam sabar, yaitu
sabar dalam menjalani perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, sabar dalam
menghadapi kesulitan, dan sabar atas ni’mah yang dilimpahkan oleh Allah SWT
kepadanya. Selanjutnya adalah maqam tawakal, yaitu menyerahkan segala sesutunya
kepada Allah SWT, tidak bergantung kepada selain-Nya, dan tidak pula kepada
amal perbuatannya (nafsunya –pen). Selanjutnya adalah maqam rida, yaitu
menerima dengan senang hati segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah SWT dan
menyadari bahwa ketentuan-Nya lebih baik daripada keinginannya. Setelah
melewati maqam-maqam tersebut barulah seorang sufi bisa mencintai (mahabbah)
dan mengenal Allah (ma’rifah) atau juga disebut dengan tajalli.[8]
B. Ahwal
1.
Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari mufrod hal, yang
berarti suatu keadaan. Namun, hal menurut ajaran qoum suffi adalah keadaan
mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf (salik) sebagai anugerah yang
datang dari Allah SWT. sedangkan hal merupakan anugerah
Maqom menurut Syech Ibnu Attoillah As-Sakandari :
adalah suatu keadaan mental yang datang dari Allah SWT. sebagai anugerah yang
yang tidak bisa disengaja atau usaha mencari.[9]
Beliau memekai istilah al-warid, jamaknya
al-waridat (dari kata warada-yaridu)
yang artinya datang. Istilah yang lain adalah wahbiyah
(dari kata wahaba-yahibu)
yang berarti memberi, mengingat ia bukan sebuah usaha hamba, tetapi datang
lantaran pemberian Allah SWT.
Maqom menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An
Naisaburi : Hal menurut kaum sufi rasa atau keadaan yang datang secara otomatis
di dalam hati kaum sufi, tanpa adanya kesengajaan, upaya pengadaan, pelatihan
bagi kaum sufi, seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, kangen, merana, iba,
atau butuh.[10]
Sebagian guru suffi berkata, “ hal ibarat kilat, jika
hal itu sedang menetapi hati maka akan menjadi suara hati”. Artinya, keadaan
hati yang berasa dan kemudian hilang. Sebagian guru sufi lain berpendapat bahwa
hal sebagaimana contoh contohnya, menujkkan arti contoh iti sendiri (rasa,
nilai, getaran), yang menguasai hati dan kemudian hilang dengan sendirinya.[11]
2.
Hubungan Antara Maqomat dan
Ahwal
Erat sekali hubungan antara maqam
dan ahwal dari
hal yang diakui oleh para tokoh
sufi adalah sama sama sebagai suatu kondisi batin seorang
sâlik yang sedang berjalan menuju tingkat
pencapaian akhir ber-taqarrub kepada
Allah swt. Manakala sifatnya permanen, maka disebut
dengan maqam dan
yang berubah sifatnya disebut hal.[12]
Keadan keadan yang datang dengan sendiri merupakan
pemberian alloh sedangkan maqom adalah hasil upaya, latihan, kesengajaan, pemaksaan
dan lainya dari seorang hamba itu sendiri secara terus menerus hingga dia bisa
menduduki maqomnya secara sah. Sementara, pemilik hal sering mengalami pasang
surut, berubah-ubah, naik turun keadaan hatinya.[13]
C. MAQOM TAUBAT
1.
Pengertian Taubat.
Menurut Abu Ya’qub Yusuf Bin Hamdan As- Sausy, “Awal
pendakian seorang hamba menuju kejalan alloh harus melewati maqom taubat”.[14] Menurut
syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An Naisaburi, Hakikat taubat secara bahasa
berarti kembali, sedangkan arti taubat secara istilah, tak jauh berbeda dengan
arti bahasa, yakni kembali dari sesuatu yang dicela oleh sara’ menuju sesuatu
yang dipuji atau dilegalkan oleh syara’.[15]
Alloh berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
Sahabat Anas bin malik berkata. “ saya pernah
mendengar Rosululloh bersabda.”
" التائب من الذنب كمن لا ذنب له، وإذا أحبَّ الله عبداًلم
يضرّه ذنب "
Kemudian beliau membaca firman Alloh SWT:
إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat
dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqoroh : 222)
Syech Al-Junaid pernah ditanya perihal taubat. Beliau
menjawab, taubat adalah lupa akan dosa-dosa yang pernah dilakukanya.[16]
Menurut Hujjatul Islam, Imam Abi Hamid Muhammad
Bin Muhammad Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin. Beliau berusaha mengkorelasikan
antara fiqih dan tasyawuf sebagai dua fan yang harus jalan berdampingan secara
seimbang, merumuskan hukum taubat dilihat dari dua sudut pandang, yakni fiqih
dan tasyawuf. Menurutnya, Hukum taubat adalah wajib fauriyah, atau wajib
dilakukan seorang hamba seketika, tatkala seorang hamba tau bahwa sebenarnya
dia sedang melanggar aturan syara’(dosa). Karena mengetahui bahaya ma’siyat
bisa menghancurkan keimanan seseorang berarti mengharuskan taubat dilakukan
seketika dia tau telah melakukan perkara yang dibenci agama. Sebab, seorang
hamba yang tau akan dirinya telah melakukan dosa maka jika tidak segera
melakukan taubat maka hamba itu tidak punya iman. Ini yang dimaksud sabda Nabi yang
berbunyi :
قال
النبي صلى الله عليه وسلم: لا يزنى الزانى حين يزنى وهو مؤمن متفق عليه من حديث أبي
هريرة
Seorang pezina tidak akan melakukan zina jika
ketika melakukan perbuatan zina, dirinya adalah seorang yang beriman.
Iman yang dimaksudkan di sini bukan lah iman yang
berasal dari mukasafah (yaqin dan tahu adanya Alloh, Rosul, dan Kitab-Kitabnya),
melainkan ketidak imanan seorang hamba kepada perintah Alloh SWT.
Sang Hujjatul Islam mengibaratkan pelaku dosa
yang tidak mau taubat dengan seseorang yang tidak mempercayai larangan dokter,
“ jangan makan racun ini, karena sangat berbahaya!” namun orang tersebut
tidak mengindahkan perkataan dokter. Kemudian diminumlah racun itu padahal dia
sendiri tau bahwa meminum racun itu membahayakan dirinya.
Ketidak imanan seseorang terhadap dokter tadi bukan
lah ketidak imanan akan wujudnya dokter, kepintaran dokter atau kebenaran kalau
dia benar-benar dokter. Namun dia tidak iman akan perkataan dokter. Dan semua
itu sama halnya bagi hamba alloh, tatkala malakukan maksiat dan dia tau akan
bahaya maksiat namun dia tetap melakukan dan tidak segera bertaubat. Maka orang
tersebut tidak dikatakan sebagai seorang mukmin.[17]
2.
Syarat Taubat
Ulama’-ulama’ yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip
as-Sunnah merumuskan perihal syarat sahnya taubat. Taubat bisa diterima jika
memenuhi tiga syarat. Pertama, Menyesali segala perbuatan yang pernah
dilanggar. Kedua, Meninggalkan jalan salah pada saat taubat. Ketiga, Ketetapan
hati untuk tidak mengulagi lagi kesalahan-kesalahan yang serupa.[18]
Penyesalan adalah pondasi pokok seorang taib akan
sahnya taubat. Bahkan, menurut ahlu tahqiq, syarat taubat hanya ada satu
“penyesalan”. Karena menurut mereka, kedua syarat yang lain akan secara otomatis
ikut jika seorang hamba benar-benar ada rasa penyesalan yang sejati. Sebab,
mustahil bagi taib yang benar-benar menyesal akan perbuatan dosa akan tetap
melakukan pelanggaran itu bahkan mustahil seorang taib akan merencanakan
perilaku dosa yang sama.[19] Hal
ini sesuai dengan sabda Rosululloh yang berbunyi :
قال النبي صلى الله
عليه وسلم: " الندم توبة " .
“Penyesalan adalah taubat”
3.
Proses dan Pembagian Tingkatan
Taubat
Seorang taib bisa sampai pada maqom taubat pastilah
ada sebab yang melatar belakanginya. Proses awal taubat adalah keterjagaan hati
dari kelelapan lupa dan kemampuan taib melihat diri sendiri sebagai hal yang
buruk yang dia alami.
Proses awal ini, tidak lepas dari yang namanya taufiq Alloh
SWT atau pertolongan Alloh SWT hingga dirinya bisa merasakan kesalahan-kesalahan
yang dia alami, serta bisa mendengarkan kata hati guna melakukan perbuatan yang
dibenarkan syara’. Hal ini sesuai dengan Hadist Qudsi yang berbunyi:
" إن في البدن لمضغة إذا صلحَت صلح جميع البدن وإذا فسدت فسد
جميع البدن، ألا وهي: القلب " .
Sesungguhnya didalam tubuh trdapat segumpal daging.
Jika segumpal daging iti baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika rusak,
rusaklah seluruh jasadnya. Iangatlah, dia adalah hati.(HR. Imam bukhori).
Jadi, jika hati seorang taib sudah berfikir perihal
keburukan-keburukan dalam hatinya dan menemukan kebenaran yang haq, maka dalam
sanubarinya akan secara otomatis timbul rasa ingin bertaubat atau menyesali
segala kesalahan dan beranjak melakukan kebaikan.
Langkah pertama bagi seorang taib adalah hijrah atau
meninggalkan kawan kawan yang buruk. Karena jika tidak, teman buruk akan
menyeretnya kembali dari tujuan taubat dan akan mengacaukan konsentrasi serta
tekat seorang taib. Upaya ini tidak akan sempurna kecuali dengan menetapi
secara terus menerus musyahadah (menyaksikan akan kesalahan dan dosa-dosa dalam
dirinya) yang membuat kecintaan dirinya akan selalu ingin bertaubat terus
bertambah. Serta, motifasi motifasinya mampu membawa pada penyempurnaan taubat
dalam bentuk penguatan rasa takut yang diimbangi dengan rasa harapan akan
turunya rahmat dari Alloh SWT.[20]
Menurut Imam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali,
proses seorang hamba dalam bertaubat ada tiga bagian. Pertama, tau akan
bahaya dosa bisa merusak iman atau bisa menghancurkan apa yang dicita-citakan. Kedua,
keadaan diman seorang hamba benar-benar inging kembali kejalan yang benar. Ketiga,
pekerjaan yang berindikasi meninggalkan perbuatan dosa menuju perbuatan yang
dipuji oleh sara’. Jika seorang hamba sudah bisa merasakan tingkatan yang
pertama maka akan naik pada tingkatan yang kedua terus sampai pada tingkatan
yang ketiga.[21]
Menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An
Naisaburi, Jika salik berusaha meninggalkan kemaksiatan , maka gumpalan
gumpalan nafsu yang selama ini mendorong terus menerus melakukan perbuatan
maksiat akan perlahan-lahan mengikis hilang, lepas dari hatinya. Dan
sebaliknya, jika salik tidak segera beranjak meninggalkan maksiat maka akan
semakin membesar gumpalan-gumpalan nafsu tersebut. Ahirnya membuat dirinya
semakin tenggelam kelembah yang semakin dalam.
Setelah tahapan itu berhasil, salik harus berusaha dan
berketetapan dalam hatinya untuk tidak masuk ke dalam jurang yang sama
(maksiat). Diantaranya harus berani meninggalkan semua media yang mungkin bisa
menyebabkan dia terjerumus kepada kemaksiatan.
Dari penyesalan yang telah dilalui seorang salik tadi
akan memunculkan kejernihan hati, serta rasa harapan tinggi akan ampunan Alloh.
Dia tetap menjadi seseorang yang selalu menyesali semua perbuatanya, sepak
terjangnya, perilaku dan keadaan-keadaan dirinya yang penuh kesalahan.
Dengan demikian, salik benar-benar telah menjalani
taubat yang sempurna. Mujahadahnya benar, kesungguhanya untuk menjadi seseorang
yang baik benar benar bisa dipercaya. Jika salik sudah mencapai tingkatan
demikian, maka sikap pergaulannya dengan manusia akan digantikan dengan sikap
merendahkan diri, uzlah atau hal hal lain yang dia tidak akan berbuat
kecuali perbuatan itu membawanya pada tingkatan yang lebih baik. Sekurang
kurangnya, seorang salik berketetapan menjadi hamba yang terus berusaha
memperbaiki diri dan berusaha agar terjaga supaya tidak masuk pada lubang yang
sama.[22]
Taubat dilihat dari pelakunya, menurut Syech Dzun Nun,
dibagi menjadi dua tingkatan yakni taubatnya orang awam dan taubatnya orang
husus. Taubat orang awam adalah penyesalan seorang hamba dari pelanggaran-pelanggaran
yang pernah dia lakukan. Sedangkan taubat orang husus adalah penyesalan atas
kelalainya akan suatau perilaku yang dirasa tidak baik.[23]
Pernyatan Syech Dzun Nun dipertegas lagi oleh An-Nuri, “ Taubat adalah proses pelaksanaan
taubat dari segala sesuatu selain alloh.
Menurut Syech Abu Ali Ad-Daqoq, taubat ada tiga
tingkatan, yakni:
Pertama, taubat permulaan bagi seorang salik
(taubat bidayah). Misalkan seseorang yang taubat karena takut akan siksaan,
dosa, hinaan, atau neraka. Maka masuk taubat yang pertama ini (taubat bidayah).
Taubat yang pertama ini adalah taubatnya orang-orang mukmin atau orang awam. Alloh berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
Kedua,
taubat berulang-ulang kali (taubat inabah). taubat kedua ini tidak lagi
karena takut akan siksaan, melainkan dia bertaubat karena taubat sendiri adalah
ibadah yang diperintah oleh Alloh atau
karena mencai pahala. Jadi, taubat kedua ini merupakan kebiasaan, kebutuhan
sekaligus kewajiaban. Karena taubat kedua ini merupakan suatu peribadatan yang
harus terus menerus dilakukan. Sedangkan taubat inabah ini adalah sifat para
wali-wali alloh atau orang-orang yang dekat dengan Alloh, sebagaimana yang
difirmankanNya :
مَنْ خَشِيَ
الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ وَجَاء بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ (33)
(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang
bertobat, (QS. Qof : 33)
Ketiga, taubat pulang (taubat aubah). Taubat
yang termotifasi oleh sikap hati-hati serta ketelitian hatinya. Tidak lagi
taubat yang dikarenakan takut neraka atau menginginkan pahala (surga),
melainkan hanya berpusat utuh kepada Alloh. Pemilik sifat taubat aubah ini
adalah para Nabi dan Rosul. Seperti firman alloh:
وَوَهَبْنَا
لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (30)
Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia
adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shot
: 30)[24]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sejarah
benar benar membuktikan bahwa kegigihan tokoh tokoh sufi ketika menuangkan
perjalanannya dalam dunia tasyawuf untuk ditorehkan dengan tinta emas, yang
sehingga kita bisa dengan mudah memahami perjalanan mereka. Diantara rumusan
mereka tentang maqamat dan ahwal sebagai kondisi batin seorang salik (pejalan rohani) yang
menginginkan kedekatan kepada Allah swt., yang sifatnya permanen, lewat usaha sendiri
dan yang berubah-ubah lantaran pemberian-Nya. Dalil-dalil yang dipakai
(al-Qur’an dan hadis juga pendapat ulama’ ulama sufi) sebagiannya sama dan dipahami menurut kecenderungan masing-masing. Sebuah maqâm dan hâl menjadi modal bagi peningkatan ke jenjang
yang lebih tinggi.
- Saran Kajian
Banyak
sekali berita yang belum kami peroleh dari kajian ini, terutama konsep maqomat
dan ahwal menurut tokoh tokoh sufi besar lainya seperti syeh abdl qodir al
jilani, abdulloh al bahari, abu yazid al-Busthomi dan masih banyak lagi. Dan
yang paling menarik adalah ketika maqomat dan ahwal jika dibenturkan dengan
ilmu fiqih. Mungkin kah keduanya sejajar atau bahkan bertolak belakang. Semoga
kita dijalankan oleh alloh seperti mereka (tokoh tokoh sufi).
DAFTAR RUJUKAN
As-Suhudy, Ali Ibn
Nayif, Mausyuah Fiqh Ibtila’, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000)
At-Thusy, Abu Nasr Abdulloh ibn
Ali As-Syiroj, Al-Luma’ Fii Tarih At-Tasawof Al-Islam, (Bairot, Dar
Al-Kutub, 2007)
An-Naisaburi, Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin, Al- Risalah Al-Qusairiyah (Maktabah Tsamilah,
Versi: 10.000)
Attoillah, Ibnu
As-Sakandari, Al-Hikam (Semarang: Toha Putra, Tth)
Abi Hamid
Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, (Bairut, Darr
Al-Kutub Al- Alamiyah, 1971),
[1] Ali Ibn
Nayif As-Suhudy, Mausyuah Fiqh Ibtila’, Juz: 3 (Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 3 Lihat:
والمقام بفتح الميم مكان الإقامة ،
وبالضم فعل الإقامة؛ و«ذَلِكَ لَمَنْ خَافَ مَقَامي» أي قيامي عليه
[2] Abu Nasr
Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’ Fii Tarih At-Tasawof Al-Islam,
(Bairot: Dar Al-Kutub, 2007), Hlm: 40
[3] Abu Nasr
Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’ ,…Hlm: 40
[4] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah Al-Qusairiyah (Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 3-5 Lihat:
والمقام:
ما يتحقق به العبد بمنازلته من الآداب؛ ممام يتوصَّل إليه بنوع تصُّرفَ، ويتحقق به
بضرب تطلُّب، ومقاساة تكلف.فمقام كل أحد: موضع إقامته عند ذلك، وما هو مشتغل
بالرياضة له.
[5] Ibid,
Hlm: 3
[6] Abu Nasr
Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 40
[7] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3-120.
[8] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3-4
[9]
Ibnu Attoillah As-Sakandari, Al-Hikam (Semarang: Toha Putra, TT), Hlm:
34. Lihat:يعني
: أنه لا ينبغي للسالك أن يعبر عن الواردات التي ترد عليه من العلوم الوهبية
والأسرار التوحيدية اختياراً منه . بل يصونها عن كل أحد إلا عن شيخه .
[10] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3 lihat:والحال
عند القوم: معنى يَرِد على القلب، من غير تعمد منهم، ولا اجتلاب، ولا أكتساب لهم،
من: طرب، أو حزن، أو بسط، أو قبض، أو شوق، أو انزعاج أو هبة، أو احتياج.
[11] Ibid,
Hlm: 5
[12] Ibnu
Attoillah As-Sakandari, Al-Hikam ,… Hlm:34
[13] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3
[14] Abu
Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 41
[15] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3 lihat:وحقيقة
التوبة في لغة العرب: الرجوع، يقال: تاب أي رجع. فالتوبة الرجوع عما كان مذموماً في الشرع إلى ما هو
محمود فيه.
[16] Abu
Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 41
[17] Abi
Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin juz: 4, (Bairut, Darr Al-Kutub Al- Alamiyah, 1971),
Hlm: 10
[18] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 36
[19] Ibid,
Hlm: 3
[20] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 37
[21] Abi
Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin,.. Hlm: 10
lihat: أما
وجوبها على الفور فلا يستراب فيه
[22] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 37
[23] Abu
Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 41
[24] Abul
Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 38
heisssssssss
BalasHapus