Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Kamis, 28 Maret 2013

MAQOMAT DAN AHWAL


MAQOMAT DAN AHWAL
BAB  I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Maqamat dan ahwal adalah inti ajaran kaum sufi. Tokoh-tokoh sufi sejak dari zaman Al-Hasan Al-Bashriy hingga Imam Al-Qusyayriy penulis kitab yang sangat popular di dunia tasawuf, Al-Risalah Al-Qusyairiyah dan seterusnya diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, telah berupaya merumuskan konsep maqamat dan ahwal dengan sebaik mungkin, sebagai bentuk manifestasi mereka dalam kajian tasyawuf serta usaha menceritakan perjalanan tokoh-tokoh sufi dalam lautan ibadah kepada sang Kholiq. Baik menyangkut pengertian, dalil penopang, tingkatan, bagaimana mencapainya, sehingga dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.

B.                Rumusan masalah:
1.      Apa pengertian maqamat dan bagaimana urutan serta jumlah maqamat dan ahwal?
2.      Apa pengertian ahwal dan bagaimana hubungannya dengan maqamat?
3.      Apa itu maqom taubat? Dan apa syarat – syaratnya?

C.                Tujuan pembahasan:
1.      Untuk mengetahui pengertian maqamat dan bagaimana urutan serta jumlah maqamat dan ahwal.
2.      Untuk mengetahui pengertian ahwal dan hubungan ahwal dengan maqomat.
3.     Untuk mengetahui maqom taubat dan syarat – syaratnya maqom taubat.








BAGIAN  II
PEMBAHASAN
A.    MAQOMAT
1.   Pengertian Maqomat
Maqamat adalah bentuk kata jamak dari mufrod maqam yang berarti tahapan, tingkatan atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan - tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf (salik) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maqam merupakan usaha yang harus dilakukan secara terus-menerus dengan kesengajaan.[1]
Maqom menurut syech Abi Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy: kedudukan seorang hamba (salik) disisi Allah swt, yang dicapai dengan memperbanyak ibadah, mujahadah dan riyadloh. Dari suatu tingkatan laku batin menuju tingkatan maqom berikutnya dengan sebentuk amalan atau ibadah tertentu. Maqom adalah sebuah proses pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal kata lelah atao bosan akan beratnya syarat dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Misalkan seorang salik yang sedang memperjuangkan tingkatan maqom tobat. Dia harus benar-benar menlalui maqom itu agar bisa naik pada maqom selanjutnya. Dengan kata lain, salik yang berada maqom taubat harus berusaha dengan pencarian yang tak kenal lelah, memenuhi persyaratan seorang taib (orang yang taubat) yang berat, dan berusaha terus menerus akan tujuan utamanya, yakni alloh SWT.[2] Dengan firman Alloh di dalam QS. Ibrohim : 41:
ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ (14)}[إبراهيم/9، 14]
Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku".( QS. Ibrohim: 41)
وَمَا مِنَّا إِلاَّ لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ (164)
Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, ".( QS. As-Shofat: 164)
Maqom menurut Syech Abu Bakar Al-Wasyithi: makom adalah kedudukan taubat, waro’, zuhud, faqir, sobar, ridlo, ridlo, tawakal dan lain sebagainya.[3]
Maqom menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An Naisaburi: adalah sebuah etika atau adab seorang hamba yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang hamba dengan melalui beberapa tingkatan Riyadloh yang mana dengan adab tersebut seorang hamba akan menjadi nyata akan kedudukanya.[4]
Maqom yang dimaksud oleh beliau adalah penegakan atau aktualisasi suatu nilai moral sebagaimana istilah al-madhol (temat masuk) yang sama artinya dengan isim masdarnya (al-idhol) yakni proses pemasukan. Dan al-mahroj yang bermakna proses pengeluaran (al-ikhroj). Oleh karena itu, keberadaan maqom seorang hamba bisa dikategorikan sah apabila dirinya dapat menyaksikan Alloh secara husus dalam nilai maqom yang sedang diaktulisasikan.[5] misalnya, kebenaran seorang hamba telah benar-benar menetapi suatu maqom taubat berarti dia benar benar taubat akan segala sesuatu yang selain Alloh dan memusatkan persaksianya hanya satu yakni Alloh.[6]
2.   Istilah-istilah dalam Maqamat dan ahwal
Menyangkut jumlah maqamat dan ahwal memang terjadi bahan diskusi panjang di antara tokoh-tokoh sufi. Berikut ini akan diuraikan sebagian maqamat dan ahwal menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An Naisaburi: Ada beberapa istilah dalam maqamat dan ahwal yang jumlahnya ada 49, yaitu: tobat, mujahadah, kholwah dan uzlah, taqwa, wara’, zuhud, diam, takut, roja’, duka cita, lapar dan meninggalkan sahwat, khusuk dan tawadu’, menentang nafsu, dengki dan hasud, mengupat, qona’ah, tawakal, syukur, yakin, sabar, mendekatkan diri, ridlo, ubudiyah, irodah, istiqomah, ihlas, shidiq, malu, kemerdekaan, zikir, prawira, firasat, ahlaq, dermawan, cemburu, wali, doa, faqir, tasawuf, kesopanan, musyafir, persahabatan, tauhid, mati, makrifat, cinta, rindu, menjaga hati para guru, mendengar.[7]
Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus bertobat dari dosa, yang dilakukan oleh anggota badan, maupun yang tersembunyi di dalam hati. Setelah melewati maqam taubat, maqam selanjutnya adalah wara’, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang bisa menjatuhkan harga diri atau perkara- perkara subhat, yaitu segala sesuatu yang mengandung kesamaran atau yang diragukan hukumnya, tidak jelas halal-haramnya, dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Selanjutnya adalah maqam zuhud, yaitu mengosongkan hati dari cinta terhadap dunia dan menjalani hidup untuk beribadah kepada Allah SWT, serta mengosongkan hati dari selain Allah SWT dan memusatkan hati kepada cinta-Nya. Selanjutnya adalah maqam faqir, yaitu menjalani hidup dengan kesadaran bahwa ia hanya membutuhkan Allah SWT. Selanjunya maqam sabar, yaitu sabar dalam menjalani perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, sabar dalam menghadapi kesulitan, dan sabar atas ni’mah yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepadanya. Selanjutnya adalah maqam tawakal, yaitu menyerahkan segala sesutunya kepada Allah SWT, tidak bergantung kepada selain-Nya, dan tidak pula kepada amal perbuatannya (nafsunya –pen). Selanjutnya adalah maqam rida, yaitu menerima dengan senang hati segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah SWT dan menyadari bahwa ketentuan-Nya lebih baik daripada keinginannya. Setelah melewati maqam-maqam tersebut barulah seorang sufi bisa mencintai (mahabbah) dan mengenal Allah (ma’rifah) atau juga disebut dengan tajalli.[8]
B.     Ahwal
1.      Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari mufrod hal, yang berarti suatu keadaan. Namun, hal menurut ajaran qoum suffi adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf (salik) sebagai anugerah yang datang dari Allah SWT. sedangkan hal merupakan anugerah
Maqom menurut Syech Ibnu Attoillah As-Sakandari : adalah suatu keadaan mental yang datang dari Allah SWT. sebagai anugerah yang yang tidak bisa disengaja atau usaha mencari.[9] Beliau memekai istilah al-warid, jamaknya al-waridat (dari kata warada-yaridu) yang artinya datang. Istilah yang lain adalah wahbiyah (dari kata wahaba-yahibu) yang berarti memberi, mengingat ia bukan sebuah usaha hamba, tetapi datang lantaran pemberian Allah SWT.
Maqom menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An Naisaburi : Hal menurut kaum sufi rasa atau keadaan yang datang secara otomatis di dalam hati kaum sufi, tanpa adanya kesengajaan, upaya pengadaan, pelatihan bagi kaum sufi, seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, kangen, merana, iba, atau butuh.[10]
Sebagian guru suffi berkata, “ hal ibarat kilat, jika hal itu sedang menetapi hati maka akan menjadi suara hati”. Artinya, keadaan hati yang berasa dan kemudian hilang. Sebagian guru sufi lain berpendapat bahwa hal sebagaimana contoh contohnya, menujkkan arti contoh iti sendiri (rasa, nilai, getaran), yang menguasai hati dan kemudian hilang dengan sendirinya.[11]
2.      Hubungan Antara Maqomat dan Ahwal
Erat sekali hubungan antara maqam dan ahwal dari hal yang diakui oleh para tokoh sufi adalah sama sama sebagai suatu kondisi batin seorang sâlik yang sedang berjalan menuju tingkat pencapaian akhir ber-taqarrub kepada Allah swt. Manakala sifatnya permanen, maka disebut dengan maqam dan yang berubah sifatnya disebut hal.[12]
Keadan keadan yang datang dengan sendiri merupakan pemberian alloh sedangkan maqom adalah hasil upaya, latihan, kesengajaan, pemaksaan dan lainya dari seorang hamba itu sendiri secara terus menerus hingga dia bisa menduduki maqomnya secara sah. Sementara, pemilik hal sering mengalami pasang surut, berubah-ubah, naik turun keadaan hatinya.[13]
C.    MAQOM TAUBAT
1.      Pengertian Taubat.
Menurut Abu Ya’qub Yusuf Bin Hamdan As- Sausy, “Awal pendakian seorang hamba menuju kejalan alloh harus melewati maqom taubat”.[14] Menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An Naisaburi, Hakikat taubat secara bahasa berarti kembali, sedangkan arti taubat secara istilah, tak jauh berbeda dengan arti bahasa, yakni kembali dari sesuatu yang dicela oleh sara’ menuju sesuatu yang dipuji atau dilegalkan oleh syara’.[15]
Alloh berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
Sahabat Anas bin malik berkata. “ saya pernah mendengar Rosululloh bersabda.”
" التائب من الذنب كمن لا ذنب له، وإذا أحبَّ الله عبداًلم يضرّه ذنب "
Kemudian beliau membaca firman Alloh SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqoroh : 222)
Syech Al-Junaid pernah ditanya perihal taubat. Beliau menjawab, taubat adalah lupa akan dosa-dosa yang pernah dilakukanya.[16]
Menurut Hujjatul Islam, Imam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin. Beliau berusaha mengkorelasikan antara fiqih dan tasyawuf sebagai dua fan yang harus jalan berdampingan secara seimbang, merumuskan hukum taubat dilihat dari dua sudut pandang, yakni fiqih dan tasyawuf. Menurutnya, Hukum taubat adalah wajib fauriyah, atau wajib dilakukan seorang hamba seketika, tatkala seorang hamba tau bahwa sebenarnya dia sedang melanggar aturan syara’(dosa). Karena mengetahui bahaya ma’siyat bisa menghancurkan keimanan seseorang berarti mengharuskan taubat dilakukan seketika dia tau telah melakukan perkara yang dibenci agama. Sebab, seorang hamba yang tau akan dirinya telah melakukan dosa maka jika tidak segera melakukan taubat maka hamba itu tidak punya iman. Ini yang dimaksud sabda Nabi yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يزنى الزانى حين يزنى وهو مؤمن متفق عليه من حديث أبي هريرة
Seorang pezina tidak akan melakukan zina jika ketika melakukan perbuatan zina, dirinya adalah seorang yang beriman.
Iman yang dimaksudkan di sini bukan lah iman yang berasal dari mukasafah (yaqin dan tahu adanya Alloh, Rosul, dan Kitab-Kitabnya), melainkan ketidak imanan seorang hamba kepada perintah Alloh SWT.
Sang Hujjatul Islam mengibaratkan pelaku dosa yang tidak mau taubat dengan seseorang yang tidak mempercayai larangan dokter, “ jangan makan racun ini, karena sangat berbahaya!” namun orang tersebut tidak mengindahkan perkataan dokter. Kemudian diminumlah racun itu padahal dia sendiri tau bahwa meminum racun itu membahayakan dirinya.
Ketidak imanan seseorang terhadap dokter tadi bukan lah ketidak imanan akan wujudnya dokter, kepintaran dokter atau kebenaran kalau dia benar-benar dokter. Namun dia tidak iman akan perkataan dokter. Dan semua itu sama halnya bagi hamba alloh, tatkala malakukan maksiat dan dia tau akan bahaya maksiat namun dia tetap melakukan dan tidak segera bertaubat. Maka orang tersebut tidak dikatakan sebagai seorang mukmin.[17]
2.      Syarat Taubat
Ulama’-ulama’ yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip as-Sunnah merumuskan perihal syarat sahnya taubat. Taubat bisa diterima jika memenuhi tiga syarat. Pertama, Menyesali segala perbuatan yang pernah dilanggar. Kedua, Meninggalkan jalan salah pada saat taubat. Ketiga, Ketetapan hati untuk tidak mengulagi lagi kesalahan-kesalahan yang serupa.[18]
Penyesalan adalah pondasi pokok seorang taib akan sahnya taubat. Bahkan, menurut ahlu tahqiq, syarat taubat hanya ada satu “penyesalan”. Karena menurut mereka, kedua syarat yang lain akan secara otomatis ikut jika seorang hamba benar-benar ada rasa penyesalan yang sejati. Sebab, mustahil bagi taib yang benar-benar menyesal akan perbuatan dosa akan tetap melakukan pelanggaran itu bahkan mustahil seorang taib akan merencanakan perilaku dosa yang sama.[19] Hal ini sesuai dengan sabda Rosululloh yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه وسلم: " الندم توبة " .
“Penyesalan adalah taubat”
3.      Proses dan Pembagian Tingkatan Taubat
Seorang taib bisa sampai pada maqom taubat pastilah ada sebab yang melatar belakanginya. Proses awal taubat adalah keterjagaan hati dari kelelapan lupa dan kemampuan taib melihat diri sendiri sebagai hal yang buruk yang dia alami.
Proses awal ini, tidak lepas dari yang namanya taufiq Alloh SWT atau pertolongan Alloh SWT hingga dirinya bisa merasakan kesalahan-kesalahan yang dia alami, serta bisa mendengarkan kata hati guna melakukan perbuatan yang dibenarkan syara’. Hal ini sesuai dengan Hadist Qudsi yang berbunyi:
" إن في البدن لمضغة إذا صلحَت صلح جميع البدن وإذا فسدت فسد جميع البدن، ألا وهي: القلب " .
Sesungguhnya didalam tubuh trdapat segumpal daging. Jika segumpal daging iti baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika rusak, rusaklah seluruh jasadnya. Iangatlah, dia adalah hati.(HR. Imam bukhori).
Jadi, jika hati seorang taib sudah berfikir perihal keburukan-keburukan dalam hatinya dan menemukan kebenaran yang haq, maka dalam sanubarinya akan secara otomatis timbul rasa ingin bertaubat atau menyesali segala kesalahan dan beranjak melakukan kebaikan.
Langkah pertama bagi seorang taib adalah hijrah atau meninggalkan kawan kawan yang buruk. Karena jika tidak, teman buruk akan menyeretnya kembali dari tujuan taubat dan akan mengacaukan konsentrasi serta tekat seorang taib. Upaya ini tidak akan sempurna kecuali dengan menetapi secara terus menerus musyahadah (menyaksikan akan kesalahan dan dosa-dosa dalam dirinya) yang membuat kecintaan dirinya akan selalu ingin bertaubat terus bertambah. Serta, motifasi motifasinya mampu membawa pada penyempurnaan taubat dalam bentuk penguatan rasa takut yang diimbangi dengan rasa harapan akan turunya rahmat dari Alloh SWT.[20]
Menurut Imam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali, proses seorang hamba dalam bertaubat ada tiga bagian. Pertama, tau akan bahaya dosa bisa merusak iman atau bisa menghancurkan apa yang dicita-citakan. Kedua, keadaan diman seorang hamba benar-benar inging kembali kejalan yang benar. Ketiga, pekerjaan yang berindikasi meninggalkan perbuatan dosa menuju perbuatan yang dipuji oleh sara’. Jika seorang hamba sudah bisa merasakan tingkatan yang pertama maka akan naik pada tingkatan yang kedua terus sampai pada tingkatan yang ketiga.[21]
Menurut syech Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An Naisaburi, Jika salik berusaha meninggalkan kemaksiatan , maka gumpalan gumpalan nafsu yang selama ini mendorong terus menerus melakukan perbuatan maksiat akan perlahan-lahan mengikis hilang, lepas dari hatinya. Dan sebaliknya, jika salik tidak segera beranjak meninggalkan maksiat maka akan semakin membesar gumpalan-gumpalan nafsu tersebut. Ahirnya membuat dirinya semakin tenggelam kelembah yang semakin dalam.
Setelah tahapan itu berhasil, salik harus berusaha dan berketetapan dalam hatinya untuk tidak masuk ke dalam jurang yang sama (maksiat). Diantaranya harus berani meninggalkan semua media yang mungkin bisa menyebabkan dia terjerumus kepada kemaksiatan.
Dari penyesalan yang telah dilalui seorang salik tadi akan memunculkan kejernihan hati, serta rasa harapan tinggi akan ampunan Alloh. Dia tetap menjadi seseorang yang selalu menyesali semua perbuatanya, sepak terjangnya, perilaku dan keadaan-keadaan dirinya yang penuh kesalahan.
Dengan demikian, salik benar-benar telah menjalani taubat yang sempurna. Mujahadahnya benar, kesungguhanya untuk menjadi seseorang yang baik benar benar bisa dipercaya. Jika salik sudah mencapai tingkatan demikian, maka sikap pergaulannya dengan manusia akan digantikan dengan sikap merendahkan diri, uzlah atau hal hal lain yang dia tidak akan berbuat kecuali perbuatan itu membawanya pada tingkatan yang lebih baik. Sekurang kurangnya, seorang salik berketetapan menjadi hamba yang terus berusaha memperbaiki diri dan berusaha agar terjaga supaya tidak masuk pada lubang yang sama.[22]
Taubat dilihat dari pelakunya, menurut Syech Dzun Nun, dibagi menjadi dua tingkatan yakni taubatnya orang awam dan taubatnya orang husus. Taubat orang awam adalah penyesalan seorang hamba dari pelanggaran-pelanggaran yang pernah dia lakukan. Sedangkan taubat orang husus adalah penyesalan atas kelalainya akan suatau perilaku yang dirasa tidak baik.[23] Pernyatan Syech Dzun Nun dipertegas lagi oleh An-Nuri, “ Taubat adalah proses pelaksanaan taubat dari segala sesuatu selain alloh.
Menurut Syech Abu Ali Ad-Daqoq, taubat ada tiga tingkatan, yakni:
Pertama, taubat permulaan bagi seorang salik (taubat bidayah). Misalkan seseorang yang taubat karena takut akan siksaan, dosa, hinaan, atau neraka. Maka masuk taubat yang pertama ini (taubat bidayah). Taubat yang pertama ini adalah taubatnya orang-orang mukmin atau orang awam.  Alloh berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
 Kedua, taubat berulang-ulang kali (taubat inabah). taubat kedua ini tidak lagi karena takut akan siksaan, melainkan dia bertaubat karena taubat sendiri adalah ibadah  yang diperintah oleh Alloh atau karena mencai pahala. Jadi, taubat kedua ini merupakan kebiasaan, kebutuhan sekaligus kewajiaban. Karena taubat kedua ini merupakan suatu peribadatan yang harus terus menerus dilakukan. Sedangkan taubat inabah ini adalah sifat para wali-wali alloh atau orang-orang yang dekat dengan Alloh, sebagaimana yang difirmankanNya :
مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ وَجَاء بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ (33)
(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat, (QS. Qof : 33)
Ketiga, taubat pulang (taubat aubah). Taubat yang termotifasi oleh sikap hati-hati serta ketelitian hatinya. Tidak lagi taubat yang dikarenakan takut neraka atau menginginkan pahala (surga), melainkan hanya berpusat utuh kepada Alloh. Pemilik sifat taubat aubah ini adalah para Nabi dan Rosul. Seperti firman alloh:
وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (30)
Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shot : 30)[24]













BAB  III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Sejarah benar benar membuktikan bahwa kegigihan tokoh tokoh sufi ketika menuangkan perjalanannya dalam dunia tasyawuf untuk ditorehkan dengan tinta emas, yang sehingga kita bisa dengan mudah memahami perjalanan mereka. Diantara rumusan mereka tentang maqamat dan ahwal sebagai kondisi batin seorang salik (pejalan rohani) yang menginginkan kedekatan kepada Allah swt., yang sifatnya permanen, lewat usaha sendiri dan yang berubah-ubah lantaran pemberian-Nya. Dalil-dalil yang dipakai (al-Qur’an dan hadis juga pendapat ulama’ ulama sufi) sebagiannya sama dan dipahami menurut kecenderungan masing-masing. Sebuah maqâm dan hâl menjadi modal bagi peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi.

  1. Saran Kajian
Banyak sekali berita yang belum kami peroleh dari kajian ini, terutama konsep maqomat dan ahwal menurut tokoh tokoh sufi besar lainya seperti syeh abdl qodir al jilani, abdulloh al bahari, abu yazid al-Busthomi dan masih banyak lagi. Dan yang paling menarik adalah ketika maqomat dan ahwal jika dibenturkan dengan ilmu fiqih. Mungkin kah keduanya sejajar atau bahkan bertolak belakang. Semoga kita dijalankan oleh alloh seperti mereka (tokoh tokoh sufi).











DAFTAR  RUJUKAN

As-Suhudy, Ali Ibn Nayif, Mausyuah Fiqh Ibtila’, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000)

At-Thusy, Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj, Al-Luma’ Fii Tarih At-Tasawof Al-Islam, (Bairot, Dar Al-Kutub, 2007)

An-Naisaburi, Abul Qosim Abdul Karim Hawazin, Al- Risalah Al-Qusairiyah (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000)

Attoillah, Ibnu As-Sakandari, Al-Hikam (Semarang: Toha Putra, Tth)

Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, (Bairut, Darr Al-Kutub Al- Alamiyah, 1971),


[1] Ali Ibn Nayif As-Suhudy, Mausyuah Fiqh Ibtila’, Juz: 3 (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 3 Lihat:
والمقام بفتح الميم مكان الإقامة ، وبالضم فعل الإقامة؛ و«ذَلِكَ لَمَنْ خَافَ مَقَامي» أي قيامي عليه
[2] Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’ Fii Tarih At-Tasawof Al-Islam, (Bairot: Dar Al-Kutub, 2007), Hlm: 40
[3] Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’ ,…Hlm: 40
[4] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah Al-Qusairiyah (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 3-5 Lihat:
والمقام: ما يتحقق به العبد بمنازلته من الآداب؛ ممام يتوصَّل إليه بنوع تصُّرفَ، ويتحقق به بضرب تطلُّب، ومقاساة تكلف.فمقام كل أحد: موضع إقامته عند ذلك، وما هو مشتغل بالرياضة له.
[5] Ibid, Hlm: 3
[6] Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 40
[7] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3-120.
[8] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3-4
[9] Ibnu Attoillah As-Sakandari, Al-Hikam (Semarang: Toha Putra, TT), Hlm: 34. Lihat:يعني : أنه لا ينبغي للسالك أن يعبر عن الواردات التي ترد عليه من العلوم الوهبية والأسرار التوحيدية اختياراً منه . بل يصونها عن كل أحد إلا عن شيخه .
[10] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3 lihat:والحال عند القوم: معنى يَرِد على القلب، من غير تعمد منهم، ولا اجتلاب، ولا أكتساب لهم، من: طرب، أو حزن، أو بسط، أو قبض، أو شوق، أو انزعاج أو هبة، أو احتياج.
[11] Ibid, Hlm: 5
[12] Ibnu Attoillah As-Sakandari, Al-Hikam ,… Hlm:34
[13] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3
[14] Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 41
[15] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 3 lihat:وحقيقة التوبة في لغة العرب: الرجوع، يقال: تاب أي رجع. فالتوبة الرجوع عما كان مذموماً في الشرع إلى ما هو محمود فيه.
[16] Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 41
[17] Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin juz: 4,  (Bairut, Darr Al-Kutub Al- Alamiyah, 1971), Hlm: 10
[18] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 36
[19] Ibid, Hlm: 3
[20] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 37
[21] Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin,.. Hlm: 10 lihat: أما وجوبها على الفور فلا يستراب فيه
[22] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 37
[23] Abu Nasr Abdulloh ibn Ali As-Syiroj At-Thusy, Al-Luma’,… Hlm: 41
[24] Abul Qosim Abdul Karim Hawazin An-Naisaburi, Al- Risalah,… Hlm: 38

1 komentar: