syi'ah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama kasih sayang “Rohmatan Lil
Alamin”, universal. Islam
itu din (agama), dunya (dunia) dan daulah (negara/politik); Islam adalah sistem
keyakinan dan sistem hukum dan sebagai agama yang sempurna yang didesain Tuhan
sampai akhir zaman. Islam dilihat dari sisi historisnya mulai abad awal
Hijriyyah pasti akan menyakut sekte yang dikenal dengan Syi’ah. Dipungkiri atau tidak, umat Islam sangat
terpecah belah masa itu. Tidak hanya berbeda dalam prespektif politik saja,
bahkan interpretasi sekte satu dengan yang lain dalam mensifati Tuhan, Al-Qur’an
apalagi segala sesuatu yang bersifat furu’iyah sudah sangat berbeda
jauh.
Syi’ah
lebih menojol dalam doktrin fundamentalnya, yakni tentang Imamah, karena
itu tak heran jika semua nanti akan berujung pada konsep Imamahnya. Dari
itu, kita akan bahas apa saja yang dihasilkan dari pembiasan konsep Imamah
Syi’ah.
B.
Rumusan masalah
1.
Siapa golongan Syi’ah?
2.
Bagaimana akidah golongan Syi’ah ?
3.
Bagaimana doktrin golongan Syi’ah?
C.
Tujuan pembahasan
1.
Untuk mengetahui golongan Syi’ah?
2.
Untuk mengetahui akidah golongan
Syi’ah ?
3.
Untuk mengetahui doktrin golongan
Syi’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Munculnya golongan Syi’ah
Secara etimologi Asy-Syi’ah dalam bahasa Arab berarti
pengikut atau pendukung. Sementara dalam kajian sekte-sekte Islam, secara
terminologi Syi’ah adalah golongan yang mendukung Sayyidina Ali Bin
Abi Tholib secara husus dan berkeyakinan bahwa hanya Sayyidina Ali Bin
Abi Tholib sajalah yang berhak menjadi khalifah, dengan adanya dalil nash
dan wasiyat dari Rosululloh, baik secara tersurat maupun tersirat. Dan Syi’ah
beranggapan bahwa hak Imamah (menjadi pemimpin umat islam) hanya keluar dari
keturunan Ahlul Bait. Jadi seandainya ada Imamah yang bukan dari keturunan Sayyidina
Ali Bin Abi Tholib maka pasti ada kedloliman di dalam politik dari pihak
lain atau Imam sedang menerapkan konsep Taqiyyah.[1]
Menurut Ibn Hazm definisi Syi’ah lebih
umum lagi, yakni siapapun yang berkeyakinan bahwa Imamah adalah hak prerogratif
dari keturunan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib saja dan tidak boleh dari
yang lainnya. Oleh karena itu, orang yang mempunyai keyakinan tersebut, sudah
masuk kategori Syi’ah.[2]
Berbeda halnya dengan Asy-Ariyah dan Syahrustani mendefinisikan siah adalah
pendukung ali.[3]
Semasa Nabi Muhammad masih hidup, segala masalah
langsung disodorkan kepada baginda Nabi. Nabi menjadi rujukan pertama baik masalah
yang berkaitan keagamaan maupun masalah duniawi. Jadi, ketika ada suatu
masalah, para sahabat langsung menanyakan kepada nabi dan jawaban nabi sebagai
jawaban finalnya yang tidak mungkin ada perbedaan dari para sahabat. Kemudian
setelah baginda Nabi wafat, tidak ada lagi otoritas tunggal dalam tubuh islam.[4]
Setelah Rosululloh meninggal, mulai nampak perbedaan
mengenai siapakah yang berhak menggantikan kepemimpinan (khalifah) umat islam.
Ahirnya para pembesar islam memutuskan Abu Bakar As-Sidiq yang menjdi
khalifah setelah Nabi wafat.[5]
Awal munculnya Syi’ah sampai saat ini masih
menjadi perdebatan oleh ahli sejarah, bahkan di dalam golongan Syi’ah sendiri
belum ada satu kesepakatan antara penulis satu dengan penulis lain.
Menurut sebagian penulis Syi’ah mengatakan,
bahwa awal munculnya Syi’ah sejak
baginda Nabi masih hidup. Tepatnya sejak risalah Nabi turun, sudah ada kelompok
kecil yang memihak kepada Sayyidina Ali Bin Abi Tholib. Artinya Nabi lah
peletak batu pertama menculnya kelompok Syi’ah ini. Karena menurut
mereka, nama Syi’ah inipun juga pemberian dari Nabi Muhammad SAW.
Dari garis sejarah lain mengatakan bahwa kemunculan
siah tak lain karena seorang yahudi yang bernama Abdulloh Bin Saba’. Abdulloh
Bin Saba’ popular dengan nama As-Sauda’. Ia adalah orang yahudi,
yang pura pura masuk islam pada masa Sayyidina Utsman Bin Affan. dan
tidak mencerminkan kepribadian muslim. Saat kepemimpinan Sayyidina Utsman
Bin Affan, Abdulloh Bin Saba’ sering diasingkan dari komunitas
muslim. Awalnya Abdulloh Bin Saba’ dibuang ke Basroh. Di Basroh Abdulloh
Bin Saba’ diusir oleh Abdulloh Bin Amir dan melarikan diri ke Kuffah
lalu ke negeri Syam dan kemudian sampai ke Mesir. Di Mesir lah Abdulloh Bin
Saba’ memulai rencananaya untuk membuat propaganda mempeengaruhi banyak
orang agar ikut memusuhi Sayyidina Utsman Bin Affan.
Isi propaganda Abdulloh Bin Saba’ adalah Sayyidina
Utsman Bin Affan telah merampas hak Sayyidina Ali Bin Abi Tholib
sebagai pengganti Nabi. Secara diam diam Abdulloh Bin Saba’ juga
mempengaruhi orang mesir untuk memihak kepada Ahlul Bait. Dia menegaskan
bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Tholib satu satunya orang yang mendapat wasiat
dan ditunjuk langsung oleh Nabi untuk menggantikannya. Dari sinilah Abdulloh
Bin Saba’ memulai untuk membuat fitnah kepada kaum muslim yang ahirnya
berdiri sekte Syi’ah.
Peristiwa perng Jamal, sifin dan kemudian terbunuhnya Sayyidina
Ali Bin Abi Tholib besrta putranya Husain, menjadi bahan Abdulloh Bin
Saba’ untuk menyuburkan faham idiologi Syi’ah akan kecondongan yang
berlebihan kepada Ahlul Bait. Kuffah adalah sasaran empuk bagi Abdulloh
Bin Saba’ untuk memperbesar fitnahnya demi memecah belah umat islam.[6]
B.
Ragam aliran Syi’ah
Pada mulanya Syi’ah sepakat bahwa yang menjadi imam
pertama adalah Sayyidina Ali Bin Abi Tholib kemudian diteruskan Sayyidina
Husain lalu Sayyidina Hasan Bin Ali. Namun, setelah itu mulai nampak
perpecahan di tubuh Syi’ah. Inti dari perbedaan sekte dalam Syi’ah adalah tentang
Imamah. Siapakah yang berhak menggantikan khalifah sepeninggal Sayyidina
Hasan Bin Ali wafat.
Dari sini kemudian muncul dua kelompok besar dalam
menentukan siapa pengganti Imamah setelah Sayyidina Hasan Bin Ali.
Kelompok pertama berpendapat yang berhak adalah Sayyidina Ali Bin Husain
Zainal Abidin, cucu Sayyidina Ali dari Sayyidina Husain.
Kelompok kedua berpendapat yang berhak meneruskan imam adalah Muhammad Bin
Hanafiyah, putra Sayyidina Ali dari istri Sayyidina Ali selain
dengan Sayyidah Fatimah. Dari dua kelompok ini terus menerus terjadi
perpecahan hingga ratusan kelompok. Namun dari ratusan kelompok itu, bisa
dikerucutkan menjadi empat kelompok besar.[7]
1.
Syiah Kaisaniyah
Nama Kainaisiah diambil dari nama bekas budak Sayyidina
Ali, Kaisan. Atau dari Muhthar Bin Abi Ubaid yang punya laqob
(julukan) Kaisan. Syi’ah Kainisiayah meyakini bahwa penerus kepemimpinan
setalah wafatnya Sayyidina Hasan Bin Ali beralih kepada Sayyidina
Muhammad Bin Hanafiyah.
2.
Syiah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah Syi’ah yang mempercayai
kepemimpinan Zaid Bin Ali Bin Husain Zainal Abidin setelah kepemimpinan Sayyidina
Hasan Bin Ali.
3.
Syi’ah Ghulat
Syi’ah Ghulat adalah golongan yang sangat berlebih-lebihan
dalam memuji Sayyidina Ali atau imam-imam Syi’ah dengan menganggap bahwa
para imam-imam Syi’ah bukan lah manusia, melinkan jelmaan Tuhan atau bahkan
imam adalah Tuhan itu sendiri.
4.
Syiah Imamah
Syi’ah Imamah adalah golongan yang sangat meyakini Sayyidina
Ali sebagi pemimpin satu-satunya yang mendapat wasiat dari Rosululloh dengan
petunjuk yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan
imam imam sebelum Sayyidina Ali dan mereka telah dlolim kepada Sayyidina
Ali.[8]
C.
Rukun iman golongan Syi’ah
Dalam masalah rukun iman Syi’ah hampir tidak ada
bedanya dengan sekte yang lain, begitu juga dengan dalil yang dipakai yakni Surat
Al-Baqoroh Ayat 177 yang berbunyi :
لَّيْسَ
الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ … الاية
Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi (Al-Baqoroh Ayat :177)
Namun ada konsep fundamental dalam rukun iman Syi’ah
adalah Imamah. Maka dari enam rukun iman tidak lah sempurna atau tidak diterima
jika iman kepada imamah tidak ada dalam diri mukmin.
1.
Uluhiyah
Mengenai Uluhiyah, Syi’ah meyakini bahwa Alloh itu Esa,
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Syi’ah menghukumi kafir bagi orang
yang menyekutukan alloh. Dan menghukumi muslim orang yang bersyahadatain. Namun
tidak hanya syahat, Syi’ah menganggap, iman belum sempurna (musrik) orang yang
tidak mengimani Imamah.[9]
Jadi, kepemimpinan imam Ali dan imam-imam setelahnya merupakan syarat mutlak
agar seseorang bisa dikatakan beriman. Dalil Al-Qur’an yang melandasi iman Syi’ah
adalah:
قال
-تعالى-: قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزِلَ عَلَيْنَا
Katakanlah
(hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada kami (Al-Baqoroh Ayat :136)
قال
-تعالى-: وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi(QS. Al-Zumar ayat 65)
Ayat di atas mengharuskan umat Islam untuk mengimani
segala hal yang datang dari alloh melalui Nabi Muhammad SAW. Dan konsekuensi
kufur bagi orang yang ingkar kepada Al-Qur’an dan nabi. Kufur dalam ayat diatas memasukkan juga kekufuran
bagi orang yang tidak mempercayai imam Ali dengan kepemimpinanya. Sebab, kepemimpinan Ali adalah
kepemiminana yang sah dari wasiat Nabi Muhammad. Artinya, apapun
yang berasal dari Nabi harus di imani. Termasuk di dalamnya wasiat Nabi tentang
kepemimpinan Ali sebagai pengganti Nabi. Karena Al-Qur’an masih bersifat global
dan harus membutuhkan penjelasan dari Hadist. Maka ketika Al-Qur’an ditafsiri
dengan Hadis mutawatir yang mengisyaratkan atas wasiat kepemimpinan jatuh
kepada Sayyidina Ali maka hal itu menjadi penafsiran yang kuat. Sangat banyak
sekali Hadist Nabi, baik yang berupa Hadist Mutawatir maupun yang Hadist Ahadi yang
berbunyi kepemimpinan Ali, diantaranya yang paling terkenal adalah pernyataan Nabi
Muhammad di suatu tempat yang bernama Ghadir Khun. Tepatnya saat beliau
pulang dari Haji Wada’.
وقال
صلى الله عليه وسلم : « من كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من
عاداه
Nabi
bersabda: barang siapa yang menjadiakan aku sebagai maulanya (pemimpin), maka
ali juga sebagai pemimpinya. Ya alloh, cintailah orang yang mencintainya dan
musuhilah orang yang memusuhinya.[10]
2.
Malaikat
Mempercayai akan keberadaan malaikat sebagai mahluknya
Alloh juga sebagai Rukun Islam. Dan Syi’ah juga meyakini bahwa Alloh memberikan
tugas yang bermacam-macam untuk para Ahlul Bait. Begitu juga Alloh menciptakan
Malaikat dari cahaya wajahnya Ahlul Bait. Banyak sekali riwayat yang
menyatakan akan tugas Malaikat, penciptaan Malaikat bahkan fungsi Malaikat untuk
para Ahlul Bait, diantaranya.
أن
رسول الله ( قال : › خلق الله من نور وجه علي بن أبي طالب ع سبعين ألف ملك ,
يستغفرون له ولمحبِّيه إلى يوم القيامة ›
Sesungguhnya rosululloh bersabda :Alloh menciptakan 70.000 malaikat dari
cahaya wajah saidina ali bin abi tholib yang memohonkan ampun untuk
beliau dan para pengikut beliau hingga hari qiyamat.[11]
3.
Nubuwah
Mengimani Nabi sebagi utusan Alloh termasuk pilar
rukun iman, orang yang tidak meyakini Nabi akan mendapat predikat Kafir. Begitu
pula orang yang hanya iman kepada Nabi dan tidak mengimani Imamah. Dengan dalil
yang sangat jelas baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah seperti diatas. (Al-Baqoroh
Ayat :136 , Surat Al-Zumar ayat 65 dan Al-Baqoroh
Ayat :177 ).[12]
4.
Kitabulloh
Syi’ah menempatkan iman kepada kitabulloh sebagai
rukun iman. Bahkan Syi’ah berkeyakinan kitabulloh yang diturunkan oleh Alloh tidak
hanya Al-Qur’an Utsmany saja. Dengan kata lain, Alloh juga menurunkan Al-Qur’an
kepada Syi’ah dan tidak masuk ke dalam Al-Qur’an yang sekarang ini. Diantaranya:
a.
Mushaf Fatimah
Mushaf yang diturunkan oleh Alloh kepada Fatimah pasca
wafatnya Rosululloh. Lantaran kesedihan Fatimah Az-Zahro’ Alloh menghiburnya
dengan memberikan Mushaf lewat dua Malikat yang kemudian didengar oleh Amirul
Mukminin yang semuanya tidak menerangkan halal haram melainkan tentang peristiwa-peristiwa.
Ahirnya disebutlah dengan nama Mushaf Fatimah.[13]
b.
Mushaf Al-Ja’far
c.
Mushaf Al-Jam’iyah,
d.
Mushaf An-Namus dan Al-Bithoh.
5.
Hari Ahir
Tak jauh dengan rukun iman yang diusung oleh sekte
islam lain. Syiah juga mengharuskan iman kepada hari Ahir. Namun lagi-lagi Syi’ah
juga mengharuskan iman kepada imamah agar iman bisa sempurna atau sah.[14]
6.
Qodho’ dan Qodar
Dalam konteks Qodo’ dan Qodar Alloh, rupanya ada
banyak perbedaan teologi pemikiran yang bisa dikelompokkan dalam dua periode. Pertama,
Syi’ah abad ke-3 Hijriyyah hingga sekarang. Pemikiran yang mengikuti teolog Mu’tazilah
yakni menafikan takdir. Kedua, Syi’ah sebelum abad ke-3 hijriyyah
mengikuti teolog Jabariyah yakni menetapkan takdir sebagai hak prerogatife Alloh.[15]
D.
Aqidah-aqidah pokok dan doktrin
golongan Syi’ah
Aliran akan berbeda dengan yang lain bila terjadi
perbedaan mendasar dan dari pokok inilah nanti yang akan menjadikan berbeda
dalam ajaran yang bersifat furu’iyah (cabang). Diantara aqidah-aqidah Syi’ah
yang sangat fundamental adalah:
1.
Imamah
Imamah adalah sebuah konsep kepemimpinan siah yang
merupakan teori mutlaq atau harga mati bagi sekte satu ini. Doktrin inilah yang
mendasari doktrin doktrin Syi’ah yang lain.
Imamah bukan hanya sebuah kepemimpinan dalam masalah
duniawi saja, namun mencangkup pula masalah uhrowi. Imamah tidak dihasilkan dari
sebuah musyawaroh seperti zaman pengangkatan khalifah sebelum Sayyidina Ali dan
saat ini, sebab Imamah adalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan
setelah nabi meskipun bukan Nabi atau Rosul. Hal ini dikarenakan Imamah ditunjuk
langsung oleh dalil-dalil nash sara’. Sehingga dalam pengangkatan Imamah
bukan lah wilayah manusia, melainkan penunjukan langsung oleh sara’.
Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kewahyuan Imamah diantara:
قال
-تعالى-: إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan
zakat, seraya mereka rukuk (sholat kepada Allah). (QS. Al-Maidah: 55)
Ayat ini adalah ayat Al-Wilayah, karena ayat
ini sebagi dalil penunjuk kepemimpinan Sayyidina Ali setelah Rosululloh.
Pertama, melihat Asbabu An-Nuzul ayat diatas, yakni tatkala Sayyidina
Ali bersedekah kepada orang miskin yang sedang meminta-minta di Masjid
Nabawi. Sementara saat itu Sayyidina Ali dalam keadaan rukuk dan tidak
ada satupun dari sahabat yang peduli dengan orang miskin tadi. Hanya Sayyidina
Ali saja yang peduli kemudian Sayyidina Ali bersedekah dengan
memberi isyarat kepada pengemis untuk mengambil pemberian Sayyidina Ali
ketika dalam keadaan rukuk. Jadi, konteks yang sangat jelas akan penunjukan Al-Qur’an
terhadap Sayyidina Ali berkenaan Al-Wilayah setelah Rosululloh.
Kedua, dari segi ilmu penafsiran ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an memakai lafald Innama
(إِنَّمَا),
yang mana di dalam ilmu Bahasa Arab lafald Innama (إِنَّمَا)
menunjukkan penghususan terhadap obyeknya (Tahsisul Hukmi). Karena lafald
Innama (إِنَّمَا)
termasuk salah satu perabot penghusus (Adat At-Tahsis), maka kosekuensi
kata setelah lafald Innama (إِنَّمَا) adalah obyek yang
ditentukan (Mahkum Tahsis). Jadi sangat jelas bahwa Alloh telah menghususkan
kepemimpinan ali setelah nabi Muhammad, bukan penunjukan atas dasar musyawarah.
[16]
Tidak hanya ayat tadi yang menunjukkan kepemimpinan Sayyidina
Ali melewati penunjukan langsung oleh Al-Qur’an. Masih banyak ayat Al-Qur’an
yang senada dengan ayat diatas. Diantaranya:
قال -تعالى-: يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 65)
Ayat ini juga sangat jelas akan kepemimpinan Sayyidina
Ali. Karena ayat ini turun bertepatan tanggal 18 Dzul Hijjah di Ghadir Khun.
Tepatnya ketika Rosulloh pulang dari Haji Wada’ kemudian bersabda tentang menjelaskan
ayat yang baru saja turun perihal pewasiatan kepemimpinan Sayyidina Ali
sebagai imamul wilayah.
وقال
صلى الله عليه وسلم : « من كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من
عاداه
Nabi
bersabda: barang siapa yang menjadiakan aku sebagai maulanya (pemimpin), maka
ali juga sebagai pemimpinya. Ya alloh, cintailah orang yang mencintainya dan
musuhilah orang yang memusuhinya.[17]
Jadi, keberadan ayat Al-Maidah: 65 tadi, Rosululloh
menjelaskan perihal perintah Al-Qur’an dari Alloh yang harus disampaikan dan
keharusan kita menerima apapun yang berasal dari Alloh dan Rosulnya. Karena
bahasa Al-Qur’an yang masih global maka Ulama’ sepakat akan keharusan Al-Hadist
sebagai penjelasnya yang dikenal dengan istilah Tafsir Al-Qur’an Bil Hadist.
Selain Al-Qur’an, banyak sekali Hadist Nabi Muhammad
yang dengan jelas menunjukan kepemimpinan Sayyidina Ali. Diantaranya Hadist
yang diriwayatkan Bukhori Muslim,
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي
وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: «أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ [ مِنْ
مُوسَى ]، إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي».
Dari Sa’id
Bin Abi Waqosh, berkata: Rosululloh bersabda kepada Ali: bagiku, posisimu
sebagaimana Nabi Harun (bagi Nabi Musa) hanya saja tak ada Nabi setelahku.[18]
عن
عمران بن حصين أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :ـ "إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي ." رواه
الترمذي . ( صحيح)
Dari Amrn
Bin Husain,
sesungguhnya Nabi bersabda:
sesunguhnya Ali adalah diriku dan aku adalah dirinya. Dan dia (ali) adalah
kekasih seluruh umat muslim setelahku.(HR. At-Tirmidzi, shohih)[19]
Selain Hadist-Hadist Shohih di atas, ada lagi hadits
yang sangat jelas mengatakan imam Istna Atsaro adalah penerus
kepemimpinan Sayyidina Ali, artinya, Nabi sudah menunjuk jauh-jauh hari,
berkenaan siapakah pengganti setelah Sayyidina Ali dan seterusnya.
Diantaranya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِى شَيْبَةَ قَالاَ حَدَّثَنَا حَاتِمٌ - وَهُوَ ابْنُ إِسْمَاعِيلَ -
عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ مِسْمَارٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ
قَالَ كَتَبْتُ إِلَى جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ مَعَ غُلاَمِى نَافِعٍ أَنْ أَخْبِرْنِى
بِشَىْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فَكَتَبَ
إِلَىَّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ جُمُعَةٍ عَشِيَّةَ
رُجِمَ الأَسْلَمِىُّ يَقُولُ « لاَ يَزَالُ الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى تَقُومَ
السَّاعَةُ أَوْ يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ مِنْ
قُرَيْشٍ »
Agama islam akan terus tegak sampai nanti dating
hari qiyamat atau akan memimpin kalian semua 12 orang khalifah, semuanya dari
suku quraisy (HR. Muslim, shohih 4815)[20]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ
سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
يَقُولُ يَكُونُ اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا - فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ أَسْمَعْهَا
فَقَالَ أَبِي إِنَّهُ قَالَ - كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Al-Mustanna,
bercerita kepadaku Syu’bah dari Abdul Malik aku mendengar Jabir Bin Sumaroh berkata:
aku mendengar Nabi bersabdah: akan ada 12 pemimpin, kemudian Nabi bersabda dengan kalimat yang tidak saya
dengar. Kemudian ayah saya berkata: semuanya dari suku Quraisy. (HR. Bukhori, shohih 7223)[21]
2.
Istmat Al-Imam
Fondasi aqidah Syi’ah yang kedua adalah Itsmat
Al-Imam artinya keterjagaan para imam dari segala bentuk salah, lupa dan
dosa. Jadi, imam dalam hal ini juga mempunyai kesamaan dengan Nabi dari segi
kemaksumannya karena mustahil bagi seorang pemimpin dari seluruh umat jika
tidak mempunyai sifat maksum.
Dalil yang menunjukkan bahwa imam haruslah mempunyai
sifat maksum ada dua. Yakni dalil Naqli dan Aqli:[22]
a.
Dalil naqli terdapat dalam
Al-Qur’an
قال -تعالى-: وَإِذِ ابْتَلَى
إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku".
Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dlalim".(QS.
Al-Baqoroh: 124)
Kata imam di dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa Alloh
menjanjikan keturunan Nabi Ibrohim untuk menjadi imam (إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا). Sedangkan janji Alloh kepada imam adalah
dijauhkan dari sifat dlolim (لاَ
يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ). Jadi, orang-orang yang menyandang
predikat iman harus mempunyai sifat maksum, yang menjauhkan dari sifat dlolim,
sebab dlolim tidak mungkin menjadi sifat bagi orang yang maksum. Sementara
orang yang tidak maksum pasti mempunyai sifat dlolim baik kepada dirinya
sendiri atau dlolim kepada orang lain. Selanjutnya surat Al-Ahzab.
قال -تعالى-: إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. ".(QS. Al-Ahzab:
33)
Ayat di atas lebih jelas lagi, yakni Alloh benar-benar
berjanji ingin membersihkan Ahlul Bait dari segala bentuk dosa dengan
sebersih-bersihnya seperti halnya Nabi. Jadi, jika Alloh sudah berjanji
demikian, maka Ahlul Bait benar-benar maksum atau jauh dari dosa, baik berupa
dosa kecil atau dosa besar, dengan unsur kesengajaan atau lupa.[23]
b.
Dalil Aqli
Kehadiran seorang pemimpin ke dalam suatu komunitas
masyarakat yang tugasnya menuntun dan menunjukkan ke jalan yang lurus dan benar
merupakan suatu keharusan atau keniscayaan. Sementara setiap langkah yang
diambil masyarakat tidak mungkin lepas dari yang namanya kesalahan dan
kekeliruan karena mereka tidak maksum. Oleh karena itu, maksum adalah syarat
mutlaq bagi seorang pemimpin. Dan andaikan seorang pemimpin tidak maksum maka
pemimpin tersebut membutuhkan pemimpin lagi untuk mengarahkan dan menunjukkan
ke jalan yang benar. Sehingga akan terjadi mata rantai yang tidak berujung
pangkal (tasalsul) dan itu sangat mustahil terjadi atau akal tidak bisa
menerima akan kebenaranya. [24]
3.
Mahdiyyah
Mahdiyyah adalah percaya akan keberadaan Imam Mahdi dan
kebangkitanya kelak nanti menjelang hari Qiyamat dengan misi tertentu demi
menegakkan keadilan yang pernah direbut oleh orang lain.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الرَّقِّىُّ حَدَّثَنَا
أَبُو الْمَلِيحِ الْحَسَنُ بْنُ عُمَرَ عَنْ زِيَادِ بْنِ بَيَانٍ عَنْ عَلِىِّ
بْنِ نُفَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « الْمَهْدِىُّ مِنْ
عِتْرَتِى مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ ».
Rosululloh bersabda: Al-Mahdi adalah dari
keturunanku cucu dari Fatimah rodliyaollohu ‘anha. (HR.
Sunan Abi Dawud, 3735)[25]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا
محمد بن جعفر ثنا عوف عن أبي الصديق الناجي عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله
صلى الله عليه و سلم : لا تقوم الساعة حتى تمتلئ الأرض ظلما وعدوانا قال ثم يخرج
رجل من عترتي أو من أهل بيتي يملؤها قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وعدوانا
Rosululloh bersabda: Qiyamat tidak akan terjadi
kecuali bumi sudah penuh dengan kedlaliman dan permusuhan” beliau
melanjutkan”lalu akan muncul laki laki dari keturunanku atau ahli baitku yang
akan mengisi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi kedlaliman dan
permusuhan (HR. Musnad Ahmad, 10887)[26]
4.
Roj’ah
Selanjutnya termasuk doktrin Syi’ah adalah Roj’ah.
Rojah adalah ingkarnasi Ahlul Bait dan orang orang yang pernah memusuhinya.
Dimana sebenarnya Roj’ah ini adalah episud lanjutan dari kedatanganya misi Al-Mahdi
sebagai penegak keadilan di bumi menjelang hari Qiyamat. Sedangkan dalil Al-Qur’an
yang menunjukkan adanya konsep Roj’ah adalah:
قال -تعالى-: وَحَرَامٌ عَلَى
قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَنَّهُمْ لا يَرْجِعُونَ
Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri
yang telah Kami binasakan, untuk mereka tidak akan kembali (ke dunia) (QS.
Al-Anbiya’: 95).
Dari ayat diatas jelas bahwa adanya penafian dari kata
(وَحَرَامٌ)
yang menafikan kalam setelahnya yakni (لا يَرْجِعُونَ).
Artinya, dilihat dari ilmu tafsirnya bahwa ketika kalimat naïf (negatif)
bertemu dengan kalimat nafi maka akan menjadi hilangnya hukum naïf tersebut (Itsbat).
Jadi, tidaklah mungkin orang bumi tidak akan kembali. Atau mereka pasti akan
kembali lagi.[27]
5.
Bada’
Bada’ bisa diartikan timbulnya pemikiran baru.
Misalnya kita mengambil suatu keputusan dengan berbagai pertimbangan yang
matang, buah pikiran ini selanjutnya dipublikasikan dalam sebuah karya yang
nyata. Kemudian selang beberapa waktu keputusan itu menurut kita ada yang
kurang tepat yang mengharuskan kita untuk mengganti model lain yang sesuai
dengan ide yang baru. Namun hal ini bukan kepada manusia. Bada’ yang dimaksud
adalah Alloh. Artinya Alloh melakukan suatu berubah-ubah sesuai kehendak Alloh.
Dalil bada’ adalah :
قال -تعالى-: يَمْحُو اللَّهُ
مَا يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan
(apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lohmahfuz). (QS.
Al-Ro’d: 39).[28]
6.
Taqiyyah
Secara kebahasaan taqiyyah berasal dari kata Ittaqoitu
Asy-Syai’a yang berarti saya mewaspadai sesuatu. Secara terminologi berarti
menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan maksud hati. Artinya diperbolehkan
mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan hati dalam rangka
menyelamatkan diri dari orang atau golongan yang tidak sepaham dengan Syi’ah.
Seperti mengucapkan kalimat kufur tatkala berhadapan dengan orang kafir atau
bahkan dengan orang sesama islam yang tidak sepaham. Dalil yang melatar
belakangi taqiyyah :
قال -تعالى-: لاَّ يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu). (QS. Al-Imron: 28).
قال -تعالى-: مَن كَفَرَ
بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar. (QS. Al-Nahl 106).[29]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Imamah, adalah faktor utama dari idiologi Syi’ah dari
segala sisi dan furu’iyah yang melekat pada golongan Syi’ah. Dan konsep imamah
inilah yang membedakan Syi’ah dengan sekte yang lain. Jika ditinjau dari sisi
historisnya, ternyata Syi’ah bukan lah sekte yang muncul dengan begitu saja,
melainkan bermula dari perhelatan yang sangat panjang dan dengan kajian yang
sangat mendalam. Baik dari petunjuk naqli dan aqli, Syi’ah sangat matang dalam
menelorkan idiologinya.
- Saran kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat umum, artinya kami
hanya menyajikan pokok pokok aqidah siah dari sisi imbas imamah. Dan belum
menjamah pada ranah sejarah, isi alquran siah, dan lain lain secara detail.
Untuk itu kami juga harus membatasi topic pembahasan ini pada aqidah pokok siah
tidak pada detail cabag cabang sekte siah yang jumlahnya puluhan bahkan
ratusan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qusyairi, Abu al-Hasan Muslim ibn al-Hajaj, Shahih
Muslim No:4815, Juz: 6, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Al-Bukhory, Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin
Mughiroh, Shahih Bukhory No: 7223, Juz: 9, Maktabah Tsamilah, Versi:
10.000.
Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan,
Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005
Al-Musawi,
Musa, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah, Jakarta: Qolam, 1995.
Tim Penulis
Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Uhuwah? Pasuruan:
Pustaka Sidogiri, 2007.
Nasir Ibn
Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah Istnay Asaro Juz: 2, Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000
Muhammad, Musthofa bin, Usul Wa Tarikh Juz: 1,
Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Ibn Sa’id, Abdurrohman, I’tiqot Syi’ah Istnay Asaro Juz:1, Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000.
Al-Ghofid, Yusuf, Syarh Al-Thohawah Juz: 1,
Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Mathor, Badwi, Baroatul Asyhab, Juz: 1, Maktabah Tsamilah, Versi:
10.000.
Sulaiman, Abu
Dawud, Sunan Abi Dawud No: 3735, Juz: 4, Maktabah Tsamilah,
Versi: 10.000.
Ibn Hambal, Ahmad, Musnad Ahmad Bin Hambal No: 3735,
Juz: 3, Maktabah Tsamilah, Versi:
10.000. Tt.
[1] Musa Al-Musawi,
Meluruskan Penyimpangan Syi’ah (Jakarta: Qolam, 1995), Hlm: 15
[2] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Uhuwah?
(Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2007), Hlm: 33.
[3] Nasir
Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah Istnay Asaro Juz: 2, (Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 590 lihat: الشيعة، لأنهم شايعوا علياً - رضوان الله عليه dan يقول
الشهرستاني: "الشيعة هم الذين شايعوا علياً
[4] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 34.
[5] Tim
Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, Lirboyo: Tamatan Aliyah
Lirboyo, 2005
[6] Ibid,
Hlm: 37.
[7] Musthofa
bin Muhammad, Usul Wa Tarikh Juz: 1, (Maktabah Tsamilah, Versi:
10.000), Hlm: 162 lihat: فرق الشيعة
[8] Ibid,
Hlm: 37
[9] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 34 dan Nasir
Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah ,..Hlm: 590
[10]
Abdurrohman Ibn Sa’id, I’tiqot Syi’ah
Istnay Asaro Juz:1(Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), hlm:54
[11] Nasir
Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah Istnay Asaro Juz: 2, (Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 590
[12] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 91
[13]
Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah,…. Hlm: 593 lihat : إن
الله تعالى لما قبض نبيه صلى الله عليه وسلم دخل على فاطمة عليها السلام من وفاته
من الحزن ما لا يعلمه إلا الله عز وجل، فأرسل الله إليها ملكًا يسلي غمها ويحدثها
فشكت ذلك إلى أمير المؤمنين رضي الله عنه فقال: إذا أحسست بذلك، وسمعت الصوت قولي لي، فأعلمته
بذلك، فجعل أمير المؤمنين رضي الله عنه يكتب كل ما سمع حتى أثبت من ذلك مصحفًا..
أما إنه ليس فيه شيء من الحلال والحرام ولكن فيه علم ما يكون" [أصول الكافي:
1/240، بحار الأنوار: 26/44، بصائر الدرجات: ص43.].
[14] Nasir
Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah,…. Hlm: 593 lihat : وهذه حيلة ماكرة من واضعي هذه النصوص لإنكار أمر اليوم الآخر بالكلية dan قول صاحب الكافي
في أخباره: "الآخرة للإمام يضعها حيث يشاء ويدفعها إلى من يشاء جائز له ذلك
من الله" [أصول الكافي: 1/409
[15] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri,,… Hlm: 128.
[16] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 135
[17]
Abdurrohman Ibn Sa’id, I’tiqot Syi’ah
Istnay Asaro Juz:1(Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), hlm:54
[18]Yusuf
Al-Ghofid, Syarh Al-Thohawah Juz: 1, (Maktabah Tsamilah, Versi:
10.000), Hlm: 494
[19] Dr. Badwi
Mathor, Baroatul Asyhab, Juz: 1,
(Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 94
[20] Abu
al-Hasan Muslim ibn al-Hajaj Al-Qusyairi, Shahih Muslim No:4815, Juz: 6,
(Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 4
[21]
Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh Al-Bukhory, Shahih Bukhory No: 7223,
Juz: 9, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 101
[22] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 194
[23] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 197
[24]
Ibid, Hlm: 34
[25] Abu
Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud No: 3735, Juz: 4, (Maktabah
Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 174
[26] Ahmad
Ibn Hambal, Musnad Ahmad Bin Hambal No: 3735, Juz: 3 (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 36
[27] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 235
[28] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 263
[29] Tim
Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 290
Tidak ada komentar:
Posting Komentar