Halaman

Liat Siapa مزكي احمد

Jumat, 22 Maret 2013

ilmu kalam syi'ah


syi'ah


BAB  I
PENDAHULUAN

A.                         Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama kasih sayang “Rohmatan Lil Alamin”, universal. Islam itu din (agama), dunya (dunia) dan daulah (negara/politik); Islam adalah sistem keyakinan dan sistem hukum dan sebagai agama yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman. Islam dilihat dari sisi historisnya mulai abad awal Hijriyyah pasti akan menyakut sekte yang dikenal dengan Syi’ah. Dipungkiri atau tidak, umat Islam sangat terpecah belah masa itu. Tidak hanya berbeda dalam prespektif politik saja, bahkan interpretasi sekte satu dengan yang lain dalam mensifati Tuhan, Al-Qur’an apalagi segala sesuatu yang bersifat furu’iyah sudah sangat berbeda jauh.
Syi’ah lebih menojol dalam doktrin fundamentalnya, yakni tentang Imamah, karena itu tak heran jika semua nanti akan berujung pada konsep Imamahnya. Dari itu, kita akan bahas apa saja yang dihasilkan dari pembiasan konsep Imamah Syi’ah.

B.                          Rumusan  masalah
1.      Siapa golongan Syi’ah?
2.      Bagaimana akidah golongan Syi’ah ?
3.      Bagaimana doktrin golongan Syi’ah?

C.                         Tujuan pembahasan
1.      Untuk mengetahui golongan Syi’ah?
2.      Untuk mengetahui akidah golongan Syi’ah ?
3.      Untuk mengetahui doktrin golongan Syi’ah









BAB  II
PEMBAHASAN

A.                         Munculnya golongan Syi’ah
Secara etimologi Asy-Syi’ah dalam bahasa Arab berarti pengikut atau pendukung. Sementara dalam kajian sekte-sekte Islam, secara terminologi Syi’ah adalah golongan yang mendukung Sayyidina Ali Bin Abi Tholib secara husus dan berkeyakinan bahwa hanya Sayyidina Ali Bin Abi Tholib sajalah yang berhak menjadi khalifah, dengan adanya dalil nash dan wasiyat dari Rosululloh, baik secara tersurat maupun tersirat. Dan Syi’ah beranggapan bahwa hak Imamah (menjadi pemimpin umat islam) hanya keluar dari keturunan Ahlul Bait. Jadi seandainya ada Imamah yang bukan dari keturunan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib maka pasti ada kedloliman di dalam politik dari pihak lain atau Imam sedang menerapkan konsep Taqiyyah.[1]
Menurut Ibn Hazm definisi Syi’ah lebih umum lagi, yakni siapapun yang berkeyakinan bahwa Imamah adalah hak prerogratif dari keturunan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib saja dan tidak boleh dari yang lainnya. Oleh karena itu, orang yang mempunyai keyakinan tersebut, sudah masuk kategori Syi’ah.[2] Berbeda halnya dengan Asy-Ariyah dan Syahrustani mendefinisikan siah adalah pendukung ali.[3]
Semasa Nabi Muhammad masih hidup, segala masalah langsung disodorkan kepada baginda Nabi. Nabi menjadi rujukan pertama baik masalah yang berkaitan keagamaan maupun masalah duniawi. Jadi, ketika ada suatu masalah, para sahabat langsung menanyakan kepada nabi dan jawaban nabi sebagai jawaban finalnya yang tidak mungkin ada perbedaan dari para sahabat. Kemudian setelah baginda Nabi wafat, tidak ada lagi otoritas tunggal dalam tubuh islam.[4]
Setelah Rosululloh meninggal, mulai nampak perbedaan mengenai siapakah yang berhak menggantikan kepemimpinan (khalifah) umat islam. Ahirnya para pembesar islam memutuskan Abu Bakar As-Sidiq yang menjdi khalifah setelah Nabi wafat.[5]
Awal munculnya Syi’ah sampai saat ini masih menjadi perdebatan oleh ahli sejarah, bahkan di dalam golongan Syi’ah sendiri belum ada satu kesepakatan antara penulis satu dengan penulis lain.
Menurut sebagian penulis Syi’ah mengatakan, bahwa awal munculnya Syi’ah  sejak baginda Nabi masih hidup. Tepatnya sejak risalah Nabi turun, sudah ada kelompok kecil yang memihak kepada Sayyidina Ali Bin Abi Tholib. Artinya Nabi lah peletak batu pertama menculnya kelompok Syi’ah ini. Karena menurut mereka, nama Syi’ah inipun juga pemberian dari Nabi Muhammad SAW.
Dari garis sejarah lain mengatakan bahwa kemunculan siah tak lain karena seorang yahudi yang bernama Abdulloh Bin Saba’. Abdulloh Bin Saba’ popular dengan nama As-Sauda’. Ia adalah orang yahudi, yang pura pura masuk islam pada masa Sayyidina Utsman Bin Affan. dan tidak mencerminkan kepribadian muslim. Saat kepemimpinan Sayyidina Utsman Bin Affan, Abdulloh Bin Saba’ sering diasingkan dari komunitas muslim. Awalnya Abdulloh Bin Saba’ dibuang ke Basroh. Di Basroh Abdulloh Bin Saba’ diusir oleh Abdulloh Bin Amir dan melarikan diri ke Kuffah lalu ke negeri Syam dan kemudian sampai ke Mesir. Di Mesir lah Abdulloh Bin Saba’ memulai rencananaya untuk membuat propaganda mempeengaruhi banyak orang agar ikut memusuhi Sayyidina Utsman Bin Affan.
Isi propaganda Abdulloh Bin Saba’ adalah Sayyidina Utsman Bin Affan telah merampas hak Sayyidina Ali Bin Abi Tholib sebagai pengganti Nabi. Secara diam diam Abdulloh Bin Saba’ juga mempengaruhi orang mesir untuk memihak kepada Ahlul Bait. Dia menegaskan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Tholib satu satunya orang yang mendapat wasiat dan ditunjuk langsung oleh Nabi untuk menggantikannya. Dari sinilah Abdulloh Bin Saba’ memulai untuk membuat fitnah kepada kaum muslim yang ahirnya berdiri sekte Syi’ah.
Peristiwa perng Jamal, sifin dan kemudian terbunuhnya Sayyidina Ali Bin Abi Tholib besrta putranya Husain, menjadi bahan Abdulloh Bin Saba’ untuk menyuburkan faham idiologi Syi’ah akan kecondongan yang berlebihan kepada Ahlul Bait. Kuffah adalah sasaran empuk bagi Abdulloh Bin Saba’ untuk memperbesar fitnahnya demi memecah belah umat islam.[6]
B.                          Ragam aliran Syi’ah
Pada mulanya Syi’ah sepakat bahwa yang menjadi imam pertama adalah Sayyidina Ali Bin Abi Tholib kemudian diteruskan Sayyidina Husain lalu Sayyidina Hasan Bin Ali. Namun, setelah itu mulai nampak perpecahan di tubuh Syi’ah. Inti dari perbedaan sekte dalam Syi’ah adalah tentang Imamah. Siapakah yang berhak menggantikan khalifah sepeninggal Sayyidina Hasan Bin Ali wafat.
Dari sini kemudian muncul dua kelompok besar dalam menentukan siapa pengganti Imamah setelah Sayyidina Hasan Bin Ali. Kelompok pertama berpendapat yang berhak adalah Sayyidina Ali Bin Husain Zainal Abidin, cucu Sayyidina Ali dari Sayyidina Husain. Kelompok kedua berpendapat yang berhak meneruskan imam adalah Muhammad Bin Hanafiyah, putra Sayyidina Ali dari istri Sayyidina Ali selain dengan Sayyidah Fatimah. Dari dua kelompok ini terus menerus terjadi perpecahan hingga ratusan kelompok. Namun dari ratusan kelompok itu, bisa dikerucutkan menjadi empat kelompok besar.[7]
1.      Syiah Kaisaniyah
Nama Kainaisiah diambil dari nama bekas budak Sayyidina Ali, Kaisan. Atau dari Muhthar Bin Abi Ubaid yang punya laqob (julukan) Kaisan. Syi’ah Kainisiayah meyakini bahwa penerus kepemimpinan setalah wafatnya Sayyidina Hasan Bin Ali beralih kepada Sayyidina Muhammad Bin Hanafiyah.
2.      Syiah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah Syi’ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid Bin Ali Bin Husain Zainal Abidin setelah kepemimpinan Sayyidina Hasan Bin Ali.
3.      Syi’ah Ghulat
Syi’ah Ghulat adalah golongan yang sangat berlebih-lebihan dalam memuji Sayyidina Ali atau imam-imam Syi’ah dengan menganggap bahwa para imam-imam Syi’ah bukan lah manusia, melinkan jelmaan Tuhan atau bahkan imam adalah Tuhan itu sendiri.
4.      Syiah Imamah
Syi’ah Imamah adalah golongan yang sangat meyakini Sayyidina Ali sebagi pemimpin satu-satunya yang mendapat wasiat dari Rosululloh dengan petunjuk yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan imam imam sebelum Sayyidina Ali dan mereka telah dlolim kepada Sayyidina Ali.[8]



C.                         Rukun iman golongan Syi’ah
Dalam masalah rukun iman Syi’ah hampir tidak ada bedanya dengan sekte yang lain, begitu juga dengan dalil yang dipakai yakni Surat Al-Baqoroh Ayat 177 yang berbunyi :
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ الاية
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi (Al-Baqoroh Ayat :177)
Namun ada konsep fundamental dalam rukun iman Syi’ah adalah Imamah. Maka dari enam rukun iman tidak lah sempurna atau tidak diterima jika iman kepada imamah tidak ada dalam diri mukmin.
1.      Uluhiyah
Mengenai Uluhiyah, Syi’ah meyakini bahwa Alloh itu Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Syi’ah menghukumi kafir bagi orang yang menyekutukan alloh. Dan menghukumi muslim orang yang bersyahadatain. Namun tidak hanya syahat, Syi’ah menganggap, iman belum sempurna (musrik) orang yang tidak mengimani Imamah.[9] Jadi, kepemimpinan imam Ali dan imam-imam setelahnya merupakan syarat mutlak agar seseorang bisa dikatakan beriman. Dalil Al-Qur’an yang melandasi iman Syi’ah adalah:
قال -تعالى-: قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزِلَ عَلَيْنَا
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami (Al-Baqoroh Ayat :136)
قال -تعالى-: وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi(QS. Al-Zumar ayat 65)
Ayat di atas mengharuskan umat Islam untuk mengimani segala hal yang datang dari alloh melalui Nabi Muhammad SAW. Dan konsekuensi kufur bagi orang yang ingkar kepada Al-Qur’an dan nabi. Kufur dalam ayat diatas memasukkan juga kekufuran bagi orang yang tidak mempercayai imam Ali dengan kepemimpinanya. Sebab, kepemimpinan Ali adalah kepemiminana yang sah dari wasiat Nabi Muhammad. Artinya, apapun yang berasal dari Nabi harus di imani. Termasuk di dalamnya wasiat Nabi tentang kepemimpinan Ali sebagai pengganti Nabi. Karena Al-Qur’an masih bersifat global dan harus membutuhkan penjelasan dari Hadist. Maka ketika Al-Qur’an ditafsiri dengan Hadis mutawatir yang mengisyaratkan atas wasiat kepemimpinan jatuh kepada Sayyidina Ali maka hal itu menjadi penafsiran yang kuat. Sangat banyak sekali Hadist Nabi, baik yang berupa Hadist Mutawatir maupun yang Hadist Ahadi yang berbunyi kepemimpinan Ali, diantaranya yang paling terkenal adalah pernyataan Nabi Muhammad di suatu tempat yang bernama Ghadir Khun. Tepatnya saat beliau pulang dari Haji Wada’.
وقال صلى الله عليه وسلم : « من كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه
Nabi bersabda: barang siapa yang menjadiakan aku sebagai maulanya (pemimpin), maka ali juga sebagai pemimpinya. Ya alloh, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.[10]
2.      Malaikat
Mempercayai akan keberadaan malaikat sebagai mahluknya Alloh juga sebagai Rukun Islam. Dan Syi’ah juga meyakini bahwa Alloh memberikan tugas yang bermacam-macam untuk para Ahlul Bait. Begitu juga Alloh menciptakan Malaikat dari cahaya wajahnya Ahlul Bait. Banyak sekali riwayat yang menyatakan akan tugas Malaikat, penciptaan Malaikat bahkan fungsi Malaikat untuk para Ahlul Bait, diantaranya.
أن رسول الله ( قال : › خلق الله من نور وجه علي بن أبي طالب ع سبعين ألف ملك , يستغفرون له ولمحبِّيه إلى يوم القيامة ›
Sesungguhnya rosululloh bersabda :Alloh menciptakan 70.000 malaikat dari cahaya wajah saidina ali bin abi tholib yang memohonkan ampun untuk beliau dan para pengikut beliau hingga hari qiyamat.[11]
3.      Nubuwah
Mengimani Nabi sebagi utusan Alloh termasuk pilar rukun iman, orang yang tidak meyakini Nabi akan mendapat predikat Kafir. Begitu pula orang yang hanya iman kepada Nabi dan tidak mengimani Imamah. Dengan dalil yang sangat jelas baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah seperti diatas. (Al-Baqoroh Ayat :136 , Surat Al-Zumar ayat 65 dan Al-Baqoroh Ayat :177 ).[12]

4.      Kitabulloh
Syi’ah menempatkan iman kepada kitabulloh sebagai rukun iman. Bahkan Syi’ah berkeyakinan kitabulloh yang diturunkan oleh Alloh tidak hanya Al-Qur’an Utsmany saja. Dengan kata lain, Alloh juga menurunkan Al-Qur’an kepada Syi’ah dan tidak masuk ke dalam Al-Qur’an yang sekarang ini. Diantaranya:
a.       Mushaf Fatimah
Mushaf yang diturunkan oleh Alloh kepada Fatimah pasca wafatnya Rosululloh. Lantaran kesedihan Fatimah Az-Zahro’ Alloh menghiburnya dengan memberikan Mushaf lewat dua Malikat yang kemudian didengar oleh Amirul Mukminin yang semuanya tidak menerangkan halal haram melainkan tentang peristiwa-peristiwa. Ahirnya disebutlah dengan nama Mushaf Fatimah.[13]
b.      Mushaf Al-Ja’far
c.       Mushaf Al-Jam’iyah,
d.      Mushaf An-Namus dan Al-Bithoh.
5.      Hari Ahir
Tak jauh dengan rukun iman yang diusung oleh sekte islam lain. Syiah juga mengharuskan iman kepada hari Ahir. Namun lagi-lagi Syi’ah juga mengharuskan iman kepada imamah agar iman bisa sempurna atau sah.[14]
6.      Qodho’ dan Qodar
Dalam konteks Qodo’ dan Qodar Alloh, rupanya ada banyak perbedaan teologi pemikiran yang bisa dikelompokkan dalam dua periode. Pertama, Syi’ah abad ke-3 Hijriyyah hingga sekarang. Pemikiran yang mengikuti teolog Mu’tazilah yakni menafikan takdir. Kedua, Syi’ah sebelum abad ke-3 hijriyyah mengikuti teolog Jabariyah yakni menetapkan takdir sebagai hak prerogatife Alloh.[15]
D.                         Aqidah-aqidah pokok dan doktrin golongan Syi’ah
Aliran akan berbeda dengan yang lain bila terjadi perbedaan mendasar dan dari pokok inilah nanti yang akan menjadikan berbeda dalam ajaran yang bersifat furu’iyah (cabang). Diantara aqidah-aqidah Syi’ah yang sangat fundamental adalah:

1.      Imamah
Imamah adalah sebuah konsep kepemimpinan siah yang merupakan teori mutlaq atau harga mati bagi sekte satu ini. Doktrin inilah yang mendasari doktrin doktrin Syi’ah yang lain.
Imamah bukan hanya sebuah kepemimpinan dalam masalah duniawi saja, namun mencangkup pula masalah uhrowi. Imamah tidak dihasilkan dari sebuah musyawaroh seperti zaman pengangkatan khalifah sebelum Sayyidina Ali dan saat ini, sebab Imamah adalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan setelah nabi meskipun bukan Nabi atau Rosul. Hal ini dikarenakan Imamah ditunjuk langsung oleh dalil-dalil nash sara’. Sehingga dalam pengangkatan Imamah bukan lah wilayah manusia, melainkan penunjukan langsung oleh sara’.
Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kewahyuan Imamah diantara:
قال -تعالى-: إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk (sholat kepada Allah). (QS. Al-Maidah: 55)
Ayat ini adalah ayat Al-Wilayah, karena ayat ini sebagi dalil penunjuk kepemimpinan Sayyidina Ali setelah Rosululloh. Pertama, melihat Asbabu An-Nuzul ayat diatas, yakni tatkala Sayyidina Ali bersedekah kepada orang miskin yang sedang meminta-minta di Masjid Nabawi. Sementara saat itu Sayyidina Ali dalam keadaan rukuk dan tidak ada satupun dari sahabat yang peduli dengan orang miskin tadi. Hanya Sayyidina Ali saja yang peduli kemudian Sayyidina Ali bersedekah dengan memberi isyarat kepada pengemis untuk mengambil pemberian Sayyidina Ali ketika dalam keadaan rukuk. Jadi, konteks yang sangat jelas akan penunjukan Al-Qur’an terhadap Sayyidina Ali berkenaan Al-Wilayah setelah Rosululloh. Kedua, dari segi ilmu penafsiran ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an memakai lafald Innama (إِنَّمَا), yang mana di dalam ilmu Bahasa Arab lafald Innama (إِنَّمَا) menunjukkan penghususan terhadap obyeknya (Tahsisul Hukmi). Karena lafald Innama (إِنَّمَا) termasuk salah satu perabot penghusus (Adat At-Tahsis), maka kosekuensi kata setelah lafald Innama (إِنَّمَا) adalah obyek yang ditentukan (Mahkum Tahsis). Jadi  sangat jelas bahwa Alloh telah menghususkan kepemimpinan ali setelah nabi Muhammad, bukan penunjukan atas dasar musyawarah. [16]
Tidak hanya ayat tadi yang menunjukkan kepemimpinan Sayyidina Ali melewati penunjukan langsung oleh Al-Qur’an. Masih banyak ayat Al-Qur’an yang senada dengan ayat diatas. Diantaranya:
قال -تعالى-: يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 65)
Ayat ini juga sangat jelas akan kepemimpinan Sayyidina Ali. Karena ayat ini turun bertepatan tanggal 18 Dzul Hijjah di Ghadir Khun. Tepatnya ketika Rosulloh pulang dari Haji Wada’ kemudian bersabda tentang menjelaskan ayat yang baru saja turun perihal pewasiatan kepemimpinan Sayyidina Ali sebagai imamul wilayah.
وقال صلى الله عليه وسلم : « من كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه
Nabi bersabda: barang siapa yang menjadiakan aku sebagai maulanya (pemimpin), maka ali juga sebagai pemimpinya. Ya alloh, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.[17]
Jadi, keberadan ayat Al-Maidah: 65 tadi, Rosululloh menjelaskan perihal perintah Al-Qur’an dari Alloh yang harus disampaikan dan keharusan kita menerima apapun yang berasal dari Alloh dan Rosulnya. Karena bahasa Al-Qur’an yang masih global maka Ulama’ sepakat akan keharusan Al-Hadist sebagai penjelasnya yang dikenal dengan istilah Tafsir Al-Qur’an Bil Hadist.
Selain Al-Qur’an, banyak sekali Hadist Nabi Muhammad yang dengan jelas menunjukan kepemimpinan Sayyidina Ali. Diantaranya Hadist yang diriwayatkan Bukhori Muslim,
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: «أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ [ مِنْ مُوسَى ]، إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي».
Dari Sa’id Bin Abi Waqosh, berkata: Rosululloh bersabda kepada Ali: bagiku, posisimu sebagaimana Nabi Harun (bagi Nabi Musa) hanya saja tak ada Nabi setelahku.[18]
عن عمران بن حصين أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :ـ "إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي ." رواه الترمذي . ( صحيح)
Dari Amrn Bin Husain, sesungguhnya Nabi bersabda: sesunguhnya Ali adalah diriku dan aku adalah dirinya. Dan dia (ali) adalah kekasih seluruh umat muslim setelahku.(HR. At-Tirmidzi, shohih)[19]
Selain Hadist-Hadist Shohih di atas, ada lagi hadits yang sangat jelas mengatakan imam Istna Atsaro adalah penerus kepemimpinan Sayyidina Ali, artinya, Nabi sudah menunjuk jauh-jauh hari, berkenaan siapakah pengganti setelah Sayyidina Ali dan seterusnya. Diantaranya:
 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ قَالاَ حَدَّثَنَا حَاتِمٌ - وَهُوَ ابْنُ إِسْمَاعِيلَ - عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ مِسْمَارٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَ كَتَبْتُ إِلَى جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ مَعَ غُلاَمِى نَافِعٍ أَنْ أَخْبِرْنِى بِشَىْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فَكَتَبَ إِلَىَّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ جُمُعَةٍ عَشِيَّةَ رُجِمَ الأَسْلَمِىُّ يَقُولُ « لاَ يَزَالُ الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ أَوْ يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ »
Agama islam akan terus tegak sampai nanti dating hari qiyamat atau akan memimpin kalian semua 12 orang khalifah, semuanya dari suku quraisy (HR.  Muslim, shohih 4815)[20]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ يَكُونُ اثْنَا عَشَرَ أَمِيرًا - فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ أَسْمَعْهَا فَقَالَ أَبِي إِنَّهُ قَالَ - كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ.
Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Al-Mustanna, bercerita kepadaku Syu’bah dari Abdul Malik aku mendengar Jabir Bin Sumaroh berkata: aku mendengar Nabi bersabdah: akan ada 12 pemimpin, kemudian  Nabi bersabda dengan kalimat yang tidak saya dengar. Kemudian ayah saya berkata: semuanya dari suku Quraisy. (HR.  Bukhori, shohih 7223)[21]
2.      Istmat Al-Imam
Fondasi aqidah Syi’ah yang kedua adalah Itsmat Al-Imam artinya keterjagaan para imam dari segala bentuk salah, lupa dan dosa. Jadi, imam dalam hal ini juga mempunyai kesamaan dengan Nabi dari segi kemaksumannya karena mustahil bagi seorang pemimpin dari seluruh umat jika tidak mempunyai sifat maksum.
Dalil yang menunjukkan bahwa imam haruslah mempunyai sifat maksum ada dua. Yakni dalil Naqli dan Aqli:[22]
a.      Dalil naqli terdapat dalam Al-Qur’an
قال -تعالى-: وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dlalim".(QS. Al-Baqoroh: 124)
Kata imam di dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa Alloh menjanjikan keturunan Nabi Ibrohim untuk menjadi imam (إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا). Sedangkan janji Alloh kepada imam adalah dijauhkan dari sifat dlolim (لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ). Jadi, orang-orang yang menyandang predikat iman harus mempunyai sifat maksum, yang menjauhkan dari sifat dlolim, sebab dlolim tidak mungkin menjadi sifat bagi orang yang maksum. Sementara orang yang tidak maksum pasti mempunyai sifat dlolim baik kepada dirinya sendiri atau dlolim kepada orang lain. Selanjutnya surat Al-Ahzab.
قال -تعالى-: إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".(QS. Al-Ahzab: 33)
Ayat di atas lebih jelas lagi, yakni Alloh benar-benar berjanji ingin membersihkan Ahlul Bait dari segala bentuk dosa dengan sebersih-bersihnya seperti halnya Nabi. Jadi, jika Alloh sudah berjanji demikian, maka Ahlul Bait benar-benar maksum atau jauh dari dosa, baik berupa dosa kecil atau dosa besar, dengan unsur kesengajaan atau lupa.[23]
b.      Dalil Aqli
Kehadiran seorang pemimpin ke dalam suatu komunitas masyarakat yang tugasnya menuntun dan menunjukkan ke jalan yang lurus dan benar merupakan suatu keharusan atau keniscayaan. Sementara setiap langkah yang diambil masyarakat tidak mungkin lepas dari yang namanya kesalahan dan kekeliruan karena mereka tidak maksum. Oleh karena itu, maksum adalah syarat mutlaq bagi seorang pemimpin. Dan andaikan seorang pemimpin tidak maksum maka pemimpin tersebut membutuhkan pemimpin lagi untuk mengarahkan dan menunjukkan ke jalan yang benar. Sehingga akan terjadi mata rantai yang tidak berujung pangkal (tasalsul) dan itu sangat mustahil terjadi atau akal tidak bisa menerima akan kebenaranya. [24]
3.      Mahdiyyah
Mahdiyyah adalah percaya akan keberadaan Imam Mahdi dan kebangkitanya kelak nanti menjelang hari Qiyamat dengan misi tertentu demi menegakkan keadilan yang pernah direbut oleh orang lain.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الرَّقِّىُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْمَلِيحِ الْحَسَنُ بْنُ عُمَرَ عَنْ زِيَادِ بْنِ بَيَانٍ عَنْ عَلِىِّ بْنِ نُفَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « الْمَهْدِىُّ مِنْ عِتْرَتِى مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ ».
Rosululloh bersabda: Al-Mahdi adalah dari keturunanku cucu dari Fatimah rodliyaollohu ‘anha.  (HR.  Sunan Abi Dawud, 3735)[25]
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا عوف عن أبي الصديق الناجي عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا تقوم الساعة حتى تمتلئ الأرض ظلما وعدوانا قال ثم يخرج رجل من عترتي أو من أهل بيتي يملؤها قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وعدوانا
Rosululloh bersabda: Qiyamat tidak akan terjadi kecuali bumi sudah penuh dengan kedlaliman dan permusuhan” beliau melanjutkan”lalu akan muncul laki laki dari keturunanku atau ahli baitku yang akan mengisi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi kedlaliman dan permusuhan (HR.  Musnad Ahmad, 10887)[26]
4.      Roj’ah
Selanjutnya termasuk doktrin Syi’ah adalah Roj’ah. Rojah adalah ingkarnasi Ahlul Bait dan orang orang yang pernah memusuhinya. Dimana sebenarnya Roj’ah ini adalah episud lanjutan dari kedatanganya misi Al-Mahdi sebagai penegak keadilan di bumi menjelang hari Qiyamat. Sedangkan dalil Al-Qur’an yang menunjukkan adanya konsep Roj’ah adalah:
قال -تعالى-: وَحَرَامٌ عَلَى قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَنَّهُمْ لا يَرْجِعُونَ
Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan, untuk mereka tidak akan kembali (ke dunia) (QS. Al-Anbiya’: 95).
Dari ayat diatas jelas bahwa adanya penafian dari kata (وَحَرَامٌ) yang menafikan kalam setelahnya yakni (لا يَرْجِعُونَ). Artinya, dilihat dari ilmu tafsirnya bahwa ketika kalimat naïf (negatif) bertemu dengan kalimat nafi maka akan menjadi hilangnya hukum naïf tersebut (Itsbat). Jadi, tidaklah mungkin orang bumi tidak akan kembali. Atau mereka pasti akan kembali lagi.[27]
5.      Bada’
Bada’ bisa diartikan timbulnya pemikiran baru. Misalnya kita mengambil suatu keputusan dengan berbagai pertimbangan yang matang, buah pikiran ini selanjutnya dipublikasikan dalam sebuah karya yang nyata. Kemudian selang beberapa waktu keputusan itu menurut kita ada yang kurang tepat yang mengharuskan kita untuk mengganti model lain yang sesuai dengan ide yang baru. Namun hal ini bukan kepada manusia. Bada’ yang dimaksud adalah Alloh. Artinya Alloh melakukan suatu berubah-ubah sesuai kehendak Alloh. Dalil bada’ adalah :
قال -تعالى-: يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lohmahfuz). (QS. Al-Ro’d: 39).[28]
6.      Taqiyyah
Secara kebahasaan taqiyyah berasal dari kata Ittaqoitu Asy-Syai’a yang berarti saya mewaspadai sesuatu. Secara terminologi berarti menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan maksud hati. Artinya diperbolehkan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan hati dalam rangka menyelamatkan diri dari orang atau golongan yang tidak sepaham dengan Syi’ah. Seperti mengucapkan kalimat kufur tatkala berhadapan dengan orang kafir atau bahkan dengan orang sesama islam yang tidak sepaham. Dalil yang melatar belakangi taqiyyah :
قال -تعالى-: لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (QS. Al-Imron: 28).
قال -تعالى-: مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. Al-Nahl 106).[29]

BAB  III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Imamah, adalah faktor utama dari idiologi Syi’ah dari segala sisi dan furu’iyah yang melekat pada golongan Syi’ah. Dan konsep imamah inilah yang membedakan Syi’ah dengan sekte yang lain. Jika ditinjau dari sisi historisnya, ternyata Syi’ah bukan lah sekte yang muncul dengan begitu saja, melainkan bermula dari perhelatan yang sangat panjang dan dengan kajian yang sangat mendalam. Baik dari petunjuk naqli dan aqli, Syi’ah sangat matang dalam menelorkan idiologinya.
  1. Saran kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat umum, artinya kami hanya menyajikan pokok pokok aqidah siah dari sisi imbas imamah. Dan belum menjamah pada ranah sejarah, isi alquran siah, dan lain lain secara detail. Untuk itu kami juga harus membatasi topic pembahasan ini pada aqidah pokok siah tidak pada detail cabag cabang sekte siah yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan.



DAFTAR  PUSTAKA


Al-Qusyairi,  Abu al-Hasan Muslim ibn al-Hajaj, Shahih Muslim No:4815, Juz: 6, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Al-Bukhory, Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh, Shahih Bukhory No: 7223, Juz: 9, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005
Al-Musawi, Musa, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah, Jakarta: Qolam, 1995.
Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Uhuwah? Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2007.
Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah Istnay Asaro Juz: 2, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000
Muhammad,  Musthofa bin, Usul Wa Tarikh Juz: 1, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Ibn Sa’id, Abdurrohman, I’tiqot  Syi’ah Istnay Asaro Juz:1, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Al-Ghofid,  Yusuf, Syarh Al-Thohawah Juz: 1, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Mathor, Badwi, Baroatul Asyhab,  Juz: 1, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Sulaiman, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud No: 3735, Juz: 4, Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000.
Ibn Hambal,  Ahmad, Musnad Ahmad Bin Hambal No: 3735, Juz: 3,  Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000. Tt.



[1] Musa Al-Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah (Jakarta: Qolam, 1995), Hlm: 15
[2] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Uhuwah? (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2007), Hlm: 33.
[3] Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah Istnay Asaro Juz: 2, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 590 lihat: الشيعة، لأنهم شايعوا علياً - رضوان الله عليه dan يقول الشهرستاني: "الشيعة هم الذين شايعوا علياً
[4] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 34.
[5] Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005
[6] Ibid, Hlm: 37.
[7] Musthofa bin Muhammad, Usul Wa Tarikh Juz: 1, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 162 lihat: فرق الشيعة
[8] Ibid, Hlm: 37
[9] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 34 dan Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah ,..Hlm: 590
[10] Abdurrohman Ibn Sa’id, I’tiqot  Syi’ah Istnay Asaro Juz:1(Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), hlm:54
[11] Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah Istnay Asaro Juz: 2, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 590
[12] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 91
[13] Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah,…. Hlm: 593 lihat : إن الله تعالى لما قبض نبيه صلى الله عليه وسلم دخل على فاطمة عليها السلام من وفاته من الحزن ما لا يعلمه إلا الله عز وجل، فأرسل الله إليها ملكًا يسلي غمها ويحدثها فشكت ذلك إلى أمير المؤمنين رضي الله عنه فقال: إذا أحسست بذلك، وسمعت الصوت قولي لي، فأعلمته بذلك، فجعل أمير المؤمنين رضي الله عنه يكتب كل ما سمع حتى أثبت من ذلك مصحفًا.. أما إنه ليس فيه شيء من الحلال والحرام ولكن فيه علم ما يكون" [أصول الكافي: 1/240، بحار الأنوار: 26/44، بصائر الدرجات: ص43.].
[14] Nasir Ibn Abdillah Ibn Ali, Usul Madzhab Syi’ah,…. Hlm: 593 lihat : وهذه حيلة ماكرة من واضعي هذه النصوص لإنكار أمر اليوم الآخر بالكلية dan قول صاحب الكافي في أخباره: "الآخرة للإمام يضعها حيث يشاء ويدفعها إلى من يشاء جائز له ذلك من الله" [أصول الكافي: 1/409
[15] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri,,… Hlm: 128.
[16] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 135
[17] Abdurrohman Ibn Sa’id, I’tiqot  Syi’ah Istnay Asaro Juz:1(Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), hlm:54
[18]Yusuf Al-Ghofid, Syarh Al-Thohawah Juz: 1, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 494
[19] Dr. Badwi Mathor, Baroatul Asyhab,  Juz: 1, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 94
[20] Abu al-Hasan Muslim ibn al-Hajaj Al-Qusyairi, Shahih Muslim No:4815, Juz: 6, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 4
[21] Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh Al-Bukhory, Shahih Bukhory No: 7223, Juz: 9, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 101
[22] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 194
[23] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 197
[24] Ibid,  Hlm: 34
[25] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud No: 3735, Juz: 4, (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 174
[26] Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad Bin Hambal No: 3735, Juz: 3  (Maktabah Tsamilah, Versi: 10.000), Hlm: 36
[27] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 235
[28] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 263
[29] Tim Penulis Buku PP. Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah,… Hlm: 290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar