BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama kasih sayang “Rohmatan Lil
Alamin”, universal. Islam
itu din (agama), dunya (dunia) dan daulah (negara/politik); Islam adalah sistem
keyakinan dan sistem hukum dan sebagai agama yang sempurna yang didesain Tuhan
sampai akhir zaman. Islam itu risalah yang universal untuk semua manusia yang
pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat. Namun ahir-ahir
ini banyak sekali wacana penerapan ajaran Islam yang jauh dari konsep agama itu
sendiri. Ada yang keterlaluan memahami ke-Universalan Islam, ada juga yang
tidak tahu ke-Universalan Islam. Semua itu karena kurangnya pemahaman pelaku
dengan subtansi ajaran Islam itu sendiri. Ahirnya, muncul banyak pola pikir
seperti Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme, Radikalisme dan masih banyak
lagi dengan memasukkan pada konsep agama.
B.
Rumusan masalah:
1.
Bagaimana Islam dan globalisasi?
2.
Bagaimana Moderenisme,
Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam?
3.
Bagaimana Islamisasi Sain, Eksklusif,
Inklusif dan Pluralisme agama agama?
C.
Tujuan pembahasan
1.
Untuk mengetahui Islam dan
globalisasi?
2.
Untuk mengetahui Moderenisme,
Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam?
3.
Untuk mengetahui Islamisasi Sains,
Eksklusif, Inklusif dan Pluralisme agama agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam dan Globalisasi
Ketika membahas globalisasi, otomatis tak bisa
terelakkan dengan yang namanya teknologi komunikasi. Sekarang ini, dunia dengan
segala perkembangannya dan kecanggihannya, sulit untuk membedakan, mana yang dilegalkan
oleh agama dan mana yang tidak. Karena, dalam bentuk apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan
mudah dan cepat. Mulai yang berbentuk ibadah atau bahkan yang berbentuk kriminal.
Dari sini, tinggal diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.
Umat islam saat ini dalam posisi sangat
menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju, namun terbatas dalam
dunia teknologi, bukan penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat Islam
banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti teknologi tersebut. Tak cukup
berhenti di sini, masih adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan teknologi
karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.[1]
Karena keminiman umat Islam dalam penguasaan teknologi
dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Disisi lain, umat non
islam sangat maju dengan berbagai teknologi. Ahirnya, dampak dari globalisasi
akan menimbulkan berbagai reaksi yang bermacam-macam. Atang Abdul Hakim
mengelompokkan reaksi itu dalam empat golongan besar akibat globalisasi. Yaitu,
tradisionalis, modernis, revivalis dan transformatif.
1.
Tradisionalis
Pemikir tradisionalis, meyakini bahwa perjalanan umat
islam, baik adanya kemajuan dan kemunduran adalah ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan
yang tahu tentang semua itu, baik dari segi hikmah kemajuan atau kemunduran
umat islam. Karena menurut mereka, mahluk tidak tau tentang gambaran besar mengenai
sekenario Tuhan. Sedangkan kemajuan dan kemunduran umat islam dinilai sebagai
ujian dari Tuhan atas keimanan umat islam.[2]
2.
Modernis
Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan intitusi-intitusi
lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang ditimbulkan oleh
pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernsme lebih mengacu pada
dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham dan intitusi-intitusi
yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran umat
islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental, budaya atau
teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka melakukan
sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.[3]
3.
Revivalisme
Revivalisme adalah gerakan untuk membangkitkan atau
menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh.[4]
Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai kemunduran umat Islam dalam arus
globalisasi adalah revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya,
umat islam menggunalkan idiologi lain (yang masih kolot), bukan merujuk pada
sumbernya langsung (Al-Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa
disebut dengan istilah kaum fundamentalisme.[5]
Seperti yang dikatakan Syafiq Hasim, bahwa contoh kelompok ini adalah wahabisme
dari tokoh Mohammad Abduh dan Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok
ini, islam harus menjawab tantangan di era modern, untuk menjawab moderenitas
ini, konsep teologi yang harus dipakai adalah teologi liberal.[6]
Artinya dengan cara kembali kepada Al-Quran, Al-Sunnah serta tidak terikat
dengan metode lama. [7]
4.
Transformatif
Gerakan Transformatif merupakan alternatif atau jalan
keluar dari tiga golongan diatas. Mereka beranggapan bahwa, keterbelakangan
umat islam akan era globalisasi disebabkan oleh ketidak seimbangan sistim dan
setruktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda mereka melakukan
trensformasi (menata ulang) terhadap struktur. Artinya, semua elemen harus
disama ratakan dalam hal pemerolehan fasilitas teknologi, agar keterbelakangan
tidak muncul.[8]
B.
Modernisme, Puritanisme, Fundamentalisme
dan Radikalisme Islam
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Moderenisme dalam
islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-demensi moral, dengan
berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan westernisasi
(budaya barat). Sebab westernisme ialah suatu total kehidupan dimana faktor
paling menonjol adalah sekularisme.[9]
Puritanisme adalah paham kemurnian ajaran atau
kepercayaan.[10] Menurut
Syafiq Hasim, puritanisme sama dengan gerakan fundamentalisme. Yakni,
memurnikan ajaran kepada sumber asalnya (Al-Quran dan Al-Sunnah).[11]
Fundamentalis adalah Faham kepanutan teguh pada pokok ajaran
kepercayaan ; gerakan agama Kristen modern yang menekankan sekumpulan
kepercayaan dan penafsiran harfiyah terhadap kitab suci. Radikalisme faham
politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai
jalan untuk macapai taraf kemajuaan.[12]
Menurut Rahimi Sabirin, Fundamentalisme adalah gerakan
Radikalisme pemikiran.[13]
Fundamentalisme Islam adalah gerakan pemikiran yang
menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab
bagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian. Maka dari itu,
memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (murni apa yang
tertulis) merupakan alternatif yang mereka tonjolkan.
Menurut Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam secara
garis besar dapat di bagi menjadi dua kelompok besar, pertama Fundamentalisme
Islam yang merujuk pada wahabisme. Kedua Fundamentalisme Islam yang merujuk
kepada model Syi’ah, gerakan ini mengalami perkembangannya pada tahun 1979
menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah
Khomeini, sebagai simbol fundamentalisme dunia Islam.[14]
1.
Wahhabisme
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa munculnya Fundamentalisme
Islam saat ini berakar dari istilah Salafi. Kaum Salafi adalah gerakan yang
menyerukan dirinya kepada tradisi Salaf atau di kenal dengsn generasi 4 abad
setelah nabi, dan setelah 4 abad itu disebut dengan istilah generasi kholaf.
Kemudian slogan ini dipakai untuk pengikut Muhammad abduh yang juga santri
seorang idiolog islam Muhammad Jamaluddin Al afgan. Dasar klaim gerakan ini
adalah ingin mengembalikan ortodoksi syariat dengan memurnikan ajaran islam
sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Namun, hal yang patut di garis bawahi,
mereka tidak mau bila dikatakan sebagai kelompok yang mengikuti tokoh tertentu,
termasuk Muhammad Abdul Wahab.
Menurut Abdul Hadi Abdurrohman, bahwa gerakan ini awal
mulanya dipandegani oleh shohibul Madzhab Hambali, Ahmad Ibnu Hambal (164 -241 H.) kemudian deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad
ke VII H. kemudian dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab pada abad XII H. di
Jazirah Arab dan sampai sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di kenal
dengan istilah wahhabisme. Akidah menurut mereka tidak bisa dijadikan pegangan
kecuali dari teks, sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak pernah
memakai logika untuk memahami ajaran, tidak seperi filosop dan ahli kalam.[15]
Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari
kelompok ini, adalah cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan
kelompok non islam, bahkan kelompok islam lain yang tidak sama dengan teologi
yang mereka punya. Dalam konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model
penafsiran yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-ayat yang memerintahkan
peperangan.
2.
Syi’isme
Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme
Islam yang merujuk kepada model syi’ah, yakni mengembalikan ajaran kepada
sumbernya namun dengan idiologi yang dicetuskan oleh syiah. Gerakan ini
mengalami perkembangannya pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan
pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun 1979.[16]
Radikalisme adalah gerakan yang ditandai empat hal. Pertama,
sikap tidak toleran atau tidak mau menghargai keyakinan orang lain. Kedua,
sikap fanatik atau menganggap dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap eksklusif
atau membedakan diri dari kebiasaan umat islam mayoritas. Keempat, sikap
revolusioner, yaitu kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai pencapaian
tujuan. Umumnya, radikalisme muncul karena pemaham agama yang tertutup dan
tekstual. Kelompok radikalisme selalu merasa kelompok yang paling memahami
ajaran Tuhan. Makanya mereka kerap sekali mengkafirkan atau menganggap sesat
orang lain.
Menurut Rahimi Sabirin, radikalisme terbagi menjadi
dau kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran (yang sering disebut dengan kelompok
fundamentalis) dan radikalisme dalam tindakan (yang sering disebut dengan
teroris).
C.
Eksklusif dan inklusif dalam Islam
Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan pengadopsian
bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna
“termasuk di dalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”.
Masalah inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan
kelanjutan dari pemikiran/gagasan modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik
setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. ~ Teologi Ekslusif ~ tanpa
menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang
lain memandang agamanya sendiri”.[17]
Seperti sudah menemukan kesimpulan, kita sering kali menilai dan bahkan
menghakimi agama orang lain, dengan memakai standar teologi agama kita sendiri.
Pun pula sebaliknya, orang lain menilai bahkan menghakimi kita, dengan memakai
standar teologi agamanya sendiri. Jelas ini suatu mission imposible untuk bisa
saling bertemu, apalagi sekedar toleran. Hasilnya justru perbandingan
terbaliknya. Masing-masing agama malah menyodorkan proposal “klaim kebenaran”
dan “klaim keselamatan” yang hanya ada pada agamanya sendiri-sendiri, sementara
pada agama lain dituduh salah, menyimpang, bahkan menyesatkan. Ide utama dari
teologi inklusif adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab
suci (injil, Zabur, Taurat dan Qur‟an) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan
Taqwa.
وَللَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ
الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ
فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ
غَنِيًّا حَمِيدًا
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di
langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah
kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang
di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji. (QS, 4:131)
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti
sikap patuh kehadirat Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan bahwa :
“Pesan Tuhan itu bersifat universal dan merupakan
kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi agama Arab, yakni Yahudi
(Nabi Musa), Kristen (Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya
Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama Itu,
karena hakikaat dasar agama-agama itu (sebagai pesan
Tuhan) adalah satu dan sama. Agama Tuhan, pada esensinya sama, baik yang
diberikan kepada Nabi Nuh, Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad. Kesamaan yang
dimaksud Cak Nur, terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yakni paham
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Monoteisme, istilah inti ajaran para Nabi dan
Rasul Tuhan. Hal tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah yang menyatakan
bahwa meskipun syari’atnya bermacam-macam. Maka kata Nabi Muhammad SAW, “Bahwa
kami golongan para Nabi, agama kami adalah satu”. Yakni risalah tawhid yang
berlandasan kepada kepasrahan kehadirat Tuhan. Bahkan, “kesadaran ketuhanan”
(Taqwa) yang sifatnya monoteistik (Tauhid) merupakan implikasi langsung dari
al-Islam itu sendiri. Al-Islam adalah al-din (tunduk patuh). “Sesungguhnya
ikatan (al-din) disisi Allah adalah sikap pasrah (al-Islam) demikian firman
Tuhan”. Sikap pasrah tersebut merupakan inti dasar teologi inklusif dari
pandangan: kesatuan kemanusiaan yang
berangkat dari konsep ke-Maha Esa Tuhan. Dimana akhirnya sikap pasrah merupakan
titik temu semua agama (ajaran) yang benar, sebagai upaya menuju Tuhan Yang
Maha Esa. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditarik kesepahaman
sementara bahwa bangunan epistimologi inklusifisme dalam Islam diawalai dengan
tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Dimana kepasrahan ini
menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, yakni bersikap berserah
diri kepada Tuhan (world view al-Qur‟an). Dimana secara esensialnya wacana
inklusif dan ekslusif dalam Islam, terutama yang berkenaan dengan konsep taqwa,
tawhid (monoteisme) dan al-Islam (sikap pasrah).[18]
D.
Islamisasi dan Sains
Islam dan sains adalah konteks yang mempunyai peranan
besar dalam kehidupan. Agama menjadi bagian integral dari keseluruhan kehidupan
manusia. Sementara sains capaian besar yang dibawa oleeh peradaban modern.[19]
Agama dan sains mempunyai cara kerja yang khas, ada
beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun dari keduanya sering
dipertentangkan. Tantangan terhadap kepercayaan beragama bukan berasal dari
pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena keduanya saling melengkapi.
Artinya, agama akan semakin meyakinkan bila di topang dengan sains, dan sains pun
muncul karena adanya pengalaman, dan salah satu wahana pengalaman adalah agama.
Kemudian jika ada pertentangan antara agama dengan sains, maka muara perbedaan
itu justru pada pandangan bahwa metode ilmiyah adalah sebagai penyebab atas
kebenaran. Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal yang dimaksud
oleh agama itu sendiri.[20]
E.
Pluralisme Agama Agama
Pluralitas adalah sebagai "menerima
perbedaan" atau menerima perbedaan yang banyak".
Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralism
agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi
tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim
sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan
dan para tokoh agama. Lebih lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli
2005 yang lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, yang isiny :
1.
Pluralism, Sekualarisme dan
Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran agama islam.
2.
Umat Islam haram mengikuti
paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3.
Dalam masalah aqidah dan
ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan
aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4.
Bagi masyarakat muslim yang
tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial
yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif,
dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang
tidak saling merugikan.[21]
maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan. Bila dicermati, maka perbedaan
ini nampaknya berkaitan dengan term pluralism agama-budaya, perbedaan didalam
memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim
kebenaran dalam suatu agama.
Memasuki abad 21 dimana orang mulai sulit membedakan
mana yang benar dan mana yang salah, ahirnya ada sekelompok orang muncul
sebagai gerakan teologi pluralis (akidah terbuka). Kelompok yang dimotori oleh
jaringan islam liberal (JIL) ini mengusung pemahaman yang ia peroleh dari Al-Qur’an
sebagai aqidah terbuka, yakni menerima semua kepercayaan tanpa terkecuali atau menganggap
semua agama adalah sama (benar). Dan kebenaran itu bersifat relative.
Awalnya golongan ini muncul hanya karena bosan akan
racikan teologi lama yang mereka anggap sudah ketinggalan zaman dan malah
membawa banyak kontroversi bahkan perpecahan di dalam tubuh umat islam sendiri.
Oleh karenanya mereka saat ini telah meramu resep teologi sendiri yang berbeda
dengan konsep yang sudah ada. Menurut mereka, masyarakat modern kini sudah
saatnya untuk bersikap toleran dan terbuka menerima keyakina pihak manapun,
walaupun berbeda agama.[22]
Dalam
pandangan Islam, faham pluralime
adalah sikap menghargai dan toleran
kepada pemeluk agama lain, adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari
keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme)
tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah
adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah.[23]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Ada tiga pola pemikiran Islam tersebut di atas (yaitu
: Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme) masing-masing memiliki sisi
kesamaan dan juga memeiliki kekurangan. Tradisionalisme, karena terlalu jauh
menyatu dengan budaya lokal dan cenderung bertahan dengan produk pemikiran
lampau, sangat selektif terhadap gagasan-gagasan baru. Ia tidak mempunyai
keberanian mendobrak gagasan-gagasan ulama salaf sehingga nyaris mandul.
Sedangkan modernisme, karena terbelenggu oleh
rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya mengakibatkan kehilangan
kesegaran orientasi. Disamping itu, karena slogannya untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga penentangannya pada tradisi, mempunyai penolakan
atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme
mengalami kekeringan intelaktual. Sementara itu, fundamentalisme juga tidak
cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan yang
reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang mengakibatkan sangat rapuh dalam
rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya.
- Saran kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat umum, artinya belum
menggolongkan kelompok tertentu untuk dimasukkan pada Moderenisme, Puritanisme,
Fundamentalisme, Pluralisme dan Radikalisme. Dan alangkah lebih lengkap lagi
jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu yang ada di Indonesia. Untuk
itu, harus ada kajian yang lebih spesifik dan kongkrit, biar kita bisa
menghukumi mana golongan di sekitar kita yang masuk pada gerakan gerakan
diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004
Al-Barri, M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya:
Arkola, 2005
Hasim, Syafiq, Fundamentalisme Islam, Jakarta:
Afkar, 2002
Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan dan
keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008
Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme,
Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam,
Yogyakarta: Teras, 2010
Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan,
Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005
Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan
Inklusif , diakses dari: www.badilag.net
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005
Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme, diakses dari:
http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama
[1] Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004), Hlm: 194.
[2] Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi, … 194.
[3] Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam ,…195.
[4] M.
Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2005 ), Hlm:
678
[5] Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam ,….195.
[6] Liberalisme
adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan
akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai
dengan akal pikiran semata.
[7] Syafiq
Hasim, Fundamentalisme Islam (Jakarta: Afkar, 2002), Hlm: 13
[8] Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi ,…195.
[9]
Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesianan (Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2008), Hlm: 24
Sekualisme adalah
memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan
pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan
berdasarkan kesepakatan sosial.
[10] M.
Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2005 ) Hlm:
554
[11] Syafiq
Hasim, Fundamentalisme Islam (Jakarta: Afkar, 2002), Hlm: 13
[12] M.
Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 2005 ) Hlm:
554
[13] Rahimi Sabirin,
Islam & Radikalisme (Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007 ),
Hlm: 9
[14] Syafiq
Hasim, Fundamentalisme ,… 13
[15] Ibid,..
13
[16] Ibid,..
13
[17] Rahimi Sabirin,
Islam & Radikalisme (Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007 ),
Hlm: 9
[18] Nurul
Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari : www.badilag.net (Pukul: 20.00, Tanggal:
06-10-2012)
[19]
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam (Yogyakarta: Teras, 2010), Hlm: 173
[20]
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam (Yogyakarta: Teras, 2010), Hlm: 173
[21] http://m.voa-islam.com/news/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama/(Pukul:
20.00, Tanggal: 06-10-2012)
[22] Tim
Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan (lirboyo: Tamatan Aliyah
Lirboyo, 2005), Hlm:157
[23] Lihat:
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme ( http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama
) (Pukul: 20.00, Tanggal: 06-10-2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar